Wednesday, November 8, 2017

Vape Akan Dikenai Cukai 57 Persen

Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Heru Pambudi memastikan, pengenaan cukai pada likuid atau essence rokok elektrik (vape/e-sigaret) akan masuk dalam target penerimaan di tahun depan. "Penerimaannya ke 2018 karena penerimaan di enforce di 2018," kata Heru di Kantor Pusat Ditjen Bea dan Cukai (DJBC), Jakarta, Rabu (8/11/2017).

Target penerimaan bea dan cukai dalam APBN 2018 ditetapkan sebesar Rp 194,1 triliun, dengan rincian bea masuk Rp 35,7 triliun, bea keluar Rp 3 triliun, dan cukai Rp 155,4 triliun. Pengenaan cukai likuid atau cairan vape berlaku pada 1 Juli 2018 dengan tarif sebesar 57% bagi essence yang mengandung tembakau. Heru menyebutkan, bahwa potensi penerimaannya tidak mencapai ratusan miliar.

"Enggak sampai, karena relatif kecil tidak menjadi (posting tersendiri), masuk ke ke hasil tembakau lainnya," jelas dia. Heru menyebutkan, tarif yang sebesar 57% ini berlaku dari harga jual eceran (HJE) likuid. Adapun, pengenaan cukai yang diinformasikan sedari sekarang agar memberikan kesempatan bagi para pelaku usaha untuk membenahi berbagai hal, salah satunya terkait dengan izin usaha.

"Alhamdulillah, sebagian besar masyarakat mendukung ini, karena tentunya dengan instrumen cukai, sehingga tidak dikonsumsi di luar yang diperbolehkan, seperti anak-anak SD yang konsumsi secara bergantian dan mungkin membeli secara patungan, dengan harga cukai 57% ada pembatasan lanjutan," ungkap dia.

Dia mengakui, potensi penerimaan yang masih terbilang kecil pada cukai vape ini bukan menjadi tujuan pemerintah, tujuan utamanya adalah pengendalian konsumsi. "Kita tidak fokus pada jumlah penerimaannya tapi apakah rokok baik konvensional maupun elektrik kendalikan konsumsinya oleh orang-orang yang diperkenankan, tidak dikonsumsi oleh anak-anak," tutup dia.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan akan mengenakan cukai sebesar 57% pada likuid atau essence yang menjadi perasa pada rokok elektrik (vape/e-sigaret) pada 1 Juli 2018. Hal itu disambut baik oleh Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI). Pasalnya, sejak 2013 atau saat booming vape di Indonesia hingga saat ini masih belum ada aturan yang jelas dari pemerintah terkait dengan bisnis rokok elektrik di Indonesia.

Apakah ini menjadi titik awal pemerintah mengatur bisnis vape di Indonesia ?

"Kalau nanti misalnya per tanggal 1 Juli 2018 mau dibuat cukai yang sebesar 57%, kami dari APVI ini menyambut gembira, artinya pemerintah sudah melirik vape sebagai industri yang jelas, dalam arti legal, dan pemerintah sudah mau buat aturan," kata Kepala Humas APVI, Rhomedal Jakarta, Sabtu (4/11/2017).

Rhomedal menceritakan, saat ini jumlah toko rokok elektrik di Indonesia mencapai kurang lebih 3.500, di mana sekitar 1.000-an sudah ada di Jabodetabek. Hingga saat ini juga belum ada standar aturan yang jelas dari pemerintah, melainkan hanya ada standar yang ditetapkan asosiasi. Standar yang ditetapkan, setiap toko selalu ada member APVI, tulisan tidak untuk di bawah umur (no under age), no drugs. Sebab, dari total toko di Indonesia tidak semuanya anggota APVI.

"Kalau gambaran seperti UMKM, dalam arti masih toko-toko fisik, belum punya standar yang jelas, karena kan pemerintah belum punya regulasi," jelas dia. Dengan adanya penerapan cukai cairan rokok elektrik ini juga menjadi babak baru buat pemerintah dan APVI sama-sama bekerjasama dalam menyusun aturan atau kebijakan mengenai bisnis vape di Indonesia.

"Karena kita dari dulu itu sama dengan pemerintah yang serius memerangi under age, drugs, kita dari dulu selalu kampanye itu, dan kita juga kampanye soal vape attitude, jadi enggak nge-vape di tempat umum sampai ngebul sembarang," tambah dia. Tidak hanya itu, penjualan rokok elektrik di Indonesia ini juga baru dilakukan pada warung-warung konvensional yang ada, belum merambah ke pasar-pasar modern seperti supermarket dan semacamnya.

Dia berharap, dengan dikenakannya cukai pada likuid rokok elektrik menjadi jalur untuk mengembangkan bisnis di Indonesia. "Dengan 57% industri vape berubah jadi berubah jadi bisa ke supermarket, enggak cuma di toko-toko klontong saja. Tapi harapannya aturannya jangan disamain dengan rokok biasa, karena ada alatnya, ada likuidnya, jadi harapannya kalau bisa berdampingan dengan APVI, kita tahu pasar Indonesia dan menentukan yang benar begitu," tutup dia.

Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memastikan pada 1 Juli 2018 akan mengenakan tarif cukai 57% pada likuid atau essence yang menjadi perasa pada rokok elektrik (vape/e-sigaret). Bagaimana situasi dan kondisi bisnis rokok elektrik sendiri di Indonesia?

Menurut Kepala Humas Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Rhomedal, bisnis usaha rokok elektrik di Indonesia masih sangat menjanjikan meskipun belum ada aturan resmi dari pemerintah. Menjanjikannya bisnis ini lantaran sejak mulai booming pada 2013, sampai saat ini jumlah toko vape yang beroperasi di Indonesia baik yang masuk dalam anggota APVI maupun tidak berjumlah 3.500, dan dari segi individu akan terus bertambah.

"Sebenarnya gini, jumlah anggota APVI terus bertambah, kita kan sekarang lagi bergandengan, jadi dulu di setiap daerah ada sendiri tuh, misalnya Tangerang punya AVTA, Banten punya AVB, Bandung punya AVB, sekarang kita gandeng satu per satu dan jumlahnya betul-betul besar," kata Rhomedal.

Dia mengakui, bisnis atau usaha vape di Indonesia ini masih belum memiliki aturan yang jelas lantaran belum adanya aturan dari pemerintah. Namun, dirinya memiliki memastikan sebagai asosiasi yang sudah berdiri sejak 2013 menerapkan standarisasi bagi toko-toko vape di Indonesia. "Kalau gambaran seperti UMKM, dalam arti masih toko-toko fisik, belum punya standar yang jelas, karena kan pemerintah belum punya regulasi, toko yang masuk di APVI ini toko yang standarisasinya sudah jelas, kalau misalnya di Indonesia kalau kita hitung kasar itu ada sekitar 3.500 toko," tambah dia.

Dari 3.500 toko ini setidaknya untuk Jabodetabek sekitar 1.000-an, sedangkan sisanya tersebar hampir di seluruh Indonesia. Menurut Rhomedal, standarisasi yang telah ditetapkan asosiasi yakni dengan mencantumkan beberapa informasi bahwa terdapat tulisan APVI, tulisan no drugs, tulisan 18+ dan no under age, bahkan diwajibkan untuk memiliki toko offline untuk menghindari penyalah gunaan bagi anak di bawah umum.

"Makanya toko-toko di APVI ini enggak fokus jualan online, anak kecil masuk toko APVI itu pasti diusir, enggak boleh masuk. Kebanyakan anak kecil ini kan belanjanya di pasar pagi, di pedagangan yang buka karpet, itu di luar standar APVI," ungkap dia. Dia mengungkapkan, dari sekitar 3.500 toko rokok elektrik di Indonesia dipastikan akan memberikan penerimaan sektor cukai yang cukup tinggi. Sebab, harga likuid yang beredar di Indonesia berada dikisaran Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu, dan tinggal dikalikan tarif cukai yang sebesar 57%.

Tidak hanya itu, toko rokok elektrik juga membantu pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang membutuhkan. Pasalnya, setiap satu toko membutuhkan sekitar dua orang penjaga hingga lebih dari enam orang penjaga toko. "Nah terus dari segi perekonomian dari 3.500 dengan melihat harga likuid satu botol 60 ml Rp 100-Rp 200 ribu, kita hitung cukainya itu akan menjadi pemasukan pemerintah yang lumayan besar. Jadi sangat bijaksana kalau pemerintah membuatkan regulasinya cukai, menjanjikan-menjanjikan," jelas dia.

Meski demikian, Rhomedal memberikan pesan kepada pemerintah untuk membuka diri memandang rokok elektrik di Indonesia. Di negara-negara maju seperti Inggris dan Prancis menyatakan bahwa rokok elektrik lebih aman dibandingkan rokok konvensional. "Negara Inggris sudah mengeluarkan statement kalau vape 95% lebih aman dari rokok, di Paris juga sudah ada uji lab yang menyatakan jauh lebih sehat, orang-orang Indonesia percaya dengan hasil rontgen mereka yang fleknya terbukti hilang," tutup dia.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memastikan, dengan penerapan cukai pada likuid atau essence rokok elektrik akan memberikan kepastian bisnis usaha vape/e-sigaret di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Kasubdit Komunikasi dan Humas DJBC, Deni Surjantoro.

Deni mengatakan, peredaran produk likuid atau essence yang menjadi perasa pada alat mesin penghisap rokok elektrik atau mod ini sampai sekarang belum diatur. Padalah, produk tersebut berasal dari impor maupun lokal. "Yang jelas ada pasaran, saya tidak bisa menyebutkan ilegal atau legal, yang pasti masuk Pasal 4 UU cukai, jadi memberikan kepastian," kata Deni.

Tarif cukai pada likuid rokok elektrik ini ditetapkan sebesar 57% dari harga jual eceran (HJE) dan akan berlaku pada 1 Juli 2018. Pengenaan cukai pada likuid juga diharapkan mampu mengendalikan konsumsi. "Kalau yang diharapkan sesuai Pasal 2 UU Cukai konsumsi menurun pasti, itu yang diharapkan, cukai itu kan dua, regularing dan revenue, regularing itu mengatur sampingannya itu penerimaan, dua-duanya jalan," ungkap dia.

Meski demikian, Deni memastikan bahwa pemberlakuan tarif cukai pada likuid rokok elektrik ini belum masuk dalam pos penerimaan cukai dalam APBN tahun ini dan 2018. Menurut dia, sebelum benar-benar berlaku, maka pengusaha atau para pelaku usaha vape di Indonesia dapat memenuhi izin sesuai dengan syarat berusaha di Indonesia.

"Iya tapi belum, yang 2018 belum masuk. Jadi gini kita juga enggak boleh menerapkan kebijakan yang menjebak, jadi biar tahu dulu oh kebijakan tahun depan ada pengenaan ini maka harus siapkan izinnya di lengkapi," tukas dia Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memastikan bahwa tahun depan akan ada pengaturan tingkat konsumsi rokok elektrik (vape/e-sigaret) yang saat ini sudah menjamur di Indonesia.

Pengaturannya dimulai dengan pengenaan cukai terhadap likuid atau essence yang menjadi rasa pada rokok elektrik. Tidak tanggung-tanggung, ditetapkan tarif sebesar 57% dari harga jual eceran (HJE).

"Ini berlaku untuk likuid lokal maupun impor, tidak ada bedanya, jadi kena semua," kata Kasubdit Komunikasi dan Humas DJBC, Deni Surjantoro.

Pengenaan cukai terhadap likuid, kata Deni juga lantaran masih banyak ditemukan essence yang mengandung tembakau. Berdasarkan UU yang berlaku, maka hal tersebut wajib dikenakan cukai. "Karena kalau ada yang berasal dari tembakau kalau nilainya harus dikenakan cukai, gitu lho. Kita enggak lihat pangsa pasarnya meskipun kita punya datanya, tapi kalau dikenakan cukai memang karena sudah harus, karena mengandung daun tembakau, jadi bukan pemanasnya, tapi ekstrak dan likuidnya," ungkap dia.

Sedangkan untuk alat atau mesin penghisapnya (mod), Deni mengatakan, pemerintah akan mengatur lebih kepada bea masuknya. Sebab, produk tersebut kebanyakan berasal dari luar negeri alias impor. "Itu tarif normal, kalau ada orang yang impor, satu paket antara likuid dan vape-nya itu nanti kita lihat mana, vape-nya masuk yang biasa, likuidnya masuk cukai hasil tembakau, nanti masing-masing kena bea masuk yang berbeda," tutup dia.

Seiring berkembangnya teknologi banyak juga produk-produk canggih diciptakan untuk mengganti barang-barang konvensional. Seperti halnya rokok, meski sulit untuk ditinggalkan namun sudah ada alternatifnya yaitu rokok elektrik (vape/e-sigaret). Rokok elektrik booming di Indonesia sekitar lima tahun belakangan. Hanya saja, pada masa-masa itu masih sulit mendapatkan peralatan lengkap untuk menikmatinya. Tidak jarang, bagi yang penasaran rela membelinya dari luar negeri baik alat hisapnya maupun likuidnya.

Saat ini, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan memastikan akan memberlakukan cukai rokok elektrik sebesar 57% pada 1 Juli 2018. Cukai ini bukan pada alat penghisap atau mod, melainkan pada likuid atau essence yang menjadi perasa.

Bagaimana tanggapan pedagang rokok elektrik? "Kalau dari segi bisnis tentunya kita lihat dari daya beli masyarakatnya juga kalau daya beli masih tinggi ini enggak jadi masalah," ungkap Chandra Darusman, salah satu pemilik toko vape.

Menurut Chandra, bahwa bisnis tersebut di Indonesia sangat menjanjikan, terlebih lagi banyak masyarakat yang sudah beralih dari rokok biasa ke e-sigaret, bahkan tidak jarang ada yang mengkonsumsi keduanya. "Masih menjanjikan, karena user sekarang semakin banyak, device, likuid, aksesoris juga makin banyak dan murah," ujarnya.

Rokok elektrik mulai booming di Indonesia pada 2010-2012 yang dimulai dari bentuknya yang menyerupai rokok biasa, lalu berganti dengan bentuknya yang seperti pena namun ada tabung untuk mengisikan cairan essence atau likuid, dan untuk saat ini bertransformasi lebih canggih lagi. "Kalau pertama kali booming, device dan aksesoris semua-muanya masih mahal-mahal, enggak ada yang murah dan varian belum banyak," tambah dia.

Pada saat itu, kata Chandra, masyarakat harus mengeluarkan kocek yang cukup tebal untuk bisa menikmati rokok elektrik. Apalagi, barang-barangnya hampir mayoritas dari luar negeri. Untuk harga starkit atau yang modelnya seperti pulpen ini dibanderol sekitar Rp 300 ribu, jenis mechanical sekitar Rp 700 ribu sampai Rp 3 juta, sedangkan boxmod atau seperti rokok elektrik yang hits sekarang ini sekitar Rp 2 juta sampai Rp 5 jutaan.

"Apalagi likuid rata-rata impor dari Malaysia dan US, jadi harga tinggi," tegas Chandra. Masih menjanjikannya usaha rokok elektrik di Indonesia, lanjut Chandra, lantaran harga jual device, aksesoris, likuid sudah mulai murah dengan jumlah pengguna yang semakin banyak.

"Jadi harga tinggi dulu karena user belum banyak, sekarang harga murah permintaan banyak," katanya. Lebih lanjut Chandra menceritakan, kondisi usaha rokok elektrik yang masih memiliki potensi cukup besar bisa dilihat dari sudah menjamurnya toko-toko vape di Indonesia. "Kalau dulu pertama kali beli, itu bukan ke toko, tapi nyamperin ke rumah yang jual by online," tukas dia.

No comments:

Post a Comment