Genap satu tahun sudah paket kebijakan ekonomi digulirkan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Dimulai dari paket kebijakan jilid I yang dirilis 9 September 2015 tentang penyederhanaan regulasi (deregulasi) dan debirokratisasi untuk mendorong daya saing industri. Sampai paket ke XIII yang diluncurkan 24 Agustus 2016, tentang pemangkasan proses perizinan untuk pembangunan rumah murah.
Melalui media sosial Facebook, berupaya menangkap tanggapan masyarakat atas dampak paket I sampai XIII yang sudah diluncurkan pemerintah. Ironisnya, mayoritas responden berkomentar miring atas paket-paket tersebut karena tidak merasakan langsung perbaikan kesejahteraan dalam kehidupannya sehari-hari.
Pemilik akun Lukman Nuryadi AV mengaku keadaan ekonomi saat ini tidak mengalami perubahan, dan bahkan semakin merosot dibandingkan pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono. “Belum ada perubahan makin merosot tajam dari pemerintahan yang lalu, yang ada hanya bagi-bagi kue jabatan untuk kroninya. Rakyat makin susah,” kata Lukman, dalam komentarnya, dikutip Jumat (9/9).
Sementara, Ronald Hasman menyatakan kegemaran pemerintah membuat paket kebijakan ekonomi tidak sebanding dengan implementasinya di lapangan. “Kebanyakan paket nih pak presiden. Jangan-jangan pak presiden bikin toko online ya, paketnya banyak benar,” keluh Ronald. Terakhir, Noorman Ibra Sr. kembali mengingat janji kampanye Presiden Jokowi yang menyatakan siap membuat perekonomian Indonesia meroket.
“Saat itu bilang akan meroket, tapi malah menukik!” ujar Noorman yang ditimpali oleh Bagus Pool yang menyatakan “Dolar meroket, harga daging sapi meroket. Jokowi hebat dongs.”
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) memastikan paket kebijakan ekonomi jilid IV yang dirilis 15 Oktober 2015 tidak memberikan manfaat bagi para pekerja. Padahal, paket tersebut dirilis untuk memberikan jaminan sistem pengupahan dan pengamanan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi akibat kelesuan ekonomi.
Ketua Umum KPSI Said Iqbal memastikan, paket kebijakan hanya melindungi pengusaha dan menjaga iklim investasi. Namun, perlindungan terhadap pekerja tidak tercapai. "Paket kebijakan ekonomi itu tidak efektif, kuat di teori tapi lemah diimplementasi dan pengawasan. Upah buruh masih tidak layak, daya beli buruh rendah, dan PHK masih terjadi," ungkap Said.
Said merinci kegagalan paket kebijakan IV. Pertama, paket kebijakan mendorong diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Namun, penerbitan PP ini justru tidak mampu menciptakan ruang bagi pekerja untuk berdiskusi soal pengupahan. Pasalnya, aturan pengupahan tetap merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yang menyatakan bahwa penetapan upah oleh Gubernur setelah mendapatkan rekomendasi dari dewan pengupahan; pekerja, pengusaha, dan pemerintah.
"Tapi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 menjadi percuma karena berdasarkan PP 78 Tahun 2015 pada Pasal 44 menyatakan kenaikan upah minimum berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dari data Badan Pusat Statistik (BPS) Pusat. Ini mengartikan tidak ada perundingan sama sekali," jelas Said.
Kedua, paket kebijakan IV membawa pekerja kembali pada rezim upah murah. Pemerintah menjanjikan kepastian kenaikan upah minimum, dengan menggunakan formula angka inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi. Namun, pemerintah tak menyadari bahwa ini tidak bisa mengangkat dan mengejar ketinggalan daya beli buruh akan harga pasar. "Pemerintah lupa, yang dibutuhkan buruh bukan hanya kepastian dari pengusaha tapi kepastian seberapa besar upah dapat meningkatkan daya beli," katanya.
Terkait inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang dipatok meningkat, menurut Said, perhitungan tersebut memang digunakan negara lain. Namun, basis upah di Indonesia terlampau rendah sehingga seperti apapun penambahan upah yang dihitung menurut inflasi dan pertumbuhan ekonomi tak mampu menakar upah menjadi layak. "Basis upah kita tidak layak, bahkan terlalu murah. Saya bisa bilang murah karena ada pembandingnya, yakni negara-negara di Asean," katanya.
Said mencatat, berdasarkan Data International Labour Organization 2014/2015, rata-rata upah di Indonesia sebesar US$174 per orang per bulan. Angka ini tertinggal dari Vietnam US$181 per orang per bulan, Filipina US$206 per orang per bulan, Thailand US$357 per orang per bulan, dan Malaysia US$506 per orang per bulan.
Memang, upah Indonesia masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan Kamboja US$119 per orang per bulan dan Laos US$121 per orang per bulan. "Jadi kalau basisnya murah kemudian dipakai inflasi dan pertumbuhan ekonomi, naiknya pasti murah, ketinggalan terus, bahkan bisa disusul oleh Laos dan Kamboja," tambahnya. Menurut Said, ini juga menandakan bahwa pemerintah masih terlalu ketat mengendalikan upah buruh, seperti yang terjadi di negara komunis, yakni China, Kuba, dan Korea Utara.
"Seluruh dunia tidak ada yang mau seperti ini, upah dikendalikan negara," katanya. Fakta kegagalan lain, masih terjadinya PHK. Padahal paket kebijakan IV ingin melindungi buruh dari PHK. Bahkan pada kuartal I 2016 saja, KSPI mencatat, PHK di Indonesia mencapai 36.280 PHK. "PHK dimana-mana oleh perusahaan. Berarti ini tidak efektif, tujuan paket itu mengejar pertumbuhan ekonomi, targetnya 5,2 persen itu, tidak akan tercapai," tutupnya.
Pelaku usaha menilai paket kebijakan ekonomi yang terkait dengan industri properti masih perlu disinkronisasi dan disesuaikan dengan permasalahan yang ada demi memuluskan akselerasi ekonomi. Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk Theresia Rustandi menyatakan, sebenarnya Pemerintahan Joko Widodo telah menyasar industri properti sejak awal peluncuran paket kebijakan ekonomi, tetapi perlu diperjelas lagi.
“Saya kira perlu fine tuning. Seperti dalam paket kebijakan ekonomi I, pemerintah membuka kepemilikan orang asing terhadap rumah susun mewah dengan harga Rp10 miliar ke atas. Masih perlu diperjelas,” ujarnya. Theresia menilai kebijakan ekonomi tersebut masih lemah secara ketetapan hukum. Hal itu, lanjutnya, membuat kebijakan tersebut menjadi kurang menarik.
“Kalau bicara kepemilikan properti orang asing, masih harus dibenahi masalah sertifikasi. Terkait hak pakai itu setara atau tidak dengan hak guna bangunan, dalam artian bisa dijaminkan di bank. Kalau tidak, ya kurang menarik,” ungkapnya. Perempuan yang juga menjabat sebagai Sekretaris Realestat Indonesia (REI) ini menjelaskan, tujuan kejelasan status kepemilikan tersebut sebenarnya bukan untuk pembiayaan properti orang asing, tapi lebih ke kredibilitas status.
“Kedua, masalah pembiayaan properti, dalam hal ini KPR [Kredit Pemilikan Rumah] kepada orang asing. Sekali lagi, tujuannya bukan ke pembiayaan, tapi ke kepastian hukum dan kredibilitas pembelian tersebut,” kata Theresia. Sementara, terkait kebijakan Dana Investasi Real Estate (DIRE) dalam paket ekonomi XI, ia menilai masalah utama masih berada di besaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Pasalnya, keinginan pemerintah pusat untuk menyunat BPHTB dari 5 persen menjadi 1 persen, tidak serta merta diikuti pemerintah daerah.
“Kami berharap insentif ini bisa diberikan oleh pemda, terutama daerah potensial seperti Jabodetabek, Surabaya dan Batam. Kami harap ada sama pemahaman, apalagi ini terkait potensi ekonomi untuk pemda itu sendiri,” jelasnya. Selain itu, Theresia menyatakan aturan yang kurang jelas tersebut pada akhirnya membuat investor ragu, dan belum tercipta pasar yang bisa menyerap produk DIRE. Hal ini menurutnya menjadi masalah yang cukup rumit.
“Karena itu tidak jelas, maka market-nya belum ada. Siapa yang akan membeli kalau belum jelas dan clear?” ungkapnya. Lebih lanjut, terkait paket kebijakan ekonomi XIII yang membahas perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), ia menilai masih membutuhkan waktu untuk dijalankan. Alasannya, lanjut Theresia, lagi-lagi koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum sinkron.
“Pemangkasan perizinan on process, karena perlu waktu cukup panjang karena yang berperan penting adalah pemerintah daerah. Jadi kebijakan pusat sudah baik, hanya tinggal bagaimana level operasional di daerah bisa jalan,” jelasnya.
Catatan: survei yang dilakukan CNNIndonesia.com bukanlah kajian ilmiah. Sehingga tidak mencerminkan tanggapan dari mayoritas masyarakat Indonesia
No comments:
Post a Comment