PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (BTN) berpeluang menurunkan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) nonsubsidi secara bertahap hingga 100 basis poin (bps) mulai awal tahun depan. Hal ini seiring dengan penurunan bunga acuan Bank Indonesia yang berdampak pada penurunan biaya dana (cost of fund/CoF) perbankan.
"Saat ini rata-rata suku bunga KPR nonsubsidi perseroan di kisaran 9,5 persen kami akan berusaha turunkan tergantung dari biaya dana kita dari dana pihak ketiga," tutur Direktur Utama BTN Maryono usai menghadiri sebuah acara di kantornya, Selasa (14/11). Sejak awal tahun, lanjut Maryono, rata-rata suku bunga KPR nonsubsidi BTN telah turun 100 hingga 150 bsp.
Maryono tak memungkiri, masih tingginya suku bunga KPR menjadi penghambat penyaluran KPR nonsubsidi kepada masyarakat. Selain itu, semakin tingginya harga rumah juga membuat masyarakat semakin sulit memiliki rumah. Tak ayal, geliat bisnis properti masih tertahan. "Kalau harga rumahnya bisa turun, pasti permintaannya akan bisa ini (menjangkau). Harga rumah naik karena harga tanah mahal, makanya yang laku itu KPR subsidi karena harganya murah," ujarnya.
Pernyataan Maryono mengkonfirmasi hasil survei residensial Bank Indonesia (BI) baru-baru ini yang menyatakan tingginya suku bunga yang saat ini berkisar 9,69 persen hingga 13,02 persen menjadi faktor utama penghambat bisnis properti. Menurut survei tersebut, sekitar 20,36 persen responden menyebut tingginya bunga KPR sebagai penghambat bisnis properti. Responden juga menyebut tingginya uang muka rumah (16,57 persen), pajak (16,13 persen), lamanya perizinan (14,45 persen), serta kenaikan harga bahan bangunan (11,18 persen) sebagai penghambat bisnis properti.
Sepanjang 2017, BTN menargetkan bisa menyalurkan kredit perumahan untuk 666 ribu unit rumah dalam rangka mendukung Program Satu Juta Rumah. Target tersebut terdiri dari penyaluran pinjaman untuk jenis rumah subsidi sebanyak 504.122 unit rumah. Kemudian, penyaluran pembiayaan untuk jenis rumah non-subsidi ditargetkan sebanyak 161.878 unit rumah.
Bank Indonesia (BI) kembali memangkas suku bunga acuannya, BI 7 Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR), sebesar 25 basis menjadi 4,25 persen pekan lalu. Melalui kebijakan ini, bank sentral berharap bisa mempercepat penurunan suku bunga kredit sehingga mendorong permintaan kredit masyarakat.
Dalam praktiknya, transmisi kebijakan moneter ke pasar memerlukan waktu. Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Dody Budi Waluyo beberapa waktu lalu menyebutkan, setidaknya perlu waktu sembilan hingga 12 bulan agar pemangkasan suku bunga acuan berdampak penuh pada penurunan suku bunga kredit.
Penurunan bunga acuan, paling cepat akan berdampak pada suku bunga pasar uang antar bank. Kemudian, baru pada turunnya bunga deposito. Melorotnya bunga deposito diterjemahkan sebagai turunnya biaya dana perbankan. Jika biaya dana turun, maka suku bunga kredit yang ditawarkan kepada nasabah bisa turun.
Sayangnya, suku bunga perbankan tidak hanya dipengaruhi oleh biaya dana, tetapi juga faktor lain seperti risiko kredit. Semakin tinggi risiko kredit, semakin tinggi bank akan mengenakan bunga pada nasabah. Hal inilah yang menyebabkan, mengapa suku bunga kredit konsumsi, cenderung lebih tinggi dibandingkan suku bunga kredit investasi maupun kredit modal kerja.
Hal ini lah yang membuat transmisi turunnya suku bunga acuan juga lebih lama ke penurunan suku bunga kredit konsumsi. Hingga akhir Oktober 2017, perseroan telah merealisasikan penyaluran kredit untuk 501.626 unit rumah atau setara 75,32 persen dari target. Jumlah unit tersebut setara penyaluran kredit senilai Rp55,7 triliun.
Jika dirinci, untuk jenis rumah subsidi, perseroan telah menyalurkan pembiayaan untuk sekitar 346.925 unit rumah atau setara Rp24,86 triliun. Untuk jenis rumah nonsubsidi, perseroan telah menyalurkan pembiayaan untuk 154.702 unit rumah atau sekitar Rp30,84 triliun.
No comments:
Post a Comment