Friday, January 21, 2011

Para Nelayan Yang Bertarung Melawan Cuaca Buruk

Ketegaran nelayan kembali diuji. Cuaca ekstrem yang terus menggila selama tahun 2010 dan berlanjut hingga awal tahun ini menyadarkan bahwa nelayan harus lebih keras mencari akal menyambung hidup dan beradaptasi dengan perubahan iklim.

Apalagi pada saat kesulitan tangkapan ikan terus berlangsung, pemerintah nyaris belum punya instrumen strategis untuk menolong nelayan. Sebaliknya, justru mengklaim bahwa pendapatan buruh nelayan tahun 2010 naik 127,59 persen, dan nelayan pemilik kapal naik 91,94 persen.

Fakta itu terasa kian membingungkan karena di awal tahun 2011, pemerintah menyatakan terdapat 473.983 nelayan di 20 provinsi tidak bisa melaut sebagai dampak gangguan cuaca. Bantuan beras pun digulirkan sebanyak 13.271 ton beras untuk membantu nelayan selama 14 hari.

Pertanyaannya, bagaimana nasib nelayan jika setelah 14 hari cuaca masih tidak bersahabat? Bantuan beras hanya jangka pendek, tetapi bukan solusi utama untuk menyikapi cuaca buruk yang kian sulit diprediksi. Sementara itu, hingga kini pemerintah belum memiliki sistem informasi tentang perubahan iklim dan cuaca yang terdistribusi meluas sampai ke pelosok.

Sebagai kilas balik, tahun 2010, pemerintah menggulirkan asuransi nelayan, dan restrukturisasi kapal motor tempel nelayan untuk diganti dengan kapal berbobot mati 30 ton agar nelayan bisa menangkap ikan ke tempat yang lebih jauh.

Namun, sampai kini, sulit dideteksi mekanisme penyaluran program bantuan kapal tersebut. Banyak kelompok nelayan menuding program bantuan kapal itu salah sasaran.

Ironisnya, di negeri bahari ini, sebagian besar nelayan Indonesia, 90 persen nelayan dengan kapal berbobot mati di bawah 30 ton, tidak memiliki alat navigasi (GPS) untuk membaca pergerakan ikan. Di tengah cuaca buruk, kenekatan nelayan untuk melaut bagaikan berjudi di tengah empasan ombak. Nelayan kecil yang sebagian besar hanya memiliki keahlian melaut harus berjuang menaklukkan lautan dengan cuaca tak menentu. Berpijak pada kearifan lokal, pola penangkapan harus diarahkan memanfaatkan rumpon yang memudahkan nelayan untuk mencari ikan.

Penggunaan rumpon yang menarik ikan untuk berkumpul sudah berkembang di Indonesia sejak tahun 1980. Di masa lalu, nelayan di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan menggunakannya. Negara-negara maju di bidang perikanan juga mengadopsi penggunaan rumpon, seperti Jepang, Australia, dan Filipina.

Upaya lain, memberdayakan istri-istri nelayan untuk menopang perekonomian keluarga dengan mengolah hasil tangkapan ikan. Hal itu dapat meningkatkan nilai tambah ikan di tengah pasokan yang terus menipis.

Sebagai ilustrasi, istri nelayan diarahkan untuk mengembangkan usaha ikan asap, ikan asin, ataupun irisan ikan tanpa tulang (fillet). Selayaknya, pemerintah daerah mendukung hal ini sebagai penguatan usaha masyarakat pesisir.

Sudah saatnya 6.000 tenaga penyuluh perikanan di Tanah Air diberdayakan untuk menyebarkan informasi cuaca dan memberdayakan nelayan. Upaya pemberdayaan itu selayaknya mendapat dukungan pemerintah daerah dan semua pemangku kepentingan. Jangan dilupakan, nelayan adalah ujung tombak ketahanan pangan nasional. Jika nelayan dibiarkan tidak mampu lagi bertarung, tak akan ada ikan gurih di meja makan

No comments:

Post a Comment