Masalah penurunan daya beli masyarakat jadi pembicaraan hangat akhir-akhir ini. Ditambah lagi gugurnya sejumlah toko seperti ritel 7-eleven (sevel), Lotus, Debenhams, hingga GAP baru-baru ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat terjadi perlambatan konsumsi rumah tangga. Dari data BPS pada kuartal III-2017, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93%. Lebih rendah dibandingkan dengan konsumsi rumah tangga pada kuartal I-2017 yang sebesar 4,94% dan pada kuartal II tahun ini yang sebesar 4,95%.
Bila dibandingkan tiga tahun lalu bahkan jauh lebih rendah. Konsumsi rumah tangga pada 2011-2013 bisa tumbuh sekitar 5,3-5,5%.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan pemerintah perlu berhati-hati dalam mengambil setiap kebijakan untuk bisa memperbaiki penyakit ekonomi ini. Pemerintah pimpinan Joko Widodo (Jokowi) harus mau mengakui dan paham betul apa penyakit ekonomi Indonesia, supaya kebijakan yang diambil bisa tepat sasaran.
"Jika salah mendiagnosa maka kebijakan yang diambil tidak tepat sasaran. Jadi harus paham betul masalah ekonomi sekarang," katanya dalam diskusi di Jakarta, Jumat (10/11/2017). Menurutnya, penurunan konsumsi masyarakat ini banyak dipengaruhi oleh kelompok masyarakat berpenghasilan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta. Masyarakat dari kelompok tersebut sangat merasakan dampak dari penurunan daya beli tersebut.
Daya beli mereka turun, salah satunya karena adanya tekanan domestik, seperti meningkatnya harga-harga yang dapat diatur oleh pemerintah. Salah satu contohnya ialah tarif dasar listrik (TDL), di mana pemerintah telah mencabut subsidi tarif dasar listrik untuk pelanggan 900 Volt Ampere (VA) yang juga banyak dimanfaatkan kelompok tersebut.
"Perlambatan daya beli bahwa terjadi perlambatan khususnya di masyarakat 40% terbawah. Kalau kita klasifikasikan level masyarakat berdasarkan kemampuan pengeluarannya ada 20% tertinggi, 40% menengah, 40% terbawah," katanya.
"Yang alami dampak langsung 40% ke bawah akibat pencabutan subsidi, sehingga kemampuan belanjanya tetep tumbuh tapi kecil dari periode sebelumnya. Bukan turun tapi melambat artinya tumbuh lebih rendah dari periode sebelumnya," sambungnya.
Indikator lainnya, kata Heri, yakni nilai riil dari upah buruh tani yang tidak lebih baik dari tahun lalu. Jadi meskipun inflasi rendah, namun kenaikan TDL serta kenaikan biaya lainnya seperti administrasi pengurusan surat kendaraan bermotor jadi sumber pelemahan.
Di sisi lain, saat ini juga terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat. Heri mengatakan, saat ini konsumsi untuk hiburan menjadi meningkat yang ditunjukkan dengan melambatkan konsumsi untuk makanan. Ditambah lagi dengan adanya penetrasi belanja online yang tak dapat terlihat secara menyeluruh. Walau masih relatif kecil, kata Heri, namun pertumbuhan online terus mengalami peningkatan.
"Semakin banyak orang Indonesia beli smartphone, maka akan semakin tinggi juga kecenderungan untuk mengkonsumsi online," jelasnya.
Bertumbuhnya industri online itupun dikait-kaitkan dengan banyaknya toko ritel konvesional yang berguguran. Namun, kata Heri, sumbangan dari industri online masih terbilang rendah. Dari data miliknya, sumbangan dari toko online atau e-commerce hanya sebesar 0,3%, sedangkan tahun ini diprediksi sekitar 3%.
"Artinya masih terlalu kecil, sentilannya belum terlalu kuat," jelasnya.
Menurutnya, banyaknya toko-toko ritel yang tutup karena mereka tak memiliki perhitungan matang tanpa melihat studi bisnis kelayakannya. Sehingga mereka tidak bisa memprediksi prospek keuntungan jangka panjang. Masyarakat juga dinilai lebih banyak menahan belanja, khususnya golongan menengah ke atas.
"Jadi ada faktor itu juga, seperti mirip-mirip Sevel. Masyarakat menengah ke atas juga wait and see dulu, makanya kalau kita lihat jumlah tabungan deposito meningkat, spending jadi berkurang, itu terlihat dari dana pihak ketiga (DPK) secara year on year meningkat pada dua kuartal terakhir dibanding tahun 2016," pungkasnya.
No comments:
Post a Comment