Friday, January 6, 2012

Daftar Industri Dengan Pertumbuhan Tinggi Serta Faktor Penghambatnya


 Suatu siang di sebuah pabrik pupuk, Menteri Perindustrian MS Hidayat berbisik kepada Kompas, ”Industri ingin berlari kencang. Dilihat dari sisi pertumbuhan, sektor industri tahun 2011 tumbuh cukup menggembirakan.”

Kecukupan energi menjadi prasyarat penting, bahkan telah diangkat dalam berbagai rapat tingkat tinggi pemerintahan. Rapat koordinasi yang dipopulerkan dengan retret (mundur sejenak) kerap terjadi pada 2011. Ujung yang boleh dibilang paling top adalah rangkaian rencana pemerintah yang dikenal dengan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Rencana bagus, bagaimana eksekusi implementasinya? Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dalam sebuah presentasi memutarkan video yang menyajikan potensi dan prospek Indonesia hingga tahun 2025. Luar biasa respons peserta konferensi.

Pada saat Indonesia ingin melangkah dan pemerintah meyakini keinginannya bisa berlari kencang, tak dapat dimungkiri badai krisis Eropa dan pelambatan pemulihan ekonomi Amerika Serikat mulai terasa ”embusan angin-”nya.

Investasi disikapi pemerintah dengan pengurangan pajak atau tax holiday. Namun, kebijakan ini terkesan terlambat diputuskan. Bisa jadi karena kinerja lambat dalam birokrasi kita. Nah, implementasi pemberian tax holiday yang lambat atau sama sekali tak terwujud pada kemudian hari bakal menuai keraguan bagi investor.

Disandera
Industri disandera berbagai masalah, terseret berbagai kepentingan, dan penghadangan pun makin bertubi-tubi. Padahal, pemerintah belakangan gencar mengumandangkan program hilirisasi. Sebelumnya, program restrukturisasi permesinan pun digenjot meskipun anggarannya semakin dikurangi. Tak kurang pula, konsep swasembada mendorong industri diperkuat dengan revitalisasi industri gula, pupuk, dan tekstil.

Bukan itu saja, kebangkitan industri kakao pun dihadang oleh keterbatasan pasokan biji kakao. Akarnya, pemerintah tidak menyelesaikannya dari sektor perkebunan kakao sebagai pemasok bahan baku. Kebijakan rotan pun tak luput dari penghadangan kelompok tertentu yang terusik periuk usahanya. Lemahnya koordinasi antar-kementerian?

Pergolakan Papua yang menghantam industri pertambangan dan konflik di Batam sesungguhnya juga memberikan warna perjalanan industri. Sampai-sampai, dialog antar-pengusaha yang sedianya diselenggarakan Kementerian Perindustrian tampaknya batal akibat tidak kondusifnya relasi buruh, pemilik kerja, serta pemerintah daerah. Kuncinya, ketidakadilan upah buruh kita.

Padahal, awal tahun 2011, Kementerian Perindustrian membeberkan hasil survei atas keputusan Indonesia menyetujui perjanjian perdagangan bebas, terutama dengan China. Banjirnya produk asing, terutama China, menjadikan produk Indonesia kalah bersaing.

Restrukturisasi industri tekstil terus digenjot. Hasilnya kini mulai dirasakan. Tahun 2010, total nilai produksi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mencapai 21,25 miliar dollar AS, dengan tenaga kerja langsung yang diserap 1,32 juta orang. Sementara nilai ekspor industri TPT pada tahun 2010 mencapai lebih dari 10,9 miliar dollar AS.

Industri alas kaki menunjukkan perkembangan yang sangat signifikan tahun 2010, dengan nilai ekspor mencapai 2,1 miliar dollar AS atau tertinggi yang pernah dicapai selama ini. Sementara industri furnitur memberikan kontribusi cukup penting terhadap perekonomian. Tahun 2010, nilai ekspor furnitur mencapai 2,04 miliar dollar AS.

Industri pupuk pun berbenah diri. Ini ditandai oleh revitalisasi industri pupuk, antara lain pengembangan pabrik pupuk PT Petrokimia Gresik berkapasitas produksi 200.000 ton per tahun, PT Pusri (Persero) kapasitas 200.000-300.000 ton per tahun, PT Pusri (Persero) untuk pendirian pabrik asam fosfat dengan kapasitas 200.000 metrik ton per tahun di Palembang, dan PT Pupuk Kaltim untuk pendirian pabrik asam fosfat dengan kapasitas 200.000 metrik ton per tahun di Bontang.

Tak ketinggalan, bantuan keringanan pembiayaan mesin/ peralatan di tujuh perusahaan gula (PTPN VII, IX, X, XI, dan XIV serta PT RNI 1 dan RNI 2) dengan total 46 pabrik. Nilai bantuan sebesar Rp 47,88 miliar dan nilai investasi mencapai Rp 679 miliar.

Penghadang
Pengusaha tekstil sekaligus Staf Khusus Menteri Perindustrian Benny Soetrisno yang posisinya ”nonbirokrasi” secara lugas mengatakan, ”Banyak sekali penghadang dalam sektor industri.”

Belum lagi, lari kencangnya industri tersandera masalah pengadaan lahan dan peraturan daerah yang kurang harmonis dengan program hilirisasi industri. Kebijakan energi yang semestinya menjadi ”darah” bagi industri serta ketersediaan pelabuhan dan jalan yang terinterkoneksi untuk mempercepat logistik menjadi gambaran bahwa penyanderaan itu masih berlarut-larut tanpa solusi cepat dan strategis.

Benny pun melihat, MP3I, yang perannya sebagai wadah koordinasi antara rencana dan pelaksanaan, ternyata setiap pemahaman dan kecepatan proses administrasi serta birokrasi di setiap kementeriannya masih terkesan berbeda-beda, termasuk juga kepentingannya.

Persis, ini pula keprihatinan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). ”Saya pesimistis, industri bisa tumbuh lebih tinggi. Apalagi, kebijakan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI Rate ternyata juga lamban memperlihatkan penurunan lending rate. Bank bersikap hati-hati karena situasi dunia memaksa mereka untuk memperketat penyaluran kredit yang dibutuhkan industri,” kata Ketua Umum Apindo Sofjan Wanandi.

Jadi, Pak Menteri Perindustrian, ternyata banyak yang menyandera industri! Kompleksitas industri butuh penyikapan total untuk bisa berlari kencang, menerobos kemandekan, dan menciptakan inovasi

No comments:

Post a Comment