Isu pelemahan daya beli masih menjadi kontroversi. Pihak pemerintah masih yakin bahwa tidak ada penurunan daya beli, namun para pengusaha ritel menjerit dan satu per satu mulai melakukan penutupan cabang. Presiden Joko Widodo pun kembali melontarkan pernyataan optimistis, bahwa dia yakin daya beli masyarakat Indonesia tidak melemah. Hal itu dilontarkannya dengan menyebutkan data peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kedatangan turis asing hingga kondisi ekspor yang terus bertambah.
Namun Pengamat ekonomi dari Institute For Economic and Development Finance (Indef) Bima Yudhistira mengatakan, pertumbuhan PPN tidak bisa menggambarkan kondisi daya beli saat ini. Sebab PPN naik disebabkan perbaikan administrasi dan meningkatnya kepatuhan wajib pajak pasca tax amnesty.
"Pengguna e-faktur jumlahnya terus naik," tuturnya saat dihubung.
Bima menambahkan, bukti nyata penurunan daya beli juga bisa dilihat dari upah buruh tani yang terus tergerus inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Nilai Tukar Petani (NTP) nasional di bulan Maret 2017 turun 0,38% dibandingkan bulan Februari 2017, yakni dari 100,33 menjadi 99,95.
"Begitu juga dengan upah riil buruh bangunan dalam 3 tahun turun. Kesimpulannya upah nominal masyarakat kelas bawah tidak bisa mengikuti kenaikan harga kebutuhan pokok," tuturnya.
Indikasi lainnya, lanjut Bima, Industri manufaktur tumbuh di bawah laju Produk Domestik Bruto (PDB). Padahal sekitar 14,05% dari tenaga kerja Indonesia pada data Agustus 2017 merupakan tenaga kerja di sektor Industri.
"Sektor ritel melemah. FMCG hanya tumbuh 2,7% (year to date) hingga September 2017. FMCG tumbuh 11% pada periode sebelumnya. Penurunan belanja offline belum sebanding dengan peningkatan belanda online, walau pangsa masih kecil," tambahnya.
Dia juga menambahkan melemahnya daya beli juga terlihat dari semakin besarnya dana pihak ketiga (DPK) di perbankan yang naik 9,6% dari Rp 4.836,8 triliun di 2016 menjadi Rp 5.142,9 triliun pada September 2017 menjadi
No comments:
Post a Comment