Wednesday, November 15, 2017

Analisa Delisting Saham Berau Dari Bursa Efek Indonesia

PT Bursa Efek Indonesia (BEI) kembali melakukan penghapusan saham. Kali ini giliran PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) yang sahamnya didepak oleh BEI. Keputusan penghapusan shaam BRAU tercatat dalam surat No: Peng-DEL-00002/BEI.PP1/11-2017 yang diterbikan BEI hari ini. Dengan keluarnya surat tersebut maka saham BRAU terhitung sejak 16 November 2017 sudah tidak ada lagi di papan perdagangan.

"Dengan dicabutnya status perseroan sebagai perusahaan tercatat, maka perseroan tidak lagi memiliki kewajiban sebagai perusahaan tercatat dan BEI akan menghapus nama perseroan dari daftar perusahaan tercatat," kata Kepala Divisi Penilaian Perusahaan BEI, Rina Hadriyanto dilansir keterbukaan informasi, Rabu (15/11/2017).

Meski sahamnya dihapus, PT Berau Coal Energy Tbk masih berstatus perusahaan publik. Sehingga perseroan tetap wajib memperhatikan kepentingan pemegang saham publik dan mematuhi ketentuan mengenai keterbukaan informasi dan pelaporan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Perseroan juga masih berkesempatan untuk melantai di pasar modal derngan melakukan pencatatan saham kembali (relisting). Proses relisting dapat dilakukan paling cepat 6 bulan sejak sahamnya dihapus. Sebelumnya BEI telah menghapus saham PT Inovisi Infracom Tbk (INVS) pada 26 September 2017 yang lalu.

Saham PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) berujung dihapus (delisting) oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI). Padahal saat harga batu bara tengah booming, saham ini pernah menjadi primadona dengan emiten sejenis lainnya. Menurut Analis Mina Padi Investama Christian Saortua kejatuhan saham BRAU bermulai ketika anjloknya harga batu bara dunia pada sekitar 2014. Saat itu cukup banyak perusahaan batu bara yang terpukul.

"Beberapa negara di luar sana sudah mulai anti menggunakan batu bara. Akhirnya permintaan batu bara apalagi yang kualitasnya rendah sudah semakin turun," tuturnya. Sebenarnya kata Christian masih ada sedikit peluang bagi perusahaan batu bara untuk bertahan. Sebab negara-negara berkembang yang kebutuhan energinya masih tinggi masih membutuhkan batu bara.

Namun dengan pasar yang semakin sempit persaingan di industri batu bara pun semakin ketat. Selain berebut ceruk pasar, mereka perusahaan batu bara juga harus melakukan inovasi seperti memanfaatkan batu baranya sendiri menjadi energi listrik dengan membangun pembangkit listrik.

Namun sepertinya BRAU tak bisa memanfaatkan sedikit peluang itu untuk bertahan. Ditambah lagi perseroan memiliki beban utang yang besar. "Kalau mereka punya beban operasi yang tinggi terutama terbebani oleh utang agak sulit untuk bertahan. Kebanyakan kan hasilnya buat bayar utang, buat bayar bunga," tambahnya.

Pada Juli 2015, BRAU diketauhi gagal bayar utang US$ 450 juta atau Rp 6 triliun jika dihitung dari kurs saat ini Rp 13.500. Surat utang itu diterbitkan oleh anak usaha perseroan di Singapura, Berau Capital Resources Pte. Ltd (BCR). Anak usahanya itu tak bisa membayar utang setelah melewati batas waktu pembayaran 8 Juli 2015. Atas hal ini, Pengadilan Tinggi Singapura mengeluarkan moratorium kepada Berau hingga 4 Januari 2016 untuk bernegosasi dengan pemegang surat utangnya.

Pada 1 Juli 2015, Asia Coal Energy Ventures Limited (ACE) yang dimotori oleh Grup Sinarmas menawar untuk membeli seluruh kepemilikan saham Berau di Asia Resource Minerals (ARM). Jumlah saham ARM yang dimiliki Berau adalah 84,7%.

Tawaran penambahan modal ini sudah disetujui oleh 68,2% pemegang saham ARM. Caranya bisa mengambil tawaran Sinarmas atau dari NR Holdings milik Nathaniel Rothschild.

Berau akan membayar sebagian utangnya melalui dana US$ 100 juta (Rp 1,3 triliun) yang didapat dari ACE ditambah kas internal US$ 18,74 juta. Namun proses restrukturisasi utang itu sulit dilakukan. PT Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini sudah menghapus pencatatan (delisting) 4 saham dari papan perdagangan. Keempat saham itu yakni PT PT Inovisi Infracom (INVS), PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU), PT Permata Prima Sakti Tbk (TKGA) dan PT Citra Maharlika Nusantara Corpora Tbk (CPGT).

Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (MISSI), Sanusi, keputusan tersebut menimbulkan kekecewaan terhadap para pelaku pasar. Bukan karena tindakan tegasnya, tapi lantaran tidak adanya perlakuan perlindungan dari BEI dan OJK atas nasib pemegang sahamnya.

"Kita kecewa tentunya, ini kan bukan kita yang salah tapi emitennya. Terus kesalahan emiten enggak ada tindakan dari OJK dan BEI," tuturnya. Menurut Sanusi, OJK dan BEI seharusnya mendalami kasus-kasus yang membuat emiten tersebut didepak dari pasar modal. Jika terkait dengan ketidakjelasan penyampaian laporan keuangan dia menilai seharusnya ada tindakan hukum

"Kan manipulasi keuangan, ambil dong tindakan hukum. Kesalahannya apa, bagaimana caranya. Kalau pidana ya pidana. Ini kan enggak, beban diserahkan ke kita," imbuhnya. Para investor ritel khususnya yang investasinya nyangkut di saham yang telah delisting saat ini nasibnya tak jelas. Mereka juga bingung harus melakukan apa untuk memperjuangkan haknya.

Sanusi pun meminta OJK dan BEI membuat aturan yang jelas terkait emiten yang telah di-delisting. "Setelah di-delistingharus melakukan apa, harus jelas. Kalau buat peraturan harusnya juga ada tindakan," tegasnya. PT Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini telah menghapus pencatatan (delisting) 4 saham, salah satunya PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU). Padahal perusahaan tambang itu pernah menjadi primadona di zaman harga batu bara tinggi.

BRAU yang dulunya bernama PT Risco melantai di pasar modal pada 19 Agustus 2010. Saat itu perusahaan tersebut melepas 3,4 miliar lembar saham dengan harga penawaran Rp 400 per lembar. Saham BRAU pun cukup diminati pelaku pasar kala itu. Terbukti dari pergerakan sahamnya yang terus menguat.

Pada April 2012, saham BRAU sempat menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah yakni di level Rp 540 per saham. Meskipun ditahun-tahun sebelumnya laba bersih BRAU terus menurun, pada 2010 saja bersih BRAU terpangkas 27,39% menjadi Rp 619,8 miliar akibat naiknya beban penjualan yang mencapai Rp 6,23 triliun.

Kinerja BRAU terus menurun sejak 2013, bahkan pada Juli 2015 perseroan diketahui gagal melakukan pembayaran utang sebesar US$ 450 juta yang jatuh tempo pada saat itu. Surat utang itu diterbitkan oleh anak usaha perseroan di Singapura, Berau Capital Resources Pte. Ltd (BCR). Nasib perseroan pun tak jelas lantaran tak menyampaikan laporan keuangan pada semester I-2015. BEI pun menjatuhkan hukuman suspensi atas saham BRAU pada 30 Oktober 2015.

Saat itu saham BRAU sudah terkapar di level Rp 82 per lembar. Hingga saat ini tidak ada kejelasan terkait nasib saham tersebut, hingga akhirnya BRAU di depak dari pasar modal dengan 3 perusahaan lainnya. PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) akan menggelar penawaran tender kepada para pemegang obligasi (bondholders) untuk pembelian tunai atas dua surat utangnya. Nilai keduanya mencapai Rp 12,35 triliun.

Surat utang pertama dalah Guaranteed Senior Secured Notes US$ 450 juta (Rp 5,85 triliun) dengan bunga 12,5% yang jatuh tempo 2015. Surat uang ini diterbitkan oleh Berau Capital Resources Pte Ltd dan dijamin oleh BRAU. Sementara yang kedua adalah Guaranteed Senior Secured Notes US$ 500 juta (Rp 6,5 triliun). Surat utang berbunga 7,25% dan jatuh tempo 2017 itu diterbitkan oleh Perseroan.

"Penawaran tender ini akan dilakukan terhitung sehak 24 November 2015 sampa dengan tanggal 16 Desember 2014 jam 17.00 waktu kota New York, Amerika Serikat (AS)," kata Direktur Berau, Edy Santoso, dalam keterangan tertulis, Senin (23/11/2015). Menurutnya tujuan penawaran tender ini antara lain untuk memperbaiki posisi dan struktur keuangan Perseroan.

PT Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menghapus saham PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) dari papan perdagangan pasar modal. Hal itu menjadi bukti bahwa fluktuasi harga komoditas batu bara telah memakan banyak korban. Analis Mina Padi Investama Christian Saortua memandang sebenarnya industri batu bara sudah tak bersinar. Meskipun saat ini harga batu bara sudah mulai meningkat lagi dan tengah di kisaran US$ 90 an per ton.

Namun anjloknya harga batu bara pada 2014 telah memukul banyak perusahaan di sektor ini. Cukup banyak perusahaan batu bara yang terkena dampaknya termasuk BRAU. "Sebenarnya saya melihatnya industri batu bara ini sudah jenuh. Memang saat ini yang terjadi konsolidasi dari pemain-pemain yang lama," tuturnya. Sebenarnya kata Christian masih ada sedikit peluang bagi perusahaan batu bara untuk bertahan. Sebab negara-negara berkembang yang kebutuhan energinya masih tinggi membutuhkan batu bara.

Namun dengan pasar yang semakin sempit persaingan di industri batu bara pun semakin ketat. Selain berebut ceruk pasar, mereka perusahaan batu bara juga harus melakukan inovasi seperti memanfaatkan batu baranya sendiri menjadi energi listrik dengan membangun pembangkit listrik.

"Memang kalau inovasi itu tergantung permintaan dan kondisi pasar juga. Seperti kita ketahui semenjak Pak Jokowi punya program pembangkit 35 ribu MW kesempatan itu ada di pasar. Tapi tak bisa dipungkiri penurunan harga batu bara di 2014 cukup membuat perusahaan penghasil batu bara terpukul," imbuhnya.

Menurut Christian saat ini perusahaan-perusahaan batu bara yang bisa bertahan hanya pemain-pemain lama. Mereka yang sudah memiliki kekuatan finansial masih bisa mencari peluang lainnya. "Pemain lama yang sudah punya efisiensi yang tinggi, punya kekuatan modal, punya ruang pengembangan usaha di lini lain yang bergerak di sekitaran batu bara. Mereka yang sudah punya kesiapan modal dan infrastrukturnya saya lihat marketnya berkonsolidasi. Merekalah yang bisa bertahan di industri ini," tukasnya.

BRAU sendiri sebenarnya belum lama bermain di industri batu bara. Perusahaan yang dulunya bernama PT Risco ini berdiri sejak 7 September 2005. Lalu baru masuk pasar modal pada 19 Agustus 2010.

No comments:

Post a Comment