Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam di Kendari, Sabtu (29/1), menyatakan, Inco telah memiliki izin usaha pertambangan di Sultra sejak tahun 1968 dan memperpanjang izinnya hingga tahun 2025.
Namun, masyarakat Sulawesi Tenggara menilai Inco tidak berniat mengembangkan perekonomian di wilayah tambangnya karena tidak melakukan operasi tambang. Dengan demikian, masyarakat di sekitar areal tambang Inco serta Sulawesi Tenggara tidak memperoleh nilai tambah dari keberadaan Inco.
”Selama di Sulawesi Tenggara, Inco baru berkontribusi menyumbang Rp 15 miliar untuk membangun rumah sakit. Selebihnya, tidak ada penerimaan apa pun dari mereka, baik pajak, pendapatan negara bukan pajak, royalti, pengembangan komunitas, maupun CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) karena memang tidak ada operasi tambang,” ujar Nur Alam.
Oleh karena itu, ada tiga opsi yang ditawarkan kepada Inco.
Pertama, menyerahkan kembali seluruh izin usaha pertambangan kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Kedua, melanjutkan pertambangan dan wajib membangun smelter atau fasilitas pengolahan nikel. Ketiga, bekerja sama dengan mitra strategis mengolah kawasan tambangnya.
”Lebih baik Inco mundur saja. Nanti kami olah sendiri tambang itu,” ujar Nur Alam.
Kondisi Inco, menurut Nur Alam, berbeda dengan PT Antam, yang juga melakukan usaha pertambangan di Sultra. Badan usaha milik negara ini
berkontribusi aktif dengan membayar royalti tambang nikel. Antam ditargetkan membayar royalti pada 2011 sebesar Rp 70 miliar.
Tahun 2008, royalti yang disetorkan ke kas Pemerintah Provinsi Sultra Rp 103 miliar, tahun 2009 turun menjadi Rp 35 miliar. Royalti 2010, yang dibayarkan 2011 mencapai Rp 70 miliar.
Saat ini ada 20 usaha pertambangan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara.
No comments:
Post a Comment