Kabar tentang kenaikan harga 12 jenis komoditas pangan pokok pada Januari 2011 dibandingkan harga Januari 2010 seharusnya menjadi sinyal bagi pemerintah dan juga masyarakat tentang seriusnya laju inflasi kali ini. Inflasi berkorelasi pada melemahnya daya beli masyarakat.
Bukan hanya masyarakat kecil yang akan menderita. Dunia usaha, terutama di sektor ritel, juga akan terkena dampak menurunnya pembelian. Kita berharap semoga tidak ada dampak lanjutan pada menurunnya daya serap industri atas tenaga kerja akibat ekspansi usaha tertunda.
Akan tetapi, kewaspadaan terhadap lonjakan inflasi bukan hanya atas kenaikan harga komoditas pangan yang sudah terjadi. Laju inflasi justru perlu dilihat dengan saksama karena ada banyak faktor yang bisa mendorong lonjakan harga pada sebelas bulan ke depan.
Pertama, setidaknya dalam sebulan ke depan, ada potensi kenaikan harga beras karena masa panen raya belum tiba. Tentu saja ledakan harga beras tersebut bisa diredam oleh impor yang dilakukan Bulog sehingga pemerintah harus memastikan impor ini berjalan lancar.
Namun perlu diingat, dengan impor beras dan panen raya pun, harga komoditas ini tetap naik di sepanjang tahun 2010. Lihat saja, harga beras umum antara Januari 2010 dan Januari 2011 naik 22,74 persen menjadi Rp 9.200 per kg. Harga beras termurah juga naik 22,6 persen menjadi Rp 7.452 per kg.
Kedua, mulai April 2011, pemerintah memberlakukan program pengaturan bahan bakar minyak (BBM), yakni semua mobil berpelat hitam wajib menggunakan BBM nonsubsidi.
Pemilik mobil pribadi tidak lagi diperkenankan menikmati bensin Rp 4.500 per liter, tetapi minimal pertamax dengan harga Rp 7.850 per liter. Ada kenaikan beban ekonomi sebesar Rp 3.350 per liter atau 74,44 persen. Hal itu dengan asumsi harga minyak mentah di pasar internasional relatif tetap.
Ketiga, jangan terlalu berharap tidak ada kenaikan harga minyak mentah dunia. Sebab, Badan Energi Amerika Serikat memperkirakan rata-rata harga minyak mentah dunia 2011 pada kisaran 93,7 dollar AS per barrel. Sekitar 13 dollar AS lebih tinggi dari asumsi harga minyak mentah yang digunakan APBN 2011, yakni 80 dollar AS per barrel.
Keempat, lonjakan harga minyak mentah tersebut selalu menjadi faktor pendorong kenaikan harga komoditas pangan selain beras. Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan sudah memahami hal ini dengan memperhitungkan kemungkinan kenaikan harga minyak goreng, tepung terigu, dan kedelai, masing-masing 0,46 persen; 0,09 persen; dan 0,0001 persen. Itu dengan asumsi kenaikan harga mentah dunia hanya 10 persen di atas asumsi APBN 2011.
Kelima, perubahan iklim yang ekstrem diperkirakan tidak akan bisa dihindari lagi hingga akhir tahun 2011. Kemarau basah membuat petani yang biasa menanam palawija bisa saja beralih ke padi. Pasokan bahan baku pakan ternak bisa berkurang, yang dapat memicu kenaikan harga daging.
Keenam, akibat masalah pasokan bahan pangan dan pakan ternak yang terganggu, Indonesia akan sangat bergantung pada impor. Ada risiko inflasi karena harga bahan pangan dan bahan baku pakan ternak di pasar dunia pun meningkat.
Ketujuh, dari sisi moneter, Bank Indonesia tidak akan serta- merta menaikkan suku bunga acuan dari level 6,5 persen sejak Agustus 2009. Sebab, kenaikan suku bunga tidak akan langsung menurunkan inflasi yang lebih diakibatkan oleh masalah harga pangan yang berfluktuasi. Selain itu, menaikkan suku bunga acuan juga hanya menjadi pemanis tambahan pada mengalirnya dana-dana panas jangka pendek ke dalam negeri.
Dengan ketujuh faktor tersebut, pemerintah sebaiknya maklum bahwa tidak mudah mengarahkan laju inflasi sesuai dengan asumsi APBN 2011, yakni 5,3 persen atau ditargetkan 5 persen plus minus 1 persen.
Atas perhitungan itu, laju inflasi yang sangat mungkin terjadi hingga akhir tahun adalah 6,1-6,62 persen. Tingginya inflasi perlu diartikan sebagai potensi kenaikan harga barang yang mencekik leher masyarakat miskin. Penciptaan lapangan kerja baru seharusnya menjadi prioritas pemerintah
No comments:
Post a Comment