Sunday, August 5, 2012

Polemik Upah Yang Layak Bagi Tenaga Kerja


Berbagai polemik pengupahan yang memicu ketegangan hubungan industrial lebih banyak dipicu ketidakhadiran negara dalam menyejahterakan rakyat. Pemerintah semestinya mendudukkan soal upah minimum dan kebutuhan hidup layak dengan adil kepada pekerja dan pengusaha.

Demikian benang merah diskusi panel Speak Up bertajuk "Gonjang-Ganjing seputar Kebutuhan Hidup Layak" yang diselenggarakan Apindo Training Centre (ATC) di Jakarta, Jumat (3/8/2012).

Diskusi yang dibuka Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi itu menghadirkan pembicara Muhammad Aditya Warman (ATC), Myra Maria Hanartani (Ketua Dewan Pengupahan Nasional), Hariyadi B Sukamdani (Apindo), Prof Budi Sutjipto (Universitas Indonesia), Muhammad Rusdi (Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia), dan Lukman Baso (Federasi Serikat Pekerja Nasional).

Sofjan menegaskan, pemerintah perlu menetapkan upah berdasarkan klasifikasi perusahaan. Dia resah, masalah upah minimum selalu muncul tiap akhir tahun yang diiringi unjuk rasa yang mengganggu proses produksi dan iklim hubungan industrial.

"Perusahaan besar membayar besar dan perusahaan kecil membayar kecil. Jadi tidak lagi sama rata," kata Sofjan. 

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar telah menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13/2012 menggantikan komponen acuan dan pelaksanaan tahapan Kebutuhan Hidup Layak.

Pemerintah menambah jumlah komponen acuan Kebutuhan Hidup Layak dari 46 komponen sesuai Peraturan Mennakertrans Nomor 17/2005 menjadi 60 komponen dalam aturan baru.

Keputusan pemerintah ini mengejutkan kalangan pengusaha karena hasil survei lapangan Dewan Pengupahan Nasional merekomendasikan 4 komponen baru. KSPI pun menggalang unjuk rasa masif pada 12 Juli 2012 menolak putusan pemerintah dan menuntut komponen acuan survei KHL ditambah 86-120 butir lagi.

"Kami berunjuk rasa menuntut penghapusan pekerja alih daya (outsourcing ataupun crowdsourcing) dan upah murah karena  buruh di Cilacap Selatan menerima upah Rp 720.000 per bulan atau lebih rendah dari upah minimum Jateng yang Rp 900.000. Ini akibat kelalaian pemerintah menyejahterakan rakyat sehingga masih banyak pekerja dengan masa kerja lebih dari setahun dan berkeluarga masih menerima upah minimum," ujar Rusdi.

Rusdi menegaskan, KSPI tidak anti pengusaha dan investor. Mereka hanya ingin memperjuangkan upah layak bagi pekerja. Menurut Lukman, polemik upah minimum dan KHL muncul akibat ada kata layak dalam penetapan upah minimum.

Perjuangan serikat pekerja seharusnya menjamin kesinambungan pekerjaan dan menyejahterakan pekerja dengan masa kerja lebih dari setahun.

"Masalah selalu muncul karena ada dikotomi kata layak dan upah minimum. Distorsi ini merugikan pekerja yang telah bekerja lebih setahun," ujar Lukman.

Adapun Hariyadi mengungkapkan, semua pihak ingin hidup sejahtera. Baik pekerja maupun pengusaha. Dia meminta serikat pekerja mengedepankan musyawarah bukan unjuk rasa. Menurut Hariyadi, perundingan untuk mencapai titik persamaan jangan sampai merusak iklim investasi.

"Saya kaget saat rapat upah minimum Banten, ada pengunjuk rasa masuk ke ruang rapat Mennakertrans di mana saat itu juga ada Kepala Polda Metro Jaya. Makanya begitu menandatangani kesepakatan rapat, saya langsung keluar," ujar Hariyadi.

No comments:

Post a Comment