Saturday, December 24, 2011

Cara Melawan dan Lepas Dari Jerat Tengkulak


Lelang komoditas karet tidak hanya terjadi pada bursa berjangka dunia. Petani pedesaan di Kabupaten Muara Enim dan Kota Prabumulih, Sumatera Selatan, telah menggelar lelang karet sejak 23 tahun lalu. Lelang dalam kendali koperasi petani ini sukses menyejahterakan petani.

Itu sebabnya masyarakat di wilayah tersebut lebih memilih menjadi petani karet ketimbang pegawai negeri sipil atau swasta. Perkembangan di daerah ini juga tumbuh atas dominasi perkebunan rakyat. Meski bergantung pada sektor kebun, kondisi ekonomi masyarakat relatif tinggi.

”Hidup saya sebelumnya selalu pas-pasan selama menjadi pegawai swasta di kota besar. Hasilnya tak seberapa, dan habis untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja,” ujar Arizon, petani karet di Desa Lembak, Gelumbang, Muara Enim, Sumatera Selatan, Selasa (11/10).

Arizon nekat meninggalkan Kota Bandung tempatnya kuliah dan bekerja. Dia kembali ke Desa Gelumbang tahun 1990, banting setir menjadi petani karet dengan lahan 2 hektar (ha).

Pada waktu itu, Arizon merasakan betul ketidakberdayaan petani. Mereka menjual hasil panen ke tengkulak dengan harga yang tak bisa mereka kendalikan sedikit pun.

Tengkulak, atau tauke menciptakan keadaan agar petani selalu terjerat utang, dan tidak memiliki posisi tawar dalam menentukan harga.

Namun, keadaan ini berubah setelah Arizon diajak temannya bergabung dengan KUD Serasan Jaya ”Gelumbang”. Melalui koperasi, Arizon bisa menjual karet pada harga yang jauh lebih tinggi. Selisihnya bisa mencapai Rp 1.000-Rp 2.000 per kg.

Sejak itu, ia merasakan nyamannya menjadi petani karet. Satu hektar kebun karet menghasilkan Rp 5 juta- Rp 6 juta per bulan. Arizon mampu membangun rumah dan menyekolahkan dua anaknya yang saat ini di sekolah menengah atas.

Muslim (50), petani lainnya, mengatakan, peningkatan kesejahteraan berjalan seiring naiknya harga karet di pasaran yang hasilnya benar-benar dinikmati petani. ”Harga dari lelang di koperasi terus mengikuti kenaikan harga karet dunia,” katanya.

Dari kebun karet seluas 7 ha, Muslim memperoleh penghasilan minimal Rp 9 juta-Rp 15 juta per bulan. Pendapatan yang terbilang tinggi bahkan untuk seorang pegawai. Muslim pun telah mengantar dua anaknya kuliah di Palembang, membeli mobil, dan membangun rumah.

Titik balik
Petani di Gelumbang semula tidak mengira kesejahteraan akan terangkat sejak koperasi berdiri. Tahun 1988 menjadi titik balik bagi perekonomian setempat. Melalui koperasi yang terbentuk tahun itu, mereka berhasil melepas diri dari jerat tauke, dan mengambil alih kendali harga.

Ketua Koperasi Karet Serasan Jaya ”Gelumbang” Ahmad Mantap menceritakan, pendirian koperasi didasari keinginan kuat petani untuk sejahtera. Koperasi-koperasi pertama berdiri atas modal simpanan wajib, pokok, dan sukarela. ”Waktu itu keinginan petani punya koperasi sangat tinggi karena ingin lepas dari jerat tauke. Mereka rela memberikan iuran sukarela cukup besar untuk ukuran tahun itu,” kata Mantap.

Melalui koperasi, petani menggelar lelang karet dengan mengundang sejumlah tauke di wilayah itu, setiap dua pekan sekali.

Pada pelaksanaan lelang, petani mengumumkan harga awal, dan selanjutnya masing-masing tauke mendapat kesempatan mengajukan penawaran. Seluruh penawaran direkapitulasi. Pemenang lelang adalah tauke yang mampu memberi penawaran harga tertinggi.

Pada awal lelang di tahun 1988, hanya 9 tauke yang berpartisipasi. Pada lelang 1 Oktober lalu sudah 20 tauke bersaing mendapatkan karet petani setempat. Ada tauke yang menawar karet pada harga Rp 19.000-Rp 21.875 per kg. Petani akan memilih harga terbaik.

Saling menguntungkan
Namun, lelang ini juga menciptakan hubungan saling menguntungkan pada kedua pihak. Keuntungan tidak semata diperoleh petani yang mendapat harga lebih tinggi Rp 1.000-Rp 2.000 per kg dari harga di pasaran. Tauke juga memperoleh jaminan kualitas produk berkadar karet kering di atas 60 persen.
Tauke juga tidak perlu repot membeli karet dari kebun ke kebun, karena koperasi menyiapkan karet lelang dalam kuantitas besar, 3 hingga 30 ton per desa.

Menurut Mantap, Koperasi Serasan Jaya rata-rata menjual sekitar 700 ton karet petani per bulan lewat sistem lelang. Keberadaan koperasi karet dikuatkan oleh surat keputusan bersama dua menteri yaitu Menteri Koperasi dan Menteri Pertanian.

Di awal pembentukan, baru tiga koperasi berdiri, yaitu Serasan Jaya yang kini beranggotakan 1.720 anggota, Koperasi Berkat (2.000 anggota), dan Koperasi Mufakat Jaya (1.700 anggota).

Melihat keberhasilan koperasi, semakin banyak petani tertarik membentuk usaha yang sama. Saat ini sudah terbentuk 14 koperasi karet, tersebar di Kabupaten Muara Enim dan Kota Prabumulih, yang merupakan pemekaran dari Muara Enim tahun 2001.

Jumlah anggota koperasi sudah lebih dari 10.000 orang yang mencakup 319 desa.

Kalangan pengusaha ikut diuntungkan oleh keberadaan koperasi, karena mendapat jaminan pasokan getah karet berkualitas baik.

”Karet dari koperasi terjamin kualitasnya. Sebab, kalau kualitas tidak baik, koperasi sendiri yang akan malu dan tidak dipercaya lagi ke depannya,” kata Alex Kurniadi, Ketua Gabungan Pengusaha Karet Sumsel.

No comments:

Post a Comment