- Ada kemungkinan PT Pertamina (Persero) bakal menderita kerugian (potential loss) dari bisnis bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan elpiji. Tak tanggung-tanggung, sebagai pengemban kewajiban layanan publik atawapublic service obligation (PSO), potensi kerugian yang mungkin tercatat pada akhir tahun nanti mencapai Rp 11,2 triliun.
Angka tersebut melampaui kerugian Pertamina dari bisnis PSO tahun lalu yang mencapai Rp 6,9 triliun. Terhadap BBM bersubsidi sendiri, Pertamina menghitung, dengan tingkat harga sekarang, kemungkinan rugi tahun ini sekitar Rp 2,5 triliun.
Sebab, delta alias selisih antara harga minyak mentah dengan harga premium Pertamina hanya sekitar 50 sen per barel. “Jadi, sebetulnya, kalau kita mengolah minyak mentah menjadi premium kita rugi,” ujar Vice President Coorporate Communication Pertamina M. Harun, Senin (22/8/2011).
Sekadar catatan, setiap tahun Pertamina mengeluarkan dana Rp 400 triliun untuk pengadaan BBM bersubsidi.
Harun menjelaskan, angka delta memang fluktuatif karena faktor penentunya adalah kondisi pasar. Di semester pertama 2011, angka delta masih baik, rata-rata 13 dollar AS per barrel. Tapi sejak Juni - Juli ini, delta mulai anjlok. Menurut Harun, penyebabnya adalah kondisi pasar yang dipengaruhi oleh melemahnya ekonomi Eropa dan Amerika.
Untuk menekan potensi kerugian ini, Pertamina pernah mengajukan peningkatan alfa atau margin penjualan BBM bersubsidi sebesar Rp 50. Sayang, pemerintah dan DPR menolak mentah-mentah usulan tersebut.
Potensi kerugian ini juga karena Pertamina tidak menaikkan harga jual elpiji ukuran 12 kg dan 50 kg hingga akhir tahun. Pertamina menghitung kerugian dengan menahan harga elpiji itu mencapai Rp 3,7 triliun.
Sumber potensi kerugian yang lain juga berasal dari biaya pencadangan BBM selama 22 hari dan minyak mentah selama 14 hari. “Semua ini menggunakan dana Pertamina. Uang kami mati di sana,” jelas Harun, lagi.
Dalam setahun, perusahaan migas pelat merah ini menyiapkan dana Rp 40 triliun untuk pencadangan BBM dan minyak mentah. Dari jumlah dana pencadangan ini, Pertamina menaksir potential lossmencapai Rp 5 triliun. “Sehingga kalau kita hitung-hitung sudah Rp 11,2 triliun loss yang kita derita,” ujarnya.
Potensi kerugian ini tentu membebani kinerja keuangan akhir tahun. Oleh karena itu Pertamina harus lebih berhati-hati, apalagi karena konsumsi BBM bersubsidi yang makin lama makin menanjak. Padahal, di lain pihak, menurut Harun, margin penjualan dari bisnis BBM bersubsidi masih kurang besar.
Pertamina bakal menyampaikan potensi kerugian kepada pemegang saham dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Yang penting pemegang saham mengetahui usaha yang kita lakukan dan seperti ini kondisinya,” ucap dia
"Kuartal I-2011 kerugian yang diderita sekitar Rp 1 triliun, kemungkinan semester berikutnya sama," ujar Vice President Communication Pertamina Mochammad Harun, Kamis (21/7/2011).
Menurut Harun, jumlah kerugian pada kuartal II sama dengan kuartal I karena harga elpiji di pasar sepanjang enam bulan pertama stabil. Ia menambahkan, apabila harga elpiji di pasar tetap sama, hingga akhir tahun jumlah kerugian bisa tembus hingga Rp 4 triliun.
Meski demikian, Pertamina memproyeksikan rugi karena penjualan elpiji nonsubsidi hanya sekitar Rp 3,6 triliun. Alasannya, sepanjang tahun 2011 pasti terjadi fluktuasi harga. Ia berharap turunnya harga elpiji akan memperkecil jumlah kerugian elpiji Pertamina.
"Tetapi, hal itu sulit dipastikan karena harga elpiji akan melihat demand market-nya seperti apa. Kami masih belum bisa memprediksi harga sepanjang tahun karena kondisi bisa berubah," kata Harun. Diketahui, harga keekonomian elpiji saat ini adalah sekitar Rp 8.500 per kilogram, tetapi Pertamina menjual Rp 7.355 per kilogram.
Senada dengan Harun, Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Djaelani Sutomo mengatakan, kerugian dari penjualan elpiji kemasan 12 kg dan 50 kg tersebut karena adanya peningkatan biaya produksi elpiji yang berbanding terbalik dengan harga jual. Apalagi, kata Djaelani, penjualan elpiji 3 kg tidak terlalu menggembirakan sehingga keuntungan Pertamina terus tergerus dengan penjualan elpiji.
Pada tahun ini, kata Djaelani, Pertamina berharap meraup untung sebesar Rp 1,3 triliun untuk elpiji 3 kg. "Tapi, belum tercapai karena konversi belum selesai, harga elpiji dan biaya operasi juga meningkat," kata Djaelani.
Sebagai gambarannya, selama tahun 2011 Pertamina berharap mampu menjual elpiji 3 kg sebesar 3,5 juta metrik ton. Seharusnya, pada kuartal I-2011, BUMN migas itu sudah meraup penjualan elpiji 3 kg sebesar 768.800 metrik ton. Sayangnya, realisasinya penjualan elpiji 3 kg hanya mencapai 735,1 metrik ton atau meleset sekitar 21 persen.
Berbeda halnya dengan penjualan elpiji 3 kg, untuk penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg terus melebihi target sehingga kerugian Pertamina selain karena harga elpiji yang naik juga disebabkan permintaan elpiji nonsubsidi terus melambung tinggi.
Untuk penjualan elpiji 12 kg dan 50 kg, pada 2011 ditargetkan mencapai 0,90 metrik ton. Pada kuartal I-2011, Pertamina mematok target mampu menjual elpiji 12 kg dan 50 kg sebesar 0,23 metrik ton. Realisasinya, Pertamina menjual sebanyak 0,29 metrik ton.
No comments:
Post a Comment