Friday, September 9, 2016

Ini Dia Aturan Cost Recovery dan Pajak Yang Membuat Cadangan Migas Indonesia Habis

Dalam 3 pekan terakhir, Menko Kemaritiman sekaligus Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan, terus mendorong revisi atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2010.  Selama ini, PP yang mengatur cost recovery dan pajak-pajak di hulu migas ini dinilai menghambat investasi. Terlalu banyak pajak yang dipungut sehingga investor malas mencari minyak di Indonesia.

Kalau aturan ini tak direvisi, didiamkan saja oleh pemerintah, apa dampaknya?

Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, mengungkapkan cadangan migas Indonesia, khususnya minyak, akan segera habis kalau tak ada terobosan-terobosan yang dilakukan pemerintah untuk mendorong kegiatan eksplorasi migas. Berdasarkan grafik perkiraan yang dibuat Kementerian ESDM, produksi minyak Indonesia yang saat ini 820.000 barel per hari (bph), akan merosot tajam hingga tinggal 550.000 bph di 2020, 247.000 bph di 2030, 128.000 bph di 2040, dan 77.000 bph di 2050.

"Produksi migas kita terus turun, tahun 2050 tinggal 70 ribu bph, padahal kebutuhan kita saat itu sudah tinggi sekali. Dengan pertumbuhan ekonomi sekarang 5,1 persen, konsumsi migas tumbuh 4 persen per tahun. Kita akan jadi importir minyak yang besar sekali," ujar Wirat, saat berdiskusi di Gedung Migas, Jakarta, Jumat (9/9/2016). Salah satu terobosan yang perlu dilakukan untuk mendorong penemuan cadangan-cadangan baru sekaligus menahan laju penurunan (decline) produksi migas nasional adalah merevisi PP 79/2010.

"Kita harus buat terbosan yang membuat industri migas kita lebih atraktif. Salah satunya dengan merevisi PP 79. Perlu dilakukan penyempurnaan untuk memberi kepastian hukum pada investor, baik soal cost recovery maupun perpajakan di hulu migas," dia menjelaskan.

Kalau kegiatan eksplorasi digenjot, Wirat yakin cadangan terbukti migas Indonesia bakal melonjak. Sebab, potensi migas di Indonesia sebenarnya masih besar. Hanya saja cadangan-cadangan itu ada di laut dalam dan daerah-daerah terpencil. Kalau tak ada terobosan, potensi-potensi itu kurang ekonomis untuk dikembangkan.

"Kalau dari potensinya, cekungan-cekungan kita sangat potensial mengandung hidrokarbon. Indonesia ini ibarat gadis cantik yang tidak dirias," tuturnya.  Revisi PP 79/2010 diyakini Wirat dapat meningkatkan minat investasi di sektor hulu migas Indonesia. Sebab aturan ini memang momok bagi kontraktor migas di Indonesia.

Menurut data Kementerian ESDM, jumlah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di Indonesia terus menurun semenjak keluarnya PP 79/2010. Pada 2013, jumlah KKKS masih 321, lalu berkurang menjadi 318 di 2014, 312 di 2015, dan tinggal 288 pada Juli 2016. Ini membuktikan bahwa iklim investasi hulu migas di Indonesia sangat tidak atraktif setelah ada PP 79/2010.

"Jumlah KKKS kita turun setelah ada PP 79/2010. Padahal saat itu (2010-2014) harga minyak tinggi, tapi KKKS di Indonesia malah berkurang, artinya kita tidak atraktif. Kita berharap (jumlah KKKS) menanjak lagi setelah revisi PP 79. Kalau ada banyak KKKS, kemungkinan kita menemukan cadangan baru lebih besar," papar Wirat.

Dirinya berharap draft revisi PP 79/2010 yang akan segera diajukan pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) disahkan. "Revisi PP 79 terus bergulir. Terima kasih atas kepemimpinan Pak Luhut yang sangat concern dengan hal ini. Eksplorasi migas harus masif, Presiden sudah memberi arahan," pungkasnya.

Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 (PP 79/2010) sudah di depan mata. Selama 3 minggu menjadi Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan, terus menggenjot perombakan aturan ini. Hasil revisi tinggal difinalisasi dan sebentar lagi diserahkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk disahkan.  PP 79/2010 yang mengatur cost recovery dan pajak-pajak di hulu migas ini dinilai menghambat investasi. Terlalu banyak pajak yang dipungut sehingga investor malas mencari minyak di Indonesia.

Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, mengungkapkan dalam draft terakhir revisi PP 79/2010 dibuat ketentuan baru, kontraktor migas mendapat insentif tax holiday pada saat kegiatan eksplorasi migas. Dengan begitu, tidak akan ada lagi pajak yang harus dibayar pada saat mencari minyak di Indonesia.

"Ada prinsip-prinsip pemberlakuan insentif khusus pada saat kegiatan eksplorasi hulu migas. KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) kan belum dapat uang (saat eksplorasi), jadi jangan ada pajak. Kita usulkan saat eksplorasi diberi tax holiday, jadi tidak kena pajak sama sekali," kata Wirat, saat diskusi di Gedung Migas, Jakarta, Jumat (9/9/2016).

Untuk mendorong kegiatan eksplorasi migas, dalam revisi atas PP 79/2010 juga diberlakukan prinsip Block Basis di blok-blok yang sudah berproduksi. Biaya investasi untuk kegiatan eksplorasi di lokasi yang masih dalam satu Wilayah Kerja (WK/blok) bisa diklaim sebagai cost recovery yang harus diganti negara. "Untuk KKKS yang sudah punya WK, berlaku prinsip Block Basis," ucapnya.

Selama ini, kontraktor hanya dapat meminta cost recovery untuk biaya yang dikeluarkannya di lapangan yang sudah berproduksi. Prinsip ini disebut Plan of Development (POD) Basis, yakni cost recoveryberdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk pengembangan di 1 lapangan. Biaya untuk eksplorasi, meski masih dalam 1 blok, tidak dapat diklaim kepada negara kalau belum menemukan cadangan migas dan memproduksinya.

Revisi PP 79/2010 juga memberi kepastian hukum pada kontraktor-kontraktor migas di Indonesia. Sebab, aturan hasil revisi menghormati kontrak bagi hasil (Profit Sharing Contract/PSC) yang sudah ditandatangani oleh kontraktor dan SKK Migas. PP 79/2010 memang kerap diprotes karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dalam PSC. "Hal-hal yang sudah ditetapkan dalam PSC kita hormati ujar Wirat.

Keuntungan lain yang ditawarkan kepada para KKKS lewat revisi PP 79/2010 adalah bagi hasil yang lebih fleksibel. Bagi hasil yang berlaku dalam PSC di Indonesia saat ini adalah 85% hasil produksi migas untuk negara dan 15% untuk kontraktor (85:15). Setelah PP 79/2010 dirombak, bagian kontraktor dapat diperbesar hingga 40%.

Saat harga minyak rendah seperti sekarang, bagian negara akan dipangkas hingga tinggal 60%. Tapi bagian negara akan kembali menjadi 85% saat harga minyak tinggi. "Ada insentif, bagian KKKS fleksibel. Bagian negara mungkin akan turun tapi iklim investasi kita jadi atraktif. Sesuai arahan Plt Menteri, migas ini penggerak perekonomian," papar Wirat.

Wirat berharap revisi PP 79/2010 dapat mendorong minat perusahaan-perusahaan migas untuk menggiatkan pencarian cadangan migas baru di Indonesia. Sebab tanpa adanya penemuan cadangan baru, Indonesia akan kehabisan minyak bumi dalam kurun waktu sekitar 10 tahun mendatang.

Cadangan terbukti minyak Indonesia tinggal 3,6 miliar barel, sementara konsumsi minyak per tahun mencapai 300 juta barel dan akan terus meningkat. Sebenarnya masih banyak cadangan minyak yang dimiliki Indonesia, tapi lokasinya di laut dalam dan tempat-tempat terpencil. Tanpa adanya terobosan-terobosan, eksplorasi cadangan-cadangan tersebut tidak ekonomis. Maka revisi PP 79/2010 amat mendesak.

"Jumlah KKKS kita turun setelah ada PP 79/2010. Padahal saat itu (2010-2014) harga minyak tinggi, tapi KKKS di Indonesia malah berkurang, artinya kita tidak atraktif. Kita berharap (jumlah KKKS) menanjak lagi setelah revisi PP 79. Kalau ada banyak KKKS, kemungkinan kita menemukan cadangan baru lebih besar," tutupnya.

No comments:

Post a Comment