Wednesday, September 14, 2016

Ditelpon Istana, PP Muhammadiyah Batal Ajukan Uji Materi Tax Amnesty Ke Mahkamah Konstitusi

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, dan Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki siang ini menyambangi Kantor PP Muhammadiyah di Menteng, Jakarta Pusat. Kabarnya pertemuan ini membahas soal program pengampunan pajak atautax amnesty.

Teten dan Ken tiba sekitar 13.55 WIB. Sementara Sri Mulyani masuk lewat pintu belakang untuk menghindari para wartawan. Pertemuan berlangsung tertutup sejak sekitar 14.00 WIB sampai 16.30 WIB. Usai pertemuan tersebut, Ken enggan menyampaikan apa saja yang dibicarakan dengan para pengurus Muhammadiyah dalam pertemuan 2,5 jam tersebut.

"Saya bukan Menkeu, tanya ke Ibu (Sri Mulyani)," kata Ken sambil berjalan terburu-buru ke mobilnya di Kantor PP Muhammadiyah, Jakarta, Rabu (14/9/2016). Sama dengan Ken, Teten juga meminta para wartawan menanyakan saja hasil pertemuan kepada Sri Mulyani. "Tanya ke Ibu, tanya ke Ibu (Sri Mulyani)," ujarnya sembari berjalan cepat masuk ke mobilnya.

Sementara Sri Mulyani kembali 'kucing-kucingan' menghindari para awak media. Sri meninggalkan Kantor PP Muhammadiyah lewat pintu yang tak diawasi.  Sebelumnya, Muhammadiyah memang dikabarkan berencana menggugat Undang Undang Tax Amnesty ke Mahkamah Konstitusi (MK). Tetapi belakangan niat itu kabarnya diurungkan. Belum diketahui apakah pertemuan Sri Mulyani dengan Muhammadiyah hari ini terkait hal tersebut atau tidak. Belum ada pengurus Muhammadiyah yang bisa ditemui.

Pemerintah menepati janjinya bakal menjelaskan filosofi kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) kepada Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah. Pukul 14.00 WIB siang ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan bertandang ke markas PP Muhammadiyah di kawasan Tugu Tani, Menteng, Jakarta Pusat untuk bertemu para petinggi organisasi massa (ormas) yang berencana menggugat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut.

Syaiful Bahri, Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah menuturkan, pertemuan siang ini merupakan tindak lanjut dari interupsi rapat pleno PP Muhammadiyah di Surabaya pada Rabu (7/9) pekan lalu untuk mengambil keputusan final pengajuan uji materi tax amnesty.

Ketika rapat berlangsung sampai malam hari, tiba-tiba pimpinan rapat mendapat telepon dari Sekretariat Negara (Setneg) yang meminta Muhammadiyah menunda rencana memperkarakan UU tax amnesty ke MK. Pasalnya Presiden Joko Widodo telah meminta Menteri Keuangan untuk menjelaskan secara langsung kebijakan tersebut.

“Pertemuannya nanti siang dimulai dari pukul 13.00 WIB. Sifatnya tertutup, jadi nanti bisa ditanyakan setelah rapat selesai,” ujar Syaiful. Menurut Syaiful, keputusan Muhammadiyah untuk bersedia disambangi mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia merupakan bentuk penghormatan kepada pemerintah.

Meskipun menurut Syaiful, selama rapat pleno pengambilan sikap uji materi pekan lalu, para petinggi PP Muhammadiyah sebenarnya telah mengerucut untuk mengajukan judicial review UU Pengampunan Pajak ke MK. “Sudah ada UU Pajak tapi dibuatlah tax amnesty dan ini tidak berkeadilan karena semua orang disuruh minta ampun oleh undang-undang baik itu pengemplang pajak, pengusaha besar, korporat maupun yang biasa saja,” kata Syaiful pekan lalu.

“Ketika orang ikut program tax amnesty maka kejahatan-kejahatan korupsi, pencucian uang masa lalu itu bisa diampuni dan tidak dilakukan penyidikan lain,” keluhnya. Selain Muhammadiyah, Yayasan Satu Keadilan dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia telah menggugat 11 pasal dalam UU Pengampunan Pajak ke MK.

Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mempertanyakan ancaman sanksi pidana dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 bagi wajib pajak (WP) yang tidak ikut program amnesti, namun diketahui memiliki harta tambahan yang tidak dilaporkan. Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah Syaiful Bahri menilai, ketentuan sanksi dalam UU Pengampunan Pajak itu bertolak belakang dengan pernyataan yang dibuat pemerintah ketika melakukan sosialisasi UU, bahwa amnesti pajak bukanlah suatu kewajiban yang harus diikuti.

Namun dibelakang pernyataan tersebut, ada embel-embel yang menyatakan bahwa WP yang hanya melakukan pembetulan pajak akan tetap menjadi objek pemeriksaan. Jika hasil pemeriksaan fiskus Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) menemukan ada harta tambahan yang belum dilaporkan, maka WP yang bersangkutan terancam sanksi sesuai Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

“Bukan kewajiban, boleh ikut boleh tidak (amnesti pajak). Tetapi ketika nanti ada selisih dari kekayaannya yang tidak dilaporkan ke DJP, maka itu akan kena UU KUP. Itu bentuk diskriminasi!” tegas Syaiful. Selain itu, Syaiful juga menilai program amnesti pajak bertentangan dengan sistem perpajakan di Indonesia yang menganut penilaian sendiri (self-assesment).

“Kalau melalui program (amnesti pajak) ini berarti pemerintah tahu dan berarti pemerintah nanti yang akan menghitungnya. Jadi secara logis bertentangan dengan kaidah-kaidah keadilan,” ujarnya. PP Muhammadiyah sendiri menurut Syaiful akan membuat keputusan mengenai pengajuan uji materi UU Pengampunan Pajak ke Mahkamah Konstitusi (MK) malam ini.

Sebelumnya, Yayasan Satu Keadilan dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia telah lebih dulu menggugat UU Pengampunan Pajak karena kebijakan itu dinilai melegalkan praktik legal pencucian uang, sekaligus memberikan prioritas dan keistimewaan bagi pengemplang pajak. Dampak dari pengajuan uji materi tersebut, Lembaga Kajian Strategis Indonesia (LKSI) menyebut sejumlah pengusaha besar nasional menahan keinginan mengikuti program amnesti karena menunggu kelanjutan proses uji materinya di MK.

"Mereka sebenarnya antusias mengikuti program tax amnesty, tetapi masih banyak yang menunggu kepastian hukum keputusan MK," ujar Ketua Umum LKSI Andreas Tanadjaya, kemarin. Rapat pleno Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, yang membahas rencana uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, sempat diinterupsi oleh Sekretariat Negara (Setneg).

Syaiful Bahri, Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah mengungkapkan, saat rapat pleno yang digelar pada Rabu malam (7/9) berlangsung, ada telepon masuk dari pihak Setneg. Namun, ia tiak menyebutkan siapa pejabat Setneg yang meneleponnya semalam.  Dalam telepon tersebut, Syaiful mengatakan, lembaga yang mengurus dapur Istana Negara meminta waktu untuk menjelaskan mengenai kebijakan amnesti pajak kepada para petinggi organisasi massa tersebut, sebelum PP Muhammadiyah memperkarakannya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Setneg telepon semalam, Menteri Keuangan Sri Mulyani akan memberikan penjelasan nanti," ujar Syaiful. Untuk menghormatinya, Syaiful mengatakan, PP Muhammadiyah akan mendengarkan dahulu keterangan yang akan disampaikan oleh mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu. "Kami tunggu Sri Mulyani pulang dari luar negeri, kami harapkan (audiensi) minggu ini," tuturnya.

Namun, lanjutnya, sikap PP Muhammadiyah sebenarnya telah mengerucut untuk mengajukan judicial review UU Pengampunan Pajak ke MK. Kemungkinan besar, jika tidak ada perubahan, berkas perkara diajukan ke MK pada pekan depan.  Sehari sebelumnya, Syaiful menyebut rencana PP Muhammadiyah menggugat UU Pengampunan Pajak sebagai upaya jihad. Salah satu organisasi masyarakat (ormas) terbesar di Indonesia itu menganggap kebijakan amnesti pajak tidak mencerminkan asas keadilan.

“Sudah ada UU Pajak tapi dibuatlah tax amnesty dan ini tidak berkeadilan karena semua orang disuruh minta ampun oleh undang-undang baik itu pengemplang pajak, pengusaha besar, korporat maupun yang biasa saja,” kata Syaiful. “Ketika orang ikut program tax amnesty maka kejahatan-kejahatan korupsi, pencucian uang masa lalu itu bisa diampuni dan tidak dilakukan penyidikan lain,” keluhnya.

Selain Muhammadiyah, Yayasan Satu Keadilan dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia telah menggugat 11 pasal dalam UU Pengampunan Pajak ke MK.

No comments:

Post a Comment