Friday, November 10, 2017

AC Nielsen : Penyebab Lesunya Industri Retail Bukan Lapak Online

Lebaran biasanya menjadi momentum industri ritel untuk mengeruk pendapatan seiring lonjakan penjualan dan konsumsi masyarakat yang biasanya terjadi. Namun, penjualan lebaran tahun ini membuat industri ritel harus geleng-geleng kepala.

Hasil survei Nielsen terkat kinerja industri ritel menunjukkan pertumbuhan penjualan sepanjang lebaran tahun ini dibanding lebaran tahun lalu (year on year/yoy) hanya mencapai 5 persen. Pertumbuhan tersebut paling rendah dalam lima tahun terakhir. Padahal, pada momentum Lebaran 2012, pertumbuhan penjualan ritel bahkan sempat tumbuh mencapai 38,7 persen (yoy).

"Lebaran tahun ini tumbuhnya paling rendah, biasanya kami mengukur penjualan 12 minggu (sebelum dan sesudah hari raya). Penyebabnya, selain daya beli kelompok menengah bawah yang melemah, juga karena masyarakat semakin selektif dalam berbelanja," ujar Managing Director Nielsen Indonesia Agus Nurudin.

Survei Nielsen juga menyebut, industri barang konsumsi kemasan (Fast Moving Consumer Good/FMCG) sepanjang tahun ini (year to date) hanya tumbuh 2,7 persen. Padahal rata-rata pertumbuhan industri tersebut mencapai 11 persen dalam lima tahun terakhir.

"Tahun lalu sebenarnya sudah mulai terlihat melambat dan hanya tumbuh 7,7 persen (yoy). Tahun ini, lebih melambat lagi, hingga September hanya tumbuh 2,7 persen," ungkap dia.  Pertumbuhan industri ritel secara keseluruhan pada September 2017 bahkan menurut catatan Nielsen hanya tumbuh 3,8 persen di banding bulan sebelumnya (month to month/mtm).Pertumbuhan tersebut jauh berada dibawah rata-rata pertumbuhan ritel yang biasanya mencapai 10-11 persen.

Berdasarkan catatan, pertumbuhan ritel modern pada bulan September masih lebih baik, yakni mencapai 5,1 persen (mtm). Sementara pertumbuhan ritel konvensional, hanya tumbuh 2,8 persen (mtm).

Nielsen pun menenggarai, salah satu penyebab perlambatan pertumbuhan ritel adalah daya beli masyarakat menengah terhadap produk-produk tersebut yang tergerus. Padahal, kelompok tersebut memegang porsi paling besar konsumsi barang tersebut di tanah air.  "Gaji mereka tidak turun, karena kan UMP (Upah Minimum Provinsi/UMP) terus naik. Tapi mungkin gaji riil dan pendapatan seperti lembur, komisi, dan lainnya berkurang, sedangkan biaya hidup meningkat," ungkap dia.

Agus menjelaskan pengeluaran biaya pendidikan oleh kelompok masyarakat menengah ke bawah mencatatkan peningkatan paling tinggi pada tahun ini yang mencapai 57 persen. Biaya pendidikan tersebut menurut dia, tak hanya sebatas biaya sekolah, tetapi juga biaya les dan buku. "Biaya sekolah mungkin tidak naik tinggi, bahkan sekolah negeri di Jakarta gratis. Tapi saat ini, bukan hanya kelompok menengah ke atas yang banyak memberikan les pada anaknya, menengah ke bawah juga," jelas dia.

Selain itu, peningkatan signifikan juga terjadi untuk biaya listrik dan makanan segar. Hal ini membuat kelompok masyarakat tersebut mengurangi konsumsi produk kemasan dan menahan pembelian secara impulsif. Akibatnya, konsumsi masyarakat pada mie instan, susu, kopi, dan produk makanan lainnya mengalami penurunan. Penjualan mie instan hingga September secara volume tercatat turun 4,4 persen, susu turun 0,2 persen, dan kopi turun 1,5 persen.

Sementara itu, kelompok masyarakat menengah ke atas masih memperlihatkan daya beli yang solid. Hal ini terlihat dari hasil survei Nielsen terkait industri Food and Beverage yang secara keseluruhan tumbuh 38 persen sepanjang tahun ini. Bisnis restoran tumbuh 34 persen, bisnis makanan cepat saji tumbuh 41 persen, gerai makanan lainnya sebesar 28 persen.

Survei Nielsen juga menunjukkan perlambatan pertumbuhan FMCG di tahun ini bukan semata-mata dipengaruhi langsung oleh bertumbuhnya e-commerce di Indonesia. Pasalnya, penjualan FMCG melalui e-commerce hanya mencapai 1 persen dibandingkan dengan penjualan offlinesecara tota

No comments:

Post a Comment