Friday, November 10, 2017

Data BPS Berhasil Ungkap Penyebab Runtuhnya Industri Retail FMCG

Pemerintah boleh optimis menebak pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal ketiga tahun ini bisa mencapai 5,4 persen. Namun, nyatanya, data Badan Pusat Statistik yang baru dirilis kemarin menunjukkan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,06 persen.

Alhasil, secara kumulatif, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga kuartal tiga hanya mencapai 5,03 persen dan semakin jauh untuk menggapai target pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,2 persen. Pasalnya, guna mencapai target tersebut, ekonomi Indonesia di kuartal empat harus tumbuh sekitar 5,7 persen.

Kepala BPS Suhariyanto mengungkapkan, lambatnya konsumsi rumah tangga seiring pergeseran pola konsumsi masyarakat, yang semula cukup konsumtif pada belanja makanan dan pakaian, beralih ke konsumsi untuk mengisi kebutuhan waktu luang (leisure). Hal ini, menurut dia, khususnya berlaku untuk masyarakat menengah ke atas.

“Adanya media sosial di mana orang-orang bisa menunjukkan pengalamannya, ini sangat berpengaruh terhadap pergeseran konsumsi ini. Hasilnya, konsumsi untuk leisure meningkat, namun konsumsi masyarakat di barang-barang kebutuhan biasa melemah,” ujar Ketjuk, sapaan akrabnya di Jakarta (6/11). Tercatat, kelompok konsumsi makanan dan minuman selain restoran melambat ke 5,04 persen dari sebelumnya 5,23 persen pada kuartal III 2016 dan 5,24 persen pada kuartal II 2017.

Adapun data BPS ini tak jauh berbeda dengan hasil survei Nielsen yang mencatat bahwa barang konsumsi kemasan (Fast Moving Consumer Goods/FMCG) hanya tumbuh 2,7 persen hingga September 2017. Padahal, pada sepanjang tahun lalu, industri ini masih mampu tumbuh 7,7 persen. Bahkan dalam lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhannya per tahun mencapai 11 persen.

Menurut catatan Nielsen, lesunya penjualan barang konsumsi tersebut disebabkan oleh melemahnya daya beli kelompok menengah ke bawah dan masyarakat yang semakin selektif dalam berbelanja.


Selain barang konsumsi kemasan yang lesu, data BPS mencatat, konsumsi berupa pembelian pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya pada kuartal tiga tahun ini ikut melambat dan hanya tumbuh 2 persen. Padahal pada kuartal III 2016, pertumbuhannya masih mencapai 2,24 persen, bahkan sempat bergairah di kuartal II 2017 ke angka 3,47 persen.

Tak heran, beberapa toko ritel pun mulai mengetatkan ikat pinggang dan gencar melakukan efisiensi dengan menutup gerai.  Lantas, apa benar lesunya konsumsi rumah tangga dan industri ritel disebabkan adanya pergeseran pola konsumsi?

Data BPS mencatat, pertumbuhan konsumsi kelompok restoran dan hotel meningkat dari 5,01 persen pada kuartal III 2016 menjadi 5,52 persen pada kuartal III 2017. Namun, masih lebih rendah dibandingkan kuartal II 2017 sebesar 5,86 persen.

Manajemen pusat perbelanjaan (mal) Senayan City mengaku, ada peningkatan kunjungan masyarakat ke mal yang terletak di daerah elite tersebut, khsusunya pada gerai makanan dan minuman. "Kebetulan kami punya food court baru, Delicae, dengan adanya tambahan toko kuliner yang ada, pengunjung rasanya tetap banyak, khususnya yang ingin cari makan di food court baru kami itu," ujar Assistan Manager Public Relation and Customer Relations Senayan City Elsi Adianti.

Sayang, Elsi belum bisa memberikan data resmi jumlah pengunjung yang datang ke Senayan City sepanjang tahun ini. Namun, secara keseluruhan disebutnya tetap meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.




Sementara itu, okupansi (Tingkat Penghunian Kamar/TPK) hotel di DKI Jakarta mencapai 68,13 persen dengan rata-rata menginap selama 1,86 hari untuk tamu domestik maupun mancanegara. Angka ini terbilang stagnan dari bulan sebelumnya.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani bilang, hal ini karena semakin banyaknya hotel baru di ibukota. Namun, beberapa acara yang diselenggarakan di hotel tetap berjalan, sehingga secara keseluruhan stagnan.Kendati demikian, menurut dia, masih ada pertumbuhan dari perhotelan di luar Jakarta, misalnya Bali yang masih menjadi primadona wisata domestik maupun mancanegara.

Ketua Bali Hotel Association (BHA) Ricky Putra mengatakan, tingkat okupansi hotel di Bali meningkat sekitar 10-15 persen sampai Oktober lalu, meski sempat terdampak sentimen status waspada Gunung Agung. Ia mencontohkan, okupansi hotel di kawasan Nusa Dua dan Jimbaran sebesar 78 persen dibandingkan tahun lalu 72 persen. Lalu, okupansi hotel di Kuta dan Legian mencapai 83 persen, padahal tahun lalu hanya 76 persen. Sedangkan okupansi hotel di Sanur mencapai 76 persen dari sebelumnya 69 persen pada tahun lalu.

"Oktober mungkin sempat stagnan karena Gunung Agung, tapi keseluruhan Januari-Oktober itu lebih bagus dibandingkan tahun lalu. Bahkan, dengan penurunan status Gunung Agung diperkirakan sampai akhir tahun tetap memuaskan," kata Ricky. Menurutnya, memang ada kecenderungan peningkatan jumlah wisatawan domestik dan mancanegara ke Pulau Dewata tahun ini. Hal ini katanya lantaran kebutuhan masyarakat untuk wisata memang seakan bertambah dari tahun ke tahun.

Bahkan, sentuhan wisata dilihatnya merasuk lebih dalam ke masyarakat, misalnya semakin banyak masyarakat yang ingin menggelar pesta pernikahan di Bali dan mengundang koleganya untuk menghadiri pesta, sekaligus berlbur.

Peningkatan aktivitas wisata masyarakat juga diamini Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (Asita) Indonesia. Pasalnya, hampir seluruh travel fair yang digelar sukses menarik minat masyarakat untuk membeli tiket pesawat ke beberapa destinasi wisata, baik domestik maupun luar negeri.

"Tahun ini masyarakat banyak disuguhi travel fair, selalu penuh. Pola konsumsi masyarakat cenderung ke arah travelling," tutur Wakil Ketua Asita Budijanto Ardiansyah. Selain melalui ajang travel fair, pembelian tiket pesawat ke destinasi wisata melalui platform penjualan daring (online) juga meningkat signifikan. "Nah itu mereka yang berjualan onlinenaiknya gila-gilaan itu," tutur Budi.

Sayang, Budi mengaku belum mendapatkan data hingga akhir September 2017. Adapun pada kuartal I tahun ini, belanja wisata tercatat meningkat 15 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. "Kuartal II naik juga, jadi semester I tetap lebih tinggi dari tahun lalu," sambung Budi.

Beberapa destinasi yang banyak dikunjungi oleh masyarakat, yakni Bali, Yogyakarta, dan Bandung. Selain itu, Asita juga memantau adanya kenaikan jumlah wisatawan ke kawasan Raja Ampat, Papua. "Sampai akhir tahun diharapkan sedapat mungkin naik terus secara berkala," ucap Budi.

No comments:

Post a Comment