Monday, May 3, 2010

Impor Non Migas Dari China Naik Pesat

Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan terhadap China dalam triwulan I-2010, Januari-Maret, sebesar 1,05 miliar dollar AS. Itu tecermin dari nilai impor produk nonmigas sebesar 4,13 miliar dollar AS, lebih tinggi dari nilai ekspor 3,08 miliar dollar AS.

Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan mengemukakan itu di Jakarta, Senin (3/5), saat menyampaikan laporan bulanan mengenai laju inflasi, ekspor, impor, dan indikator-indikator ekonomi lainnya.

Ditinjau dari neraca perdagangan Indonesia dengan negara lain, ujar Rusman, defisit yang terbesar dalam triwulan I adalah dengan China. Neraca perdagangan dihitung dari selisih nilai ekspor dengan nilai impor.

”Kendati kenaikan impor lebih cepat daripada ekspor, tetapi secara kumulatif, Indonesia masih mengalami surplus neraca perdagangan sebesar 5,35 miliar dollar AS,” ujarnya.

China tercatat menjadi negara pemasok barang impor nonmigas terbesar selama Januari-Maret 2010 senilai 4,13 miliar dollar AS, diikuti Jepang 3,57 miliar dollar AS dan Singapura 2,51 miliar dollar AS.

Defisit neraca perdagangan Indonesia juga terjadi terhadap Singapura dan Thailand. Defisit dengan Thailand sebesar 885,9 juta dollar AS, terutama dipicu oleh impor produk pertanian.

Ketergantungan juga terjadi pada produk pertanian dari Australia, di antaranya gandum dan daging sapi. Defisit neraca perdagangan pada Australia mencapai 444,5 juta dollar AS.

Sementara itu, surplus neraca perdagangan di antaranya terjadi untuk perdagangan ke Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Pengamat ekonomi dari Indef, Fadhil Hasan, mengemukakan, Indonesia sebenarnya sudah mengalami defisit neraca perdagangan dengan China sejak tahun 2008 atau sebelum pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA).

Akan tetapi, muncul indikasi terjadi peningkatan defisit setelah pemberlakuan ACFTA. Industri manufaktur Indonesia, misalnya, semakin sulit menghadapi China dengan penurunan tarif yang berkisar 0-5 persen.

Selama ini, impor dari China umumnya berupa manufaktur dan produk massal sehingga lebih mudah merespons perdagangan bebas. Sebaliknya, Indonesia lebih banyak mengandalkan ekspor sumber daya alam (resource based).

”Indonesia harus melakukan strategi guna mengantisipasi dampak ACFTA dengan mengoptimalkan keunggulan sumber daya,” ujarnya.

Strategi yang perlu diterapkan, ujar Fadhil, adalah komplementer, yakni mendorong spesialisasi perdagangan untuk komoditas alam yang tak dimiliki China, misalnya karet, CPO, kakao, kopi, dan produk turunannya.

Selain itu, mendorong investasi China di Indonesia guna meningkatkan neraca modal. Di sisi lain, pemerintah perlu mendorong pengalihan aktivitas industri yang tidak kompetitif ke industri yang masih kompetitif.

Secara keseluruhan, nilai impor Indonesia pada triwulan I mencapai 30,03 miliar dollar AS atau naik 57,31 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Kenaikan terjadi untuk semua golongan barang, seperti barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal.

Adapun kumulatif ekspor dalam triwulan I mencapai 35,39 miliar dollar AS atau naik 53,68 persen dari periode yang sama tahun lalu.

Inflasi 1,15 persen

Sementara itu, laju inflasi pada kuartal I-2010, Januari-April, mencapai 1,15 persen. Sumbangan terbesar inflasi bersumber dari bahan makanan, terutama bawang putih (0,04 persen) serta tomat dan sayur (0,03 persen).

Sebaliknya, harga beras justru turun 0,07 persen. ”Penurunan harga beras disebabkan euforia adanya panen di banyak tempat,” ujar Rusman.

Ia mengemukakan, rencana kenaikan tarif dasar listrik sebesar 10 persen per Juli 2010 akan meningkatkan inflasi paling banyak 0,25 persen. Itu pun dengan asumsi kenaikan tarif berlangsung untuk semua jenis pelanggan

No comments:

Post a Comment