"Saya bilang ketika kita pendapatannya 100, dulu untuk konsumsi katakanlah 70, 30 untuk yang lain, sekarang sudah terbatas banget lah," kata Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (6/11/2017).
Untuk kalangan menengah atas, Suhariyanto mengatakan, banyak pendapatannya yang dialihkan ke beberapa sektor, seperti investasi, hingga kesehatan. "Artinya memang ada persentase konsumsinya pasti akan menurun, nah menurunnya kemana yah, dengan uang terbatas itu dia punya pattern switching dari non leisure ke leisure, kedua tetap dikurangi pendapatan tadi," jelas dia.
Lalu bagaimana dengan daya beli kelas bawah ?
Pria yang akrab disapa Kecuk ini menyebutkan, perekonomian Indonesia meliputi seluruh lapisan masyarakat, baik kaya maupun miskin. Sebanyak 40% kelas bawah atau miskin, 40% kelas menengah, dan 20% kelas atas atau kaya. Lanjut Suhariyanto, kontribusi kelas bawah terhadap ekonomi nasional hanya sekitar 17%, sedangkan kelas menengah sebesar 36%, dan kelas atas sekitar 46%. Sehingga, perekonomian lebih dipengaruhi oleh kelas menengah dan atas.
"Bagaimana saya bisa menengah ke bawahnya? Dari indikator bulanan yang kita rilis. Bahwa hati-hati meski saya bicara general tidak ada penurunan daya beli tapi perlu ada kewaspadaan untuk lapisan 40% ke bawah, bahwa ada daya beli mereka tertekan," jelas dia. Dia melanjutkan, tertekannya daya beli masyarakat kelas bawah juga terlihat dari upah buruh sektor riil yang terus turun, serta nilai tukar petani (NTP) yang naik tipis namun secara kuartal juga mengalami penurunan.
"Itu merupakan sebuah indikasi bahwa kita perlu memberikan perhatian ekstra kepada 40% lapisan ke bawah. Jadi betul bahwa pertumbuhan ekonomi mencerminkan menengah ke atas, karena share yang bawah itu hanya 17%," tukas dia.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Kecuk Suhariyanto, mengatakan dari tingkat pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III-2017 sebesar 4,93%, terjadi penurunan pertumbuhan konsumsi pada komponen pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya, dari 2,24% di triwulan III-2016 menjadi 2,00% di triwulan III tahun ini.
Pria yang akrab disapa Kecuk ini menjelaskan, semua lembaga riset menunjukan hasil yang sama, yakni adanya tren dari offline ke online. Namun hal itu belum cukup menjadi penyebab banyaknya ritel yang tutup. "Tren belanja online ke depan akan semakin besar, tetapi sekarang porsinya sebetulnya belum terlalu signifikan, jadi lebih kepada bukan hal tersebut," kata Suhariyanto di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (6/11/2017).
Dia mengakui, dari hasil survei yang dilakukan BPS memang menunjukkan ada beberapa komoditas yang dipenuhi oleh masyarakat dengan cara belanja online. "Survei kecil yang kita lakukan memang menunjukkan ada beberapa komoditas yang dipesan lewat online, dan komoditasnya tertentu salah satunya sandang, alat komunikasi, kemudian yang berkaitan pariwisata, 15% dari rumah tangga pernah melakukan," ungkap dia
No comments:
Post a Comment