Benang-benang berwarna putih diikat di sebuah meja tenun yang disebut papindangan
Sebuah kertas putih kecil yang di dalamnya tergambar motif cengkeh memandu Dina menenun. Diikatkannya tali rafia mengikuti motif yang ada di dalam kertas.
”Inilah proses paling sulit karena tali rafia harus diikat kencang ke benang dan harus sesuai alur yang tergambar di kertas,” tutur Dina di bengkel kerja pembuatan kain tenunnya sekaligus rumahnya di kawasan Jembatan Hautuna, Skip Tengah, Ambon, April lalu.
Jika sudah tuntas, benang-benang dicelupkan di dalam pewarna, kemudian dijemur hingga kering. Setelah itu, tali rafia dilepaskan semuanya. Tali yang sebelumnya mengikat di sejumlah benang memunculkan motif cengkeh berwarna putih di antara benang-benang putih yang telah berubah warna.
”Terlihat sederhana, tetapi sebetulnya rumit. Dibutuhkan waktu minimal dua minggu hanya untuk menyelesaikan satu kain tenun,” katanya.
Rumitnya pembuatan kain tenun menjadi suatu hal yang biasa bagi Dina. Ini tak lain karena ibu dari dua anak ini telah menekuninya sejak kecil. ”Ibu mengajarkannya kepada saya. Saat Ibu sedang membuat kain tenun, saya sering ikut membantu,” lanjutnya.
Kain tenun yang dibuat Dina merupakan kain tenun tradisional dari Maluku Tenggara Barat. Kain tenun ini banyak dibuat oleh warga Maluku Tenggara Barat untuk berbagai fungsi, seperti pakaian sehari-hari, mas kawin, bahkan untuk penghargaan kepada tamu yang datang.
Ketika Dina sudah dewasa atau persisnya pada tahun 1984, dia yang sudah piawai membuat kain tenun mencoba membuatnya sendiri dan memasarkannya ke warga Ambon. Dina sudah menetap di Ambon sejak 50 tahun yang lalu.
”Niat saya tidak hanya untuk memperoleh keuntungan dari menjual kain tenun, tetapi juga untuk mempromosikan sekaligus meneruskan warisan leluhur,” ujarnya.
Awalnya bukanlah hal mudah. Apalagi tidak semua orang mengenal kain tersebut kala itu. Namun, tanpa kenal lelah, dia mempromosikan kain buatannya kepada para tetangga, keluarga, dan teman kerja suaminya saat masih bekerja di PT Telkom (kini pensiun). Dalam waktu tak sampai satu tahun, kainnya mulai dikenal. Pesanan pun mulai berdatangan.
Karena hanya mampu membuat dua kain tenun dalam sebulan, Dina lalu bekerja sama dengan perajin kain tenun di kampungnya di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, untuk memenuhi pesanan-pesanan tersebut. Tidak hanya itu, sejumlah tetangganya dilatih untuk membantunya membuat kain tenun.
Namun, kemapanan usaha yang dirintis Dina dan suaminya itu, yang cenderung meningkat setiap tahun, hancur tatkala Ambon dilanda konflik sosial berkepanjangan tahun 1999. Selama hampir dua tahun, usahanya berhenti. ”Semua alat tenun hilang,” katanya.
Kehancuran ini membawa usahanya kembali ke titik nol. Ketika konflik usai dan Dina hendak memulai lagi usahanya, modal menjadi kendala utama. ”Kami berupaya mencari pinjaman sampai akhirnya suami saya memperoleh pinjaman modal usaha dari Pelni,” lanjutnya.
Dari situlah mereka mulai membangun usahanya. Alat-alat tenun dibeli, kain-kain mulai ditenun kembali. Mereka mencoba menghubungi para pelanggan lama. Tidak sebatas itu. Mereka kerap ikut serta dalam pameran, baik yang dilangsungkan di Ambon maupun di luar Ambon, seperti di Bali.
Kerja keras ini berbuah hasil. Pelanggannya kini sudah tersebar di Jakarta, Kalimantan, dan Papua. Sejumlah kerabatnya yang tinggal di Belanda pun ikut mempromosikan kain tenun itu kepada warga Belanda. Karena itu, tidak heran jika kerabatnya datang, mereka membeli kain tenun dalam jumlah yang tidak sedikit untuk dipasarkan di Belanda.
Pembelinya kian banyak tatkala Octavianus memasarkan kain-kain tenunnya di Bandara Pattimura, Ambon. Banyak wisatawan lokal ataupun asing yang tertarik membelinya.
Untuk memenuhi pesanan, dia kembali mempekerjakan tetangga-tetangganya. Ada sedikitnya 12 orang yang dia pekerjakan. Karena masih belum bisa memenuhi pesanan, dia menyerap kain tenun buatan para perajin kain tenun di Maluku Tenggara Barat.
Alhasil, setiap bulan sedikitnya 40 kain tenun berhasil dijual. Pendapatan kotor sebesar Rp 20 juta per bulan pun bisa diraup oleh perusahaan yang kemudian diberi nama CV Masatu ini.
”Penghasilan bersih perusahaan paling hanya sekitar lima juta rupiah. Sisanya untuk membeli bahan baku dan membayar para pekerja,” ujar Dina.
Saat usahanya sudah mapan, tidak ada lagi obsesi darinya untuk mengembangkan usahanya. Yang dilakukannya hanya menjaga kualitas kain tenun yang dihasilkan untuk memuaskan konsumen. Baginya kini, kesuksesan yang telah diraih sudah sempurna. Tidak hanya keuntungan bisa diraih untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga, tetapi kain tenun Maluku Tenggara Barat juga dikenal banyak orang.
berita ini bohong adanya: sdr. dina minanlarat isteri kedua dari ayah kami Octovianus Masela yang baru dirampas dari kami anak-anaknya tahun 2005 mana mungkin dina membangun tenunan khas tanimbar sejak 26 tahun lalu dan dia menetap di anmbon sudah 50 tahun ?
ReplyDeletecv. masatu didirikan setelah ayah kami pensiun dari pt. telkom tahun 1986 dimana nama tersebut diambil dari 3 orang pensiunan telkom yaitu masela-salamena-tuarita yang disingkat (masatu) yang bergerakan dibidang bangunan, pengadaan dan lain-lain, sedangkan cikal bakal pengembangan kain tenun khas tanimbar (maluku tenggara barat) adalah dimulai pembangunan gedung gereja di kampung halamannya Desa Kandar Maluku Tenggara Barat Octovianus Masela bersama isterinya Hermina Masela di tahun 1987 yang meninggal tahun 2002 sehingga kain tenun merupakan salah satu usaha pembangunan gedung gereja yang diresmikan pada oktober tahun 1996. Jadi berita yang ditulis itu bohong adanya.
Benny Masela