Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menilai, industri ritel masih bisa bertahan, asalkan produk yang dijual tepat dengan kebutuhan segmen yang ditujunya. Itu berarti, pelaku usaha juga perlu menyeleksi produk-produk yang dijual. "Kami lihat mal di Jakarta atau daerah, kalau produknya tepat sesuai dengan konsumen itu cukup bagus," ujarnya, Senin (6/11).
Menurut Airlangga, jumlah mal seharusnya tak menjadi hambatan bagi perkembangan industri ritel. Toh, tidak semua masyarakat beralih ke perdagangan elektronik (e-commerce) hingga mengakibatkan ritel konvensional loyo.
"Tidak semua, karena barang-barang yang dijual di e-commerce rata-rata dibawah Rp1 juta," kata Airlangga. Secara terpisah, Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Franciscus Welirang menyatakan, ada beberapa mal yang menawarkan produk untuk beberapa kalangan, seperti kelas menengah ke atas dan bawah.
"Contoh soal, di Melawai, mal nya itu kan tengah-tengah yang tidak jelas antara kelas atas dan bawahnya. Kalau untuk kelas ke bawah, ya bawah saja, atas ya atas saja," jelas pria yang akrab disapa Franky ini. Makanya, ia melanjutkan, segmen atau target konsumen itu harus jadi perhatian pengelola mal. Bahkan, seharusnya pengusaha mal menentukan terlebih dahulu segmennya sebelum menentukan isi tenant di dalamnya.
Namun, ketentuan ini juga harus diperbaharui secara berkala karena pasar mengalami perubahan secara terus-menerus. Setidaknya, pengusaha wajib memperbaharuinya setiap tiga tahun sekali. "Perubahan zaman terjadi terus. Mereka (pengusaha) harus bisa melihat dan membidik," ungkap dia.
Dengan realitas yang terjadi, Franky pun tidak sepakat jika pelemahan industri ritel disebabkan karena daya beli masyarakat yang sedang turun. Namun, ia mengakui ada peralihan konsumsi masyarakat kepada e-commerce hanya sekitar satu persen.
"Coba dilihat yang berusaha di Ambon, mungkin untungnya melimpah. Lalu, Kupang, Makassar, dan lain-lain. Jangan dilihat Jakarta saja," pungkas Franky. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) menyatakan telah memantau pergeseran (shifting) pola konsumsi masyarakat yang pada akhirnya menyebabkan beberapa gerai ritel gulung tikar.
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, shifting pola konsumsi itu terjadi seiring momentum pendapatan per kapita masyarakat Indonesia yang naik rata-rata menjadi di atas US$3 ribu. "Jadi mulai 2010 tepatnya. Kemudian naik terus, dan sekarang [pendapatan per kapita] sudah US$3.500-US$3.600. Itu kan menengah ke atas pastinya," ujarnya.
Ia menjelaskan, pergeseran pola konsumsi juga terjadi karena perubahan zaman yang lebih digital dan kemajuan internet. Jadi, ia menilai masyarakat lebih membutuhkan pengalaman (experience) belanja daripada barangnya. "Itu terlihat dari banyak yang menabung, banyak saving. Karena mereka berpikir saat ada travel fair, new travel destination, atau great sale di negara lain, baru melakukan spending. Goods based consumption berubah menjadi experience based consumption," jelasnya.
Aprindo, kata Roy, pada awalnya belum terlalu mengkhawatirkan pergeseran tersebut. Namun, ia mengaku mulai was-was ketika pada 2012-2013 mulai terlihat pelemahan pertumbuhan ritel.
"Kemudian pada 2014-2015 juga turun tuh di era Jokowi. Apalagi pas APBNP baru ditetapkan pertengahan tahun, jadi penyaluran dana desa terlambat. Di situ mulai turun dan sampai sekarang belum recovery," kata Roy.Menurutnya, jika anggaran belanja pemerintah tidak direalisasikan sepenuhnya, maka akan berpengaruh bagi konsumsi masyarakat. Alasannya produktivitas masyarakat tidak tersalurkan, akhirnya konsumsi juga terhambat.
Isu pelemahan industri ritel sudah terendus sejak awal tahun ini. Beberapa perusahaan menutup beberapa gerainya yang dinilai tidak memberikan keuntungan terhadap kinerja secara konsolidasian.Misalnya saja, PT Matahari Department Store Tbk (LPPF) yang baru menutup dua gerainya di kawasan Blok M dan Manggarai. Kemudian, diikuti penutupan gerai Lotus dan Debenhams oleh PT Mitra Adiperkasa Tbk (MAPI).
Kedua manajemen ini kompak beralasan penutupan gerai dilakukan karena gerai tersebut tidak menghasilkan pendapatan sesuai target perusahaan. Dengan kata lain, keputusan itu juga bisa dikatakan sebagai efisiensi perusahaan. Yang paling besar belum lama ini, PT Modern Internasional Tbk telah menutup semua gerai 7-Eleven di bawah pengelolaannya pada 30 Juni 2017 karena kurangnya sumber daya untuk mendanai operasional tokonya.
Perusahaan menutup sekitar 25 gerai pada 2016, meninggalkan perusahaan dengan 161 toko. Pada 2015, Modern Internasional memiliki lebih dari 185 gerai 7-Eleven.
No comments:
Post a Comment