Tren penurunan suku bunga deposito perbankan membuat orang kaya mulai mengalihkan portofolio investasinya ke instrumen investasi yang lebih berisiko. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi dan stabilitas keuangan jangka panjang.
Sejak awal 2016, suku bunga acuan bank sentral telah turun sebanyak 8 kali menjadi 4,25 persen. Hal itu juga diikuti dengan penurunan suku bunga Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang sudah merosot 1,75 persen menjadi 5,75 persen. Akibatnya, rata-rata suku bunga deposito pun terus turun.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), per September 2017, suku bunga simpanan berjangka dengan tenor 1,3,12, dan 24 bulan yang masing-masing tercatat 6,09 persen, 6,46 persen, 6,80 persen, 6,99 persen dan 6,91 persen. Bunga tersebut turun dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 6,30 persen, 6,54 persen, 6,86 persen, 7,06 persen dan 6,94 persen.
"Saat ini, nasabah memang cenderung berinvestasi ke instrumen non Dana Pihak Ketiga (DPK), dikarenakan bunga deposito cenderung turun," tutur Direktur PT Bank Negara Indonesia Tbk Adi Sulistyowati. Adi mengungkapkan, per akhir Oktober 2017, pertumbuhan aset kelolaan (asset under management/AUM) perseroan mencapai 14,23 persen secara tahunan menjadi Rp105 triliun. Aset itu berasal dari 62.356 nasabah kelas premium yang tumbuh 11 persen. Instrumen investasi yang dipilih nasabah beragam seperti reksa dana dan obligasi.
Head of Wealth Management PT Bank HSBC Indonesia Steven Suryana mengungkapkan nasabah dengan saldo jumbo masih banyak yang menempatkan dananya di tabungan dan deposito. Namun, mereka sekarang sudah banyak melirik instrumen investasi lain yang memberikan imbal hasil lebih tinggi dibandingkan deposito, seperti produk obligasi pemerintah, reksa dana, dan asuransi.
"Dengan tren penurunan suku bunga dalam dua tahun terakhir ini, kami melihat animo orang untuk mengenal, lebih tahu, dan mulai berinvestasi ke produk-produk wealth management menjadi lebih besar," tutur Steven. Jika investor telah lebih dulu kenal dengan layanan wealth management, investor akan lebih berani menempatkan uangnya di instrumen yang lebih berisiko seperti reksa dana saham.
Imbal hasil investasi yang tinggi dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang, antara lain biaya pendidikan. Steven, mengingatkan biaya kebutuhan masyarakat setiap tahunnya semakin mahal. Ia mencontohkan biaya pendidikan yang kenaikannya bisa dua kali lipat dibandingkan inflasi.
Berdasarkan survey terbaru HSBC Value of Education, biaya pendidikan anak hingga lulus Strata 1 di Indonesia setidaknya membutuhkan Rp250 juta. "Biaya itu belum termasuk pendanaan untuk pendidikan nonformal yang kini banyak diikuti oleh kids zaman now seperti robotic, music, tari, coding, hingga bahasa asing," ujarnya.
Belum lagi, orang kaya biasanya berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya di luar negeri. Sebagai gambaran, rata-rata biaya kuliah di Amerika Serikat menghabiskan Rp2,44 miliar dengan kenaikan tiga hingga lima persen per tahun, Inggris Rp2,34 miliar dengan kenaikan lima persen per tahun, dan Australia Rp2,19 miliar dengan kenaikan 10 persen per tahun. Oleh karena itu, menurut dia, masyarakat pun harus mulai pintar dalam mengelola keuangannya dengan tidak hanya mengandalkan tabungan dan deposito sebagai andalan pengelolaan keuangan.
Senada dengan Steven, Senior Vice President Wealth Management Group Bank Mandiri Elina Wirjakusuma juga melihat tren peralihan penempatan investasi nasabah jumbo dari deposito ke instrumen nondeposito seperti produk reksa dana terproteksi yang diminati oleh investor jangka pendek dan reksa dana pasar uang. "Kami melihat memang ada peralihan ke reksa dana, terutama reksa dana terproteksi, kemudian juga reksa dana pasar uang karena ada pengalihan dari deposito akibat suku bunga turun tetapi pengalihanya tidak besar sehingga kami anggap tidak signifikan," ujarnya.
Adapun total AUM perseroan hingga akhir Oktober 2017 mencapai Rp47 trliun atau tumbuh lebih dari 20 persen dibandingkan tahun lalu. Secara portofolio, penempatan investasi terbesar ada di reksa dana (40 persen), obligasi (30 persen), dan sisanya produk lainnya seperti unit link.
Presiden Direktur Schroders Indonesia Michael T. Tjoadi mengingatkan semakin maju suatu negara, suku bunga perbankan yang ditawarkan cenderung semakin rendah. Melihat perkembangan ekonomi Indonesia yang semakin positif, Ia pun mengingatkan masyarakat jangan banyak berharap bisa menikmati era suku bunga tinggi di masa mendatang.
"Sekarang sudah muncul bermacam-macam (instrumen investasi). Dua puluh tahun lalu orang tidak mengenal reksa dana, saham, dan obligasi ritel. Instrumen itulah yang mungkin untuk menjadi alternatif investasi di kemudian hari," jelas Michael.
No comments:
Post a Comment