Globalisasi negara-negara Eropa, Amerika Serikat (AS), dan Asia tak lebih cuma retorika karena dalam prakteknya terbukti para penguasa di negara-negara itu tetap melindungi kepentingan nasional dengan alasan-alasan tertentu sehingga produk luar negeri sulit masuk ke negaranya.
Seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, budayawan Radar Panca Dahana, di Jakarta, Selasa, menjelaskan bahwa disadari atau tidak, negara-negara berkembang macam Indonesia telah menjadi target pasar bagi produk negara maju yang masuk dengan bungkus globalisasi.
Tidak hanya negara dari Eropa dan Amerika, tapi negara Asia yang mulai bangkit juga membutuhkan pasar bagi produk-produk mereka, karena pintu masuknya bisa bermacam-macam, di antaranya lewat misi kebudayaan, kata Radar Panca Dahana.
Praktik dagang semacam ini, menurut Radar Panca Dahana, seharusnya membuat pemerintah berhati-hati dengan masuknya pemegang modal asing yang awalnya mendompleng misi budaya, padahal mau menjajah secara ekonomi.
Itu sebabnya diperlukan peranan pemerintah melindungi kepentingan nasional, baik lewat lembaga legislatif maupun eksekutif, kata Radar. Semisal saja memproteksi industri dalam negeri dari serbuan kapitalis asing, salah satu cara masuk serbuan budaya asing itu dengan pembukaan bioskop.
Seperti diberitakan dalam beberapa pekan ini, sebuah grup usaha dari Korea Selatan (Korsel) bermaksud akan melakukan investasi di bidang bioskop. Investor Korsel itu, Lotte Grup, yang sudah masuk ke Indonesia di bisnis retail itu menyatakan niatnya untuk membangun 100 bioskop di tanah air. Mereka mengaku membawa misi untuk memperkenalkan budaya Korsel di Indonesia.
Dari kemasan budaya, bisa jadi, Korsel juga membawa misi terselubung, yakni memperkuat dominasi produk-produk negeri Ginseng itu di Indonesia, kata Radar mengingatkan. Menurut dia, pemodal Korsel itu makin merajalela di negeri ini tidak hanya sektor telekomunikasi dan otomotif, produk film Korea pun sudah mulai mempengaruhi pemirsa di Indonesia lewat layar kaca.
Namun, untuk bisa berinvestasi dalam bentuk pembangunan bioskop, investor asing masih terkendala dengan regulasi, karena sampai saat ini, bioskop masih termasuk dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Lotte Grup berupaya membuka hambatan tersebut lewat Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan BKPM, agar bioskop dicabut dari DNI, katanya.
Upaya membuka pintu masuk bagi investasi bioskop itu, menurut Radar ditentang oleh banyak pihak. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Wiendu Nuryanti misalnya mengatakan bahwa hambatan ( barier) bisa diterapkan melalui kebijakan fiskal yang mampu memberikan insentif bagi industri film nasional untuk berkembang atau meningkatkan kualitas sumber daya manusianya.
"Sebuah industri juga tidak sehat jika terus dilindungi, tetapi juga jangan dibiarkan bersaing ketika memang belum mampu," tegasnya. Hal senada diungkapkan Dirjen Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian, Euis Saedah. Euis berpendapat, kehadiran bioskop asing yang akan disertai dengan makin banjirnya film-film asing dapat mengganggu industri kreatif di dalam negeri terutama dalam hal penyerapan kandungan lokal.
Sementara itu, praktisi pendidikan sekaligus budayawan, Gotot Prakoso, berharap pemerintah tak hanya melihat film dari sisi penguasaan teknologi saja. "Karena hal itu akan membuat kita hanya sebagai pekerja film, bukan pembuat film," ujarnya.
Dekan Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (IKJ) itu melihat Film bukan sekedar tontonan yang menghibur, melainkan "bisa menghadirkan aneka budaya yang menjadi karakter khas negara karena film bukan hanya menampilkan gerak dan suara secara terpisah melainkan menjadi satu kesatuan," ujarnya.
Hadirnya bioskop asing pun, masih menurut dia, sepintas memang tidak akan membawa pengaruh apa pun. Namun dalam jangka panjang bisa menjadi `virus' bagi negeri ini, terutama jika industri di negeri ini belum siap bersaing di kancah global.
"Pemerintah harus segera membenahi kondisi perfilman nasional agar bisa bersaing dengan pihak asing," ungkap Gotot. Pria keturunan India berusia 72 tahun yang turut membidani lahirnya film 'Tjoet Nyak Dien' ini disebut-sebut lebih nasionalis dari pribumi sekalipun. Menurut Gotot, sejatinya kualitas sumberdaya manusia di negeri ini tak kalah dibanding negara lain.
Sebagai contoh, di sektor perfiman, banyak alumni IKJ yang berkarya di Holywood. "Ini adalah bukti bahwa sineas Indonesia tak kalah dibanding Amerika sekalipun," ungkapnya. Ia berharap, pemerintah bisa mengembangkan pendidikan film hingga ke daerah-daerah dengan aneka budaya yang ada, agar mereka bisa mendokumentasikan budaya lokal.
Sementara itu salah satu toko film nasional, Rahim Latief, melihat film nasional belum bisa dikategorikan sebagai industri. Karena pemerintah selain era Soekarno tidak ada yang serius membenahi dan mengembangkan perfilman nasional, katanya. Rahim Latief menganggap bangkitnya produksi film nasional belakangan ini bukan karena peran pemerintah.
Dengan kondisi seperti itu, bisa jadi sektor perfilman sangat terbuka sebagai pintu masuk budaya asing. Terutama jika pemodal asing bisa "melenggang kangkung" membuka bioskop di Indonesia. Tidak hanya budaya asing yang mereka bawa, tapi juga kapitalisme yang akan mengungkung negeri ini secara ekonomi.
Lantas, kapan kita bisa bisa bangkit dari cengkeraman produk impor? Jawabannya adalah bila kita sudah mau memakai produk bangsa sendiri melebih gengsi atau ingin dilihat oleh orang lain sebagai orang kaya karena memakai produk bangsa lain.
No comments:
Post a Comment