Friday, January 28, 2011

Ekspor Barang Mentah Akan Di Hentikan Pemerintah

Demikian disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dalam kunjungan kerja ke Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, Jumat (28/1). Turut dalam kunjungan ini, Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan dan Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.

Industri yang mengutamakan ekspor bahan mentah, kata Hatta, mendapat disinsentif. Adapun industri yang mengolah bahan mentah lebih dahulu sebelum diekspor mendapat insentif.

”Misalnya, untuk pertambangan mineral dan batu bara, mereka wajib membangun smelter di lokasi sesuai UU Minerba. Begitu juga komoditas lain. Semua ini akan disampaikan dalam peluncuran Visi Indonesia 2025 bulan April,” kata Hatta.

Indonesia memproduksi sedikitnya 300 juta ton batu bara per tahun, 240 juta ton di antaranya diekspor.

Mengenai komoditas minyak kelapa sawit mentah (CPO), dari 21,5 juta ton produksi CPO 2010, 15,6 juta ton di antaranya diekspor. Sekitar 60 persen diekspor dalam bentuk mentah.

Hal yang sama terjadi pada komoditas kakao dan karet alam. Indonesia produsen utama kedua komoditas.

Zulkifli Hasan menambahkan, Kementerian Kehutanan selama setahun terakhir terus mempermudah perizinan industri kehutanan berbasis kayu rakyat. Keberhasilan pola kemitraan industri kayu lapis dengan menyerap bahan baku dari hutan rakyat di Pulau Jawa merupakan contoh sukses pemerataan kesempatan ekonomi kehutanan.

”Kami mengarahkan pengembangan industri kehutanan berbasis rakyat di luar Jawa. Kami terus mencadangkan hutan produksi untuk hutan tanaman rakyat, hutan desa, dan hutan kemasyarakatan untuk mendukung ketersediaan bahan baku industri,” ujar Menhut.

Minat bangun pabrik

Menanggapi rencana pemerintah itu, Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia Piter Jasman mengatakan, pembatasan ekspor biji kakao akan mendorong peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Investor akan berminat membangun pabrik pengolahan biji kakao.

”Paling tidak akan terjadi relokasi pabrik-pabrik cokelat dari Singapura dan Malaysia ke Indonesia. Dua negara itu tidak memiliki bahan baku,” katanya.

Saat ini, tingkat penyerapan industri kakao dalam negeri masih rendah. Dengan relokasi pabrik kakao dari Malaysia di Karawang, Jawa Barat, dan beroperasinya pabrik pengolahan makanan di Pasuruan, Jawa Timur, serta pabrik bubuk cokelat di beberapa wilayah, kapasitas pabrik bila beroperasi penuh baru 400.000 ton. Itu pun kalau semua beroperasi pada 2012.

”Produksi biji kakao kita 600.000 ton. Mau dikemanakan yang lainnya,” kata Piter.

Namun, Piter menghargai, pembatasan ekspor bahan mentah akan mendorong bangkitnya industri pengolahan kakao di dalam negeri; selain juga memberi nilai tambah dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. ”Sehingga diharapkan tidak ada lagi biji kakao yang diekspor,” ujarnya.

Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ambar Polah Tjahyono menegaskan, pengolahan komoditas seperti rotan memang harus didorong di daerah asal. ”Kalau langsung diekspor, petani tidak akan memperoleh nilai tambah. Industri mebel dan kerajinan akan kekurangan bahan baku,” ujarnya.

Dalam analisis tim Komisi Pengawas Persaingan Usaha, rotan yang diambil dari hutan, seperti Kalimantan dan Sulawesi, sudah mengalami proses kegiatan industri. Sebelum dikirim ke industri mebel, rotan terlebih dulu dimasak. Namun, tidak dihitung besaran peningkatan nilai tambahnya.

”Asmindo memahami, petani juga perlu penghasilan untuk memenuhi kebutuhannya. Kalau bahan baku rotan yang tersedia begitu banyak, tidak terserap industri, mau bagaimana lagi? Di sini tugas pemerintah betul-betul mengawasi agar wajib pasok kepada industri dalam negeri sungguh dipenuhi,” kata Ambar.

Data Kementerian Perindustrian menunjukkan, kapasitas terpasang industri mebel berbahan baku rotan merosot. Tahun 2005 mencapai 551.685 ton, namun 2009 hanya 386.109 ton.

No comments:

Post a Comment