Thursday, November 23, 2017

Bandung Mendapat Predikat Kota Dengan Biaya Suap Paling Besar Se Indonesia

Transparency International Indonesia (TII) menyatakan ibukota Provinsi Jawa Barat, Bandung sebgai kota dengan nominal suap terbesar yang diberikan pengusaha kepada pelayan publik.  Kesimpulan tersebut merupakan salah satu survei yang dilakukan TII mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di 12 kota di tiga wilayah Indonesia sepanjang tahun 2017.

"Berdasarkan nilai suap kota yang memiliki presentase tertinggi adalah Bandung yakni 10,8 persen dari total biaya produksi," kata Manajer Departemen Riset TII, Wawan Suyatmiko saat konferensi pers di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (22/11). Presentase nilai suap itu diperoleh dari rata-rata nominal suap yang dibayarkan kepada pelayan publik. Pihak yang dijadikan responden survei yakni antara 80-110 pengusaha dan pelaku usaha di kota Bandung. Mengenai data rujukan, TII menggunakan data dari Direktori Sensus Ekonomi Nasional tahun 2016.

Wawan lalu mengatakan bahwa kota dengan alokasi suap yang besar menimbulkan potensi praktik suap yang tinggi. Oleh karena itu, Bandung menjadi kota dengan potensi praktik suap-menyuap tertinggi di antara 12 kota yang disurvei.

Sementara itu, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan yakni Makassar menjadi kota dengan nilai suap terendah dari 12 kota yang disurvei.

"Kota dengan biaya suap terendah yakni Makassar dengan angka 1,8 persen dari total biaya produksi," kata Wawan atas salah satu simpulan dari survei mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Tahun 2017.

Kota-kota yang disurvei itu adalah Pekanbaru, Semarang, Padang, Bandung, Surabaya, Jakarta Utara,Medan, Banjarmasin, Pontianak, Balikpapan, Makassar, dan Manado.

Kedua belas kota tersebut dipilih atas tiga pertimbangan. Pertama, masing-masing kota merupakan ibu kota provinsi. Kedua, masing-masing kota memiliki kontribusi besar dalam penyumbang produk domestik bruto (PDB) tingkat nasional. "Jika kita akumulasi, 12 kota yang kita survei menyumbang 70 persen PDB tingkat nasional," kata Wawan.

Ketiga, kedua belas kota tersebut dinilai dapat menggambarkan kondisi praktik korupsi di wilayah indonesia bagian barat, tengah, dan timur indonesia. Survei melibatkan 1.200 responden yang terdiri dari pengusaha dan pelaku usaha dengan 80-110 responden di masing-masing kota yang disurvei.

Survei Persepsi Korupsi mengungkapkan, sekitar 17 persen pelaku usaha pernah gagal dalam mendapatkan keuntungan karena pesaing memberikan suap. Sektor air minum, makanan, perbankan dan kelistrikan dinilai paling tinggi potensi suapnya.

Survei tersebut digelar Transparancy International Indonesia guna mengukur persepsi pelaku usaha dan para ahli terhadap praktik suap di suatu daerah. Survei ini dilaksanakan pada 12 kota di Indonesia dengan total respoden 1.200.

Adapun Bandung disebut sebagai kota dengan biaya presentase suap tertinggi yang mencapai 10,8 persen dari total biaya produksi. Sedangkan Makasar dinilai sebagai kota dengan biaya presentase suap terendah yakni hanya sebesar 1,8 persen terhadap total biaya produksi.

Menurut survei tersebut, sektor perizinan, pengadaan, dan penerbitan kuota disebut sebagai setor yang paling terdampak korupsi. Survei tersebut juga menyebut instansi yang paling terdampak korupsi adalah legislatif, peradilan, dan korupsi.

Sementara itu, dari survei yang dilakukan pada integrasi layanan pusat, probabilitas suap paling tinggi terjadi di Kementerian ESDM yang mencapai 35 persen dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang sebesar 24 persen. Hampir senada, di daerah, probabilitas suap paling tinggi disebut ada pada Dinas Pertambangan dan Energi sebesar 32 persen dan Dinas Perhubungan sebesar 21 persen.

Menurut survei tersebut faktor yang menghambat pemberantasan korupsi adalah akibat adanya anggapan bawah korupsi bukanlah masalah penting, dibiarkan, dan bukan masalah prioritas.  Selain perlunya pemerintah mempertegas kebijakan antikorupsi, pelaku usaha dinilai perlu memiliki kebijakan dan sistem antikorupsi dalam perusahaan

Hasil survei Transparency International Indonesia (TII) mengenai indeks prestasi korupsi di Indonesia sepanjang 2017 menyatakan bahwa lembaga legislatif menjadi instansi yang paling sering menerima suap dari pengusaha.

Manajer Departemen Riset TII, Wawan Suyatmiko mengatakan, selain legislatif, instansi peradilan dan kepolisian di tingkat kota juga sering menerima suap. Ketiga instansi tersebut meraih poin paling sedikit dari 8 instansi yang disurvei di 12 kota di tiga zona waktu Indonesia.

"Legislatif 56,8 poin, peradilan 57,7 poin, kepolisian 58,0 poin. Angka 0 Adalah terburuk dan 100 adalah terbersih," kata Wawan saat konferensi pers di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (22/11).

Sementara itu lima instansi yang juga disurvei antara lain instansi eksekutif, perkreditan, bea cukai, militer, serta instansi yang bergerak di bidang pengawasan dan pemeriksa. Dari keseluruhan, militer merupakan instansi peraih poin tertinggi, yakni 68,0. "Potensi suap dihitung melalui prevalensi dan jenis suapnya," kata Wawan.

Survei dilakukan di 12 kota yaitu Jakarta Utara, Medan, Pekanbaru, Padang, Bandung, Surabaya, Semarang, Banjarmasin, Pontianak, Balikpapan, Manado, dan Makassar. Kota-kota tersebut dipilih karena merupakan ibukota provinsi sehingga dapat mewakili penggambaran kondisi praktik korupsi di wilayah bagian barat, tengah dan timur Indonesia.

Di samping itu, kedua belas kota yang disurvei juga merupakan penyumbang produk domestik bruto terbesar di tingkat nasional.  "Jika kita akumulasi, 12 kota yang kita survei menyumbang 70 persen PDB tingkat nasional," ucap Wawan. Dalam surgvei ini TII mengambil responden yakni 1.200 pengusaha dari sektor manufaktur, keuangan, jasa, konstruksi, dan perdagangan.

Masing-masing kota yang disurvei melibatkan 80-110 responden yang terdiri dari 41 persen perusahaan kecil, 29 persen perusahaan menengah, dan 30 perusahaan besar. TII menggunakan lima indikator dalam survei yang dilakukan Juni-Agustus 2017 tersebut. Indikator-indikator itu adalah prevalensi korupsi, akuntabilitas publik, motivasi korupsi, dampak korupsi, dan efektivitas pemberantasan korupsi.

Hasil survei tersebut menyatakan bahWa ibukota Provinsi Sumatera Utara, yakni Medan menjadi kota terkorup dibanding 11 kota lain yang disurvei. "Dari enam indikator ini kita temukan bahwa indeks persepsi korupsi kota Jakarta Utara ada di poin 73,9, Pontianak 66,5, Pekanbaru 65,5, Balikpapan 64,3, Banjarmasin 63,7, Padang 63,1, Manado 62,8, Surabaya 61,4, Semarang 58,9, Bandung 57,9, Makassar 53,4, dan Medan 37,4," kata Wawan

No comments:

Post a Comment