Monday, November 27, 2017

Aprindo : Volume Penjual Ritel Indonesia Alami Penurunan

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memperkirakan volume penjualan produk ritel menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru bakal meningkat 10 hingga 15 persen secara tahunan. "Kalau untuk Natal, biasanya produk yang dibeli itu sirup, biskuit, minuman ringan, dan makanan-makanan ringan siap saji," tutur Ketua Umum Aprindo Roy Mandey saat ditemui di kantor Badan Urusan Logistik (Bulog), Senin (27/11).

Roy mengakui, peningkatan volume penjualan pada perayaan akhir tahun ini lebih rendah dari realisasi tahun-tahun sebelumnya yang bisa mencapai 20 hingga 25 persen secara tahunan. Hal itu tak lepas dari perubahan pola belanja konsumen yang mulai mengalihkan konsumsinya ke kegiatan kesenangan (leisure) seperti jalan-jalan maupun wisata kuliner.

Selain itu, perlambatan pertumbuhan konsumsi juga terjadi akibat masyarakat kelas menengah ke atas menahan konsumsi dan lebih memilih menempatkan uangnya di simpanan perbankan maupun investasi. Perlambatan konsumsi itu sudah terlihat saat perayaan lebaran tahun ini. Tercermin dari volume penjualan ritel yang hanya naik sekitar 5 persen dari biasanya sekitar 15 hingga 20 persen.

Sepanjang tahun, Aprindo memperkirakan volume penjualan ritel hanya bakal tumbuh 7,8 hingga delapan persen atau menjadi sekitar Rp215 triliun hingga Rp220 triliun. "Biasanya (penjualan) lebaran itu berkontribusi 40 sampai 45 persen terhadap target penjualan tahunan, dan untuk akhir tahun itu biasanya berkontribusi sekitar 15 sampai 20 persen dari total target," pungkasnya.

Terkait harga, Roy belum melihat potensi peningkatan harga yang signifikan. Terlebih, pihaknya kini telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Bulog terkait distribusi komoditas bahan pokok di seluruh Indonesia.

Setelah MoU, Bulog akan bekerja sama dengan mitra peritel di setiap daerah dalam hal penyaluran komoditas bahan pangan dengan mutu dan harga sesuai acuan pemerintah. Untuk tahap awal, kerja sama akan mencakup penyaluran empat bahan pokok utama yaitu beras, gula pasir, minyak goreng kemasan sederhana, dan daging sapi.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan, maraknya penutupan gerai ritel memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri tersebut, yang jumlahnya besar. Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, pergeseran pola konsumsi dan minimnya insentif dari pemerintah menjadi beberapa alasan gerai ritel gulung tikar. Ia menaksir, jumlah pekerja yang terkena PHK menembus angka 1.000 orang.

"Kisarannya 1.200-an orang sudah kena PHK di industri ritel. Dari penutupan gerai Sevel (7-Eleven) saja, sudah sekitar 800 pekerja. Masih ditambah dari ritel lainnya," ungkapnya. Ia menjelaskan, Aprindo tidak memiliki kebijakan khusus soal PHK. Menurutnya, semua aturan PHK sudah jelas mengikuti Undang-undang Ketenagakerjaan. Namun, Roy menyatakan kondisi ini seharusnya sudah menjadi 'alarm' untuk pemerintah.

"Kami alert ke pemerintah bahwa bisnis ritel ini menyerap 4 juta tenaga kerja, bahkan kalau total hulu ke hilir bisa 14 juta tenaga kerja. Ini menempati porsi kedua dari jumlah tenaga kerja setelah agribisnis," kata Roy.  Yang mengkhawatirkan, lanjut Roy, adalah perpindahan para eks pekerja ritel ke sektor yang informal. Ia menjelaskan, kenaikan pekerja informal bisa membuat konsumsi lebih rendah.

"Nanti bisa jadi informal worker dan membuat konsumsi lebih rendah. Alasannya, informal worker yang penting makan dan minum, daripada belanja sekunder," jelasnya.  Bahkan, Roy menyatakan dalam kondisi ekonomi terburuk, pergeseran eks pekerja ritel ke sektor informal bisa sampai 50 persen dari 4 juta pekerja di bagian hilir.

"Ketika menjadi pekerja informal, mereka tidak punya pendapatan tetap. Hanya dapat komisi atau UMP [Upah Minimum Provinsi]. Lalu bagaimana mereka mau berbelanja? Kalau konsumsi kebutuhan dasar pasti. Kalau belanja?" katanya. Isu pelemahan industri ritel sudah terendus sejak awal tahun ini. Beberapa perusahaan menutup beberapa gerainya yang dinilai tidak memberikan keuntungan terhadap kinerja secara konsolidasian.

Misalnya saja, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) yang baru menutup dua gerainya di kawasan Blok M dan Manggarai. Kemudian, diikuti penutupan gerai Lotus dan Debenhams oleh PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI). Kedua manajemen ini kompak beralasan penutupan gerai dilakukan karena gerai tersebut tidak menghasilkan pendapatan sesuai target perusahaan. Dengan kata lain, keputusan itu juga bisa dikatakan sebagai efisiensi perusahaan.

Yang paling besar belum lama ini, PT Modern Internasional Tbk telah menutup semua gerai 7-Eleven di bawah pengelolaannya pada 30 Juni 2017 karena kurangnya sumber daya untuk mendanai operasional tokonya.  Perusahaan menutup sekitar 25 gerai pada 2016, meninggalkan perusahaan dengan 161 toko. Pada 2015, Modern Internasional memiliki lebih dari 185 gerai 7-Eleven.

Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mendesak pemerintah segera mengatur toko ritel berbasis daring (online) agar level kompetisi dengan toko ritel fisik (offline) bisa lebih setara. Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta pada Sabtu (28/10) mengatakan pemilik toko ritel offline harus mengikuti sejumlah aturan yang ditetapkan pemerintah, misalnya terkait perizinan, standar produk, dan gaji pegawai. Sementara itu, pengusaha online dinilai relatif lebih bebas.

Dia menyoroti belum ada ketentuan yang secara spesifik mengatur perdagangan daring. Bahkan, hingga kini, Rancangan Peraturan Pemerintah terkait Perdagangan Secara Elektronik belum juga disahkan menjadi ketentuan resmi.  "Kalau kami melakukan aktivitas perdagangan dengan segala aturan yang ada bagaimana dengan online? Ada tidak? Ternyata, faktanya sampai sekarang belum ada ketentuan soal online itu," ujar Tutum saat menghadiri sebuah acara diskusi di Jakarta, Sabtu (28/10).

Menurut Tutum, seiring dengan kemajuan teknologi, tren peralihan pola belanja masyarakat tidak bisa dihindari. Bahkan, pemilik toko ritel offline pun juga memiliki saluran penjualan produk secara online. Kendati demikian, pemerintah perlu tetap mangatur aturan main perdagangannya karena, jika dibiarkan, bisnis ritel offline bisa mati karena pemiliknya semua beralih ke online.

Belum lama, sejumlah gerai pusat perbelanjaan di Indonesia ditutup oleh pemiliknya karena sudah menangkap sinyal perubahan pola berbelanja masyarakat. Di antaranya adalah Matahari, Ramayana, dan Lotus.  Secara bisnis, menurut Tutum, upaya efisiensi itu masuk akal, karena pemilik toko tak lagi harus membayar biaya sewa toko dan gaji pegawai yang terus naik setiap tahunnya di tengah turunnya jumlah pengunjung.

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Ari Kuncoro tak heran jika bisnis online sekarang makin marak dan toko ritel offline semakin menciut. Alasannya, kompetisi memang tidak dilakukan secara adil.  Misalnya, pelaku ritel jika ingin mendirikan toko fisik harus mengurus hingga 50 izin yang berujung pada tambahan biaya. Hal ini berdampak pada harga barang yang menjadi lebih mahal dibandingkan harga barang yang dijual secara langsung melalui toko ritel online.

Melihat harga barang yang lebih mahal di toko offline, konsumen tentu akan beralih ke online, kata dia. Tugas pemerintah adalah membuat bisnis ritel offline dan online bisa berjalan bergandengan dengan adil. Misalnya, dengan mengatur bahwa pemilik ritel online harus memiliki gudang penyimpanan dengan spesifikasi tertentu.

Kemudian, dari sisi pajak, pemerintah juga harus memastikan pelaku bisnis online memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan membayar pajak.  Polemik antara bisnis offline dan online sebelumnya dialami oleh bisnis taksi konvensional yang terancam oleh kehadiran aplikasi pemesanan transportasi daring.

Dalam hal ini, perusahaan aplikasi online tidak perlu berinvestasi banyak pada mobil maupun pengemudi. Tak heran, tarif untuk mengantarkan penumpang bisa menjadi lebih murah. Guna mensiasati itu, pemerintah Inggris, kata Ari, mengatur agar pengemudi taksi berbasis aplikasi memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan demikian, selisih tarif taksi konvensional dan taksi online menjadi lebih kecil.

Ari mengingatkan, dari sisi efisiensi, toko online bisa lebih efisien. Namun, keberadaan toko offline tetap harus dijaga agar para pekerja yang berada di dalamnya tidak menjadi pengangguran.

No comments:

Post a Comment