Perizinan kapal perikanan di Indonesia hingga kini masih penuh manipulasi. Manipulasi perizinan kapal itu memicu karut-marut pengelolaan sumber daya perikanan dan produksi.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Riza Damanik mengemukakan hal itu di Jakarta, Kamis (6/5).
”Penyalahgunaan izin usaha perikanan dan penangkapan ikan disinyalir terjadi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah provinsi, hingga kabupaten/kota,” ujar Riza.
Modus penyimpangan itu berupa pemalsuan data bobot kapal ikan dalam pengurusan izin. Bobot kapal yang tertera dalam dokumen perizinan usaha penangkapan ikan berbeda dengan ukuran fisik kapal sebenarnya.
Ia mencontohkan, di Kota Medan, Sumatera Utara, terdapat sembilan kapal yang terbukti memiliki bobot kapal 40-79 gross ton (GT), tetapi mengajukan izin ke pemerintah daerah. Padahal, menurut ketentuan, izin kapal di atas 30 GT dilakukan oleh pemerintah pusat.
Dalam laporan kinerja semester II Tahun Anggaran 2009 tentang Manajemen Penangkapan Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang diterbitkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 19 Maret 2010, ditemukan empat kapal ikan dengan ukuran fisik lebih tinggi ketimbang yang tertera dalam dokumen perizinan yang diterbitkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Dedy Sutisna mengakui kerap mendengar adanya manipulasi bobot kapal dalam pengurusan izin, terutama di daerah. Hal itu dilakukan pemilik kapal agar segera mendapat izin.
Selama ini, perhitungan bobot kapal dalam proses izin usaha berpedoman pada surat keterangan keadaan kapal (gross acte) yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan. Dengan begitu, cek fisik oleh petugas lebih pada kelayakan fungsi kapal.
Tahun 2010, pihaknya berencana menerbitkan buku kapal perikanan dengan salah satu persyaratan berupa cek fisik bobot kapal oleh petugas. Uji coba pemberlakuan buku khusus kapal ikan itu dilaksanakan di Pelabuhan Belawan
No comments:
Post a Comment