Anggota Dewan Energi Nasional Rinaldy Dalimi, Senin (24/1) di Jakarta, menyatakan, dalam Undang-Undang Kelistrikan Nomor 30 Tahun 2009 disebutkan, tarif listrik ditentukan pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. ”Penetapan tarif regional diperlukan,” ujarnya.
Apalagi, pembangunan listrik nantinya lebih berorientasi teknologi pembangkit tenaga listrik berdiri sendiri yang spesifik, seperti pembangkit tenaga surya. Tidak ada lagi transmisi tegangan tinggi yang menghubungkan antar-pembangkit.
Oleh karena itu, kata Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto, pemerintah daerah harus lebih berani agar tidak terperangkap penyeragaman tarif. ”Pemda perlu mendorong tarif yang bisa diterima konsumen dan mendorong industri,” ujarnya.
Namun, menurut anggota Komisi VII DPR, Dito Ganinduto, penerapan tarif listrik regional masih terkendala tidak adanya peraturan pemerintah sehingga belum bisa diterapkan secara nasional. ”Padahal, aturan perundangan tentang kelistrikan sudah ada sejak 2009. Seharusnya, kebijakan itu sudah diimplementasikan satu tahun setelah UU diterbitkan,” kata Dito.
Saat ini tarif listrik regional sudah diuji coba untuk diterapkan di Batam dan Tarakan.
Beberapa aspek yang memengaruhi besaran tarif listrik di daerah adalah kemampuan ekonomi masyarakat di daerah itu.
Jika tarif listrik murah, investor akan berminat membangun industri di daerah itu. Ini akan menimbulkan efek domino, seperti menyerap tenaga kerja, mengurangi arus urbanisasi, dan menumbuhkan ekonomi daerah.
Menurut Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Bidang Investasi dan Produksi Kardaya Warnika, pemerintah saat ini merumuskan aturan pelaksanaan tarif listrik regional, yang ditargetkan selesai tahun ini. ”Kementerian ESDM sedang menyiapkan payung regulasinya agar bisa memberi pedoman pada daerah-daerah lain sehingga polanya sama,” kata Kardaya.
Ia menjelaskan, bila kemampuan suatu daerah tinggi, mereka bisa mengatur tarif listrik tanpa subsidi.
No comments:
Post a Comment