Thursday, January 12, 2012

KUR Indonesia Dinilai Layak Jadi Model Pembiayaan Mikro OKI


Kredit usaha rakyat atau KUR dinilai layak menjadi model bagi pembiayaan mikro di negara anggota Organisasi Konferensi Islam, yang tingkat perekonomiannya rendah. KUR dinilai unik karena sangat bergantung pada bank komersial berskala besar di Indonesia.

Menurut Hans P Binswanger- Mkhize, konsultan pertanian dan pembangunan pedesaan dari Institute Inovasi dan Riset Ekonomi, Universitas Tshwane, Afrika Selatan, sistem pembiayaan mikro di Indonesia dikaitkan langsung dengan sistem perbankan.

”Ada satu bank komersial besar yang mendorong pembiayaan mikro, terutama untuk pembangunan pertanian. Jadi, meski dia bank komersial, pembiayaan mikro menjadikannya sebagai kekuatan utama,” kata Hans di Istanbul, Turki, Jumat (8/10).

Hans menyampaikan hal itu di hadapan perwakilan 57 negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada Pertemuan Tingkat Menteri Standing Committee Konferensi Ekonomi dan Komersial (Comcec) ke-26.
”Pembiayaan mikro di Indonesia ini sangat baik jika digunakan dalam kawasan yang memiliki tingkat kepadatan penduduk tinggi, terutama di kawasan seperti Subsahara, Afrika,” ujarnya.

Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa mengusulkan agar KUR diadopsi oleh OKI sebagai sistem pembiayaan mikro di negara-negara miskin.

Namun, Hatta mengingatkan sistem KUR membutuhkan suntikan dana dari pemerintah sebagai premi atas risiko gagal bayar yang mungkin terjadi pada debitor KUR. ”Akan tetapi, tidak satu pun negara miskin anggota OKI yang sanggup mengalokasikan anggaran penjaminan kredit mikro seperti yang dilakukan Pemerintah Indonesia,” ujarnya.

Untuk penjaminan KUR, Pemerintah RI mengalokasikan Rp 2 triliun. Pemerintah membayar premi setara 10 persen dari jumlah nominal KUR yang akan dialirkan, yaitu Rp 20 triliun.

”Oleh karena itu, kami mengusulkan agar ada peran aktif dari IDB (Bank Pembangunan Islam) membantu pemerintah di negara miskin menyediakan dana penjaminan,” kata Hatta.

Saat ini, IDB mengelola Islamic Solidarity Fund for Development (ISFD), yakni dana wakaf dari 57 negara anggota OKI. Dana ini digunakan untuk negara-negara anggota OKI yang memiliki tingkat perekonomian rendah. Nilai dana yang terkumpul pertama kali diluncurkan (Maret 2008) adalah 10 miliar dollar AS. Program utama adalah mengentaskan orang miskin.

Namun, menurut Hatta, ISFD tidak maksimal karena IDB tetap mewajibkan ada agunan yang disediakan calon debitor. Padahal, rakyat di negara miskin rata-rata tidak punya agunan untuk dijadikan jaminan. ”Kalau mau jalan, harus ada perubahan di IDB. KUR berjalan karena tidak mewajibkan ada agunan, cukup dilihat usahanya. Jika dinilai layak, dapat memperoleh pembiayaan,” ujar Hatta

No comments:

Post a Comment