Indonesia tercatat sebagai produsen ketiga terbesar di dunia untuk komoditas kakao. Namun, hal ini tidak dibarengi dengan baiknya kualitas kakao, yang berdampak pada dicibirnya kakao asal Indonesia di pentas dunia.
"Indonesia adalah produsen kakao nomor tiga di dunia, dalam hal kuantitas. Tapi dalam hal kualitas, kita nomor tiga dari bawah, bahkan tidak ada nomornya. Bahkan kita kalah dengan Papua Niugini dari segi kualitas," kata Sutanto Abdullah dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember dalam Konferensi Pers Peluncuran 500 Standar Nasional Indonesia (SNI) di Kantor Badan Standardisasi Nasional (BSN), Jakarta, Kamis (22/12/2011).
Untuk diketahui, produksi biji kakao tahun ini diprediksi turun sekitar 30 persen dibandingkan pada 2010, atau dari 575.000 ton menjadi 420.000 ton. Sementara itu, kapasitas produksi kakao olahan pada tahun ini adalah 600.000 ton, dengan produksi biji kakao sebanyak 420.000 ton.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa sebetulnya sudah ada standar SNI mengenai kakao sebagai tolok ukur membuat produksi berkualitas terbaik. Paling tidak, SNI yang sudah diterbitkan adalah mengenai biji kakao dan bubuk kakao. Selanjutnya akan segera ada SNI mengenai lemak kakao.
Keengganan pelaku industri Kakao dalam menerapkan SNI dinilainya menjadi kata kunci sehingga kakao Indonesia masih belum dapat berbicara banyak dan bersaing dengan negara lain di dunia.
Namun, ia juga melihat bahwa persoalan terdapat pada standar yang sudah ada tersebut, seperti untuk biji kakao masih belum menjadi SNI wajib. "Kami, di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao, sudah mencoba untuk mendorong bagaimana SNI ini untuk biji kakao ini diterapkan secara wajib. Masih banyak pihak yang mungkin tidak setuju, bagaimana nanti begini dan nanti kalau sudah masuk SNI mau dikemanakan, dan segala macam," ungkapnya
"Selama ini penyaluran pupuk bantuan untuk petani melalui APBN, makanya sebagai pendampingan, dialokasikan dari APBD tahun depan," kata Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Barat (Disbun Sumbar) Fajaruddin di Padang, Jumat (16/12/2011).
Ia menjelaskan, pada tahun ini pemberian bantuan pupuk kepada kelompok tani kakao (cokelat) di lima kabupaten sebanyak 760 ton bersumber dari APBN.
Lima kabupaten sasaran penyaluran pupuk gratis itu meliputi Agam, Padang Pariaman, Pasaman, Pasaman Barat dan, Tanah Datar, yang merupakan sentra utama komoditas kakao Sumbar.
Menurut Fajar, langkah tersebut sebagai upaya pemerintah provinsi dalam memberi dukungan terhadap petani yang terus mengembangkan komoditas kakao.
Sasaran bantuan kepada kelompok agar lebih mudah mengontrol dan memberi nilai tambah terhadap produksi komoditas itu.
"Kami selalu mendorong petani berkelompok, termasuk dalam penjualan hasil produksi supaya punya nilai tawar, dibandingkan secara perorangan," katanya.
Jika perorangan, maka petani akan ditekan kalangan pedagang pengumpul atau tengkulak, apalagi pasaran harga tidak diketahui.
Kendati demikian, sejak dua tahun terakhir, harga kakao cukup baik di tingkat petani, rata-rata di atas Rp 15.000 per kg, bahkan mencapai Rp 30.000 per kg.
Fajar juga menyebutkan, selain bantuan pupuk, Disbun Sumbar pada tahun ini juga menyalurkan bibit komoditas kakao dan jenis lainnya sebanyak 1,2 juta batang.
Target khusus komoditas kakao Sumbar seluas 108 hektar sampai tahun 2011 sudah tercapai, tersebar pada sejumlah kabupaten dan kota di provinsi tersebut.
Bantuan bibit diprioritaskan pada kelompok yang sudah ditetapkan dalam program Gerakan Penyejahteraan Petani (GPP), yang berjumlah 124 kelompok dan sudah hampir tersentuh 100 persen.
"Kelompok GPP minimal memiliki tiga usaha tani, sehingga Disbun, Disnak, serta Dinas Kelautan dan Perikanan mengintegrasikan programnya kepada mereka," ujarnya.
No comments:
Post a Comment