Purwoto (37) semestinya hadir dalam pertemuan Komite Aksi Jaminan Sosial di Jakarta, Kamis (29/4). Namun, pekerja pabrik terpal di kawasan industri EJIP di Bekasi, Jawa Barat, ini batal hadir karena sedang berobat di Rumah Sakit Umum Karyadi, Semarang, Jawa Tengah.
Ketika dokter pertama kali menemukan penyakit dan menyarankan operasi demi kesembuhannya, Purwoto terenyak mendengar biaya operasi sampai Rp 60 juta.
Walau sudah bekerja 15 tahun, Purwoto hanya bergaji Rp 1,2 juta per bulan. Jangankan untuk biaya operasi, yang setara dengan harga empat sepeda motor bebek anyar, untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah kembang kempis.
Setiap bulan Purwoto harus membayar kontrakan rumah Rp 400.000, biaya makan sekeluarga Rp 300.000, ongkos transportasi Rp 300.000, dan kebutuhan lain Rp 200.000.
”Klaim Jamsostek hanya Rp 10 juta sehingga Purwoto masih harus menambah banyak. Dia kemudian berobat herbal dan sekarang kondisinya makin berat. Kita harus sadar, masih banyak rakyat Indonesia yang bernasib seperti Purwoto karena sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang tak kunjung terealisasi,” ujar Said Iqbal, Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Sudah dua tahun terakhir aktivis serikat pekerja atau serikat buruh menggedor pemerintah untuk realisasi SJSN. Namun, selama itu pula pemerintah seperti menulikan telinga. Pemerintah malah membuat program baru mirip-mirip SJSN.
Sudah 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 40/2004 tentang SJSN terbit, pemerintah tak juga melengkapi 10 peraturan pemerintah dan sembilan peraturan presiden yang diamanatkan. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang seharusnya ada sejak 20 Oktober 2009 tak jelas ujung rimbanya.
Reaksi pemerintah terhadap SJSN memang lambat. Sangat bertolak belakang dengan upaya menalangi Bank Century atau respons pada kasus dugaan suap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit-Chandra.
Pemerintah seperti kian jauh meninggalkan rakyat dengan mengabaikan SJSN. Para elite lebih sibuk menjaga ”kursi” mereka daripada memikirkan jutaan rakyat, termasuk buruh, miskin, yang menjalani masa tua tanpa pensiun. Apalagi, jaminan bisa berobat bila sakit.
Mungkin ada yang berpikir pragmatis, SJSN hanya akan menguras APBN sedikitnya Rp 37 triliun dan berpotensi menjadi subsidi baru. Padahal, sesuai data Badan Pusat Statistik pada Agustus 2009, ada 29,11 juta pekerja formal dan 8,96 juta orang, yang bekerja di luar negeri, yang berpotensi mampu membayar sendiri premi SJSN.
Pemerintah tinggal memikirkan 75,76 pekerja informal, yang setelah menyadari manfaat jaminan sosial akan lebih tekun membayar premi sendiri.
Kita tetap butuh satu langkah permulaan yang harus dilakukan sekarang untuk menapaki 1.000 anak tangga ke puncak kesejahteraan sosial. Kita belum terlambat memulai SJSN yang tidak diskriminatif, layanan tidak terbatas, dan memakai prinsip wali amanah.
Prinsip jaminan sosial yang sesuai dengan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Amerika Serikat saja memulai SJSN saat pendapatan per kapita baru 600 dollar AS per tahun. Korea Selatan memulai SJSN saat pendapatan per kapita baru 100 dollar AS per tahun, dan kini sudah punya tabungan dana pensiun 240 miliar dollar AS (setara Rp 2.160 triliun). Saat Jerman memulai SJSN lebih dari seabad lalu, jumlah pekerja formal baru 10 persen dari total angkatan kerja.
Jadi, apa lagi yang membuat pemerintah terus mengulur waktu mewujudkan SJSN? Sampai saat ini pemerintah baru memberikan jaminan sosial penuh kepada 4 juta pegawai negeri sipil dan TNI/Polri. Pemerintah membayar premi mereka lewat APBN, yang melanggar prinsip jaminan sosial juga karena dianggarkan setiap tahun setiap ada yang pensiun.
Kalangan buruh menggugat pemerintah tidak adil karena terus menopang PNS dan TNI/Polri dengan mengabaikan buruh dan masyarakat pembayar pajak.
Komite Aksi Jaminan Sosial yang terbentuk 3 April 2010 memanfaatkan momentum Hari Buruh Internasional untuk menyadarkan pemerintah.
Sedikitnya 50.000 pendukung komite dari 54 elemen, dari awalnya 46 elemen, serikat pekerja/serikat buruh, organisasi kemasyarakatan, dan kemahasiswaan bakal membentuk rantai manusia mengelilingi Istana Kepresidenan di Jakarta, hari ini, Sabtu (1/5).
Komite Aksi Jaminan Sosial ingin menyadarkan semua pihak, SJSN bukan untuk buruh semata, melainkan juga kebutuhan masyarakat.
Kesediaan pemerintah segera mengimplementasikan SJSN akan jadi hadiah terbaik bagi rakyat yang jenuh dengan berbagai intrik kekuasaan. SJSN harus jalan agar Purwoto tak bingung mengobati penyakitnya.
No comments:
Post a Comment