Friday, September 9, 2016

Indonesia Hadapi Masalah Serbuan Tenaga Kerja Asing

Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) mendesak pemerintah serius menyikapi informasi terkait semakin banyaknya tenaga kerja asing asal Tiongkok maupun negara lain yang bekerja di Indonesia. Presiden ASPEK Indonesia Mirah Sumirat menyatakan, menjamurnya tenaga kerja asing bisa menimbulkan efek domino di masa depan, yakni semakin sempitnya lahan pekerjaan untuk masyarakat Indonesia.

Jika itu terjadi, Mirah khawatir akan mengancam stabilitas ekonomi dan menimbulkan pengangguran besar-besaran. "Sekarang saja pengangguran sudah banyak, apalagi di masa depan. Terlebih, tenaga kerja asing ini kebanyakan ilegal," Kata Mirah di Auditorium Adhiyana, Wisma Antara, Jakarta Pusat, selasa (2/8). Informasi mengenai serbuan tenaga kerja asing ilegal sudah berhembus sejak beberapa bulan terakhir. Mirah menilai pemerintah telah kecolongan menyusul semakin banyaknya pekerja asing terutama pekerja asal Tiongkok yang bekerja di Indonesia.

Salah satu kasus yang disorot oleh ASPEK Indonesia adalah keberadaan 500 pekerja asal Tiongkok di PT Virtue Dragon Nikel Industri di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Padahal, kata Mirah, jumlah jumlah tenaga kerja Indonesia di perusahaan tersebut hanya sekitar 200 orang.  Hal serupa juga terjadi di proyek PLTU Celukan, Bawang, di Buleleng, Bali. Mirah mengungkapkan, tenaga kerja asing asal Tiongkok mendominasi proyek tersebut. ASPEK menilai semakin mudahnya pekerja asing masuk ke Indonesia mencerminkan sikap pemerintah yang belum berpihak kepada pekerja atau buruh Indonesia.

Ada beberapa faktor yang membuat tenaga kerja asing datang ke Indonesia. Salah satunya adalah kebijakan investasi asing yang memudahkan para investor untuk membawa tenaga kerja dari negara asal mereka. Selain itu, program bebas visa kunjungan juga menjadi salah satu penyebab serbuan tenaga kerja asing ke Indonesia.

Berdasarkan temuan ASPEK, dari sejumlah kasus penangkapan tenaga kerja asing, diketahui bahwa kebanyakan para pekerja itu masuk menggunakan visa turis. Misalnya, kasus penangkapan sebanyak 26 tenga asing ilegal asal Tiongkok di Sukabumi karena kedapatan menggunakan visa kunjungan untuk bekerja sebagai buruh di PT Shanghai Electric Group. "Kebanyakan mereka (TKA) ini ilegal, ke Indonesia untuk jalan-jalan, jadi turis, tapi justru malah mengebor keuntungan dan berbisnis disini," kata Mirah.

"Sebaiknya Presiden dan pemerintah sadar, masuknya tenaga asing yang legal maupun ilegal merupakan ancaman bagi negara. Buruh lokal banyak yang di PHK, tapi tenaga kerja asing justru semakin menjamu," imbuhnya. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengatakan, pekerja Indonesia sebenarnya tidak anti pekerja asing asalkan ada mekanisme yang adil dalam pemberian upah antara tenaga kerja Indonesia dengan tenaga kerja asing.

Saat ini, menurut Iqbal, yang terjadi adalah banyak pekerja asing yang datang ke Indonesia memiliki kemampuan di bawah standar. Kalah dengan kemampuan pekerja Indonesia. Namun, mereka mendapat upah yang jauh lebih besar dibandingkan pekerja Indonesia. "Mereka yang datang ini selain ilegal, juga unskill, tapi bayarannya bisa mencapai 13 juta rupiah perbulan. Coba bayangkan perusahaan besar saat ini supir dan tukang batu saja sekarang orang asing, buruh Indonesia bagaimana? Pengangguran," kata Said.

Said menilai, saat ini negara tidak berpihak kepada para buruh lokal. "Kebijakan pemerintah justru malah semakin mencekik buruh, tax amnesty, kunjungan bebas visa, itu malah semakin mengancam kesejahteraan buruh kecil, mempermudah buruh asing masuk ke Indonesia," kata Said. Pemerintah mengaku terdapat kemungkinan tenaga kerja asing (TKA) yang bekerja di Indonesia saat ini menyalahgunakan visa kunjungan wisata yang dimilikinya.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) M. Hanif Dhakiri menyatakan, karena ada kemungkinan penyalahgunaan visa kunjungan wisata, ia berjanji akan terus memonitor kondisi di lapangan agar tidak ‘kecolongan’ dalam mengatasi pelanggaran visa. “Kami akan terus melakukan koordinasi dengan pihak imigrasi untuk mencegah masuknya tenaga kerja kasar asing ke Indonesia. Hal ini dilakukan guna mengontrol Tenaga Kerja Asing (TKA) nakal,” kata Hanif seperti dilansir laman Sekretariat Kabinet, Senin (25/7).

Hanif menjelaskan, masuknya tenaga kerja asing di Indonesia bisa terjadi karena dua hal. Pertama adalah persoalan visa, sedangkan yang kedua terkait izin. “Kalau yang ditemukan di lapangan ya karena dua itu. Mereka masuk lewat visa turis atau adanya pelanggaran perizinan seperti kasus kereta cepat di Halim itu, mereka bilangnya manajer tetapi ternyata kok melakukan pekerjaan kasar,” katanya.

Lebih lanjut, ia menyatakan saat ini jajarannya terus memantau di lapangan agar tidak kecolongan dalam mengatasi pelanggaran perizinan seperti kasus di Halim. Selain itu, Hanif mengaku juga mengerahkan jajarannya untuk memantau dinas ketenagakerjaan di daerah-daerah. Sebelumnya, Komisi IX DPR RI menggelar kunjungan kerja ke Bali, Jumat (22/7), terkait fenomena tenaga kerja asing (TKA) asal China di Indonesia. Dari pendalaman yang dilakukan Komisi IX, ada beberapa pelanggaran yang ditemukan.

Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan sejumlah pelanggaran tersebut yakni antara lain, adanya Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang tidak sesuai dengan realitas pekerjaan yang dikerjakan. Misalnya, sebut Saleh, di dalam IMTA disebutkan bahwa ada yang keahliannya accounting tetapi bekerja pada bagian personalia. “Begitu juga, ada yang di dalam IMTA-nya bekerja sebagai mekanik, namun di lapangan bekerja sebagai buruh kasar,” ujar Saleh

Komisi IX DPR RI menggelar kunjungan kerja ke Bali, Jumat (22/7), terkait fenomena tenaga kerja asing (TKA) asal China di Indonesia. Dari pendalaman yang dilakukan Komisi IX, ada beberapa pelanggaran yang ditemukan.  Anggota Komisi IX DPR Saleh Partaonan Daulay mengatakan sejumlah pelanggaran tersebut yakni antara lain, adanya Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang tidak sesuai dengan realitas pekerjaan yang dikerjakan.

Misalnya, sebut Saleh, di dalam IMTA disebutkan bahwa ada yang keahliannya accountingtetapi bekerja pada bagian personalia. “Begitu juga, ada yang di dalam IMTA-nya bekerja sebagai mekanik, namun di lapangan bekerja sebagai buruh kasar,” ujar Saleh dalam keterangannya.

Selain itu, kata Saleh, ada juga fakta bahwa para TKA itu tidak bisa berbahasa Indonesia. Pengumuman dan instruksi di tempat kerja mereka menggunakan bahasa China. Hal ini tentu menyulitkan tenaga kerja lokal yang hanya mampu berbahasa Indonesia. “Kendala bahasa ini tentu mengakibatkan adanya kesulitan transfer of knowledge, bahkan dari TKA yang sangat ahli dalam bidangnya,” tutur dia.

Saleh mengatakan, hal lain yang perlu dicermati adalah adanya lonjakan orang asing yang masuk ke Bali pasca diberlakukannya kebijakan bebas visa. Sebagai perbandingan, sebelum diberlakukannya bebas visa, bulan Juni ini hanya ada 256 warga China yang berkunjung ke Bali. Sementara sesaat setelah diberlakukannya bebas visa, terjadi lonjakan yang cukup besar menjadi 76.585 orang.

Menurut bekas Ketua Komisi VIII DPR itu pihak imigrasi tidak mengetahui apakah mereka masuk murni untuk wisata atau sebagian ada yang bekerja. Mereka hanya bisa melihat setelah 30 hari ke depan setelah masa berlaku visanya habis. “Jika yang masuk itu semua keluar, berarti memang mereka betul-betul berkunjung untuk wisata. Namun jika yang kembali hanya sebagian, perlu penelusuran lebih lanjut apakah mereka tinggal untuk bekerja atau lainnya,” tutur Saleh.

Saleh mengatakan pihak imigrasi mengakui kesulitan untuk memantau aktivitas mereka. Kebijakan bebas visa membuat imigrasi tidak bisa mendalami tujuan kunjungan mereka. Padahal sebelum kebijakan itu diberlakukan, pihak imigrasi sering sekali mewawancarai sebelum diizinkan masuk. Di lain pihak, koordinasi antara Disnaker dengan pihak imigrasi belum berjalan dengan baik. Apalagi, pengawas yang dimiliki Disnaker jumlahnya sangat terbatas dan sulit untuk mengawasi semua pergerakan orang asing di sana.

"Saya berharap bahwa lonjakan kunjungan orang asing ke Bali murni hanya untuk wisata. Sebab lonjakan yang sama juga terjadi pada warga negara-negara lain, meskipun jumlah lonjakannya tidak sederastis yang dari China,” ujarnya. Politisi PAN itu melanjutkan, dari informasi yang dihimpun sebelumnya ditemukan bahwa memang ada TKA berasal dari China yang bekerja pada beberapa proyek. Pada satu titik, misalnya, ditemukan lebih dari 157 orang pekerja Tiongkok sementara pekerja lokalnya sekitar 350-an orang.

"Dari laporan Dinas Tenaga Kerja setempat, para pekerja itu hadir seiring dengan masuknya investasi China ke sana. Kehadiran mereka adalah bagian dari perjanjian investasi yang disepakati." Saleh menambahkan, saat ini Komisi IX DPR sudah membentuk panitia kerja soal tenaga kerja asing. “Panja ini dimaksudkan untuk memgawasi kerja pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan terkait TKA di Indonesia,” ucap Saleh.

No comments:

Post a Comment