Tuesday, August 7, 2012

Seluruh Gula Di Batam Diduga Keras Hasil Selundupan


Seluruh gula yang beredar di Batam, Kepulauan Riau, saat ini diduga keras hasil selundupan. Sebab, seluruh cadangan gula yang masuk dari jalur resmi sudah habis.

Direktur Pelayanan Terpadu Satu Pintu Badan Pengusahaan (BP) Batam Dwi Djoko Wiwoho mengatakan, seluruh barang yang masuk Batam harus mendapat izin dari BP Batam. Untuk gula, izin dapat diterbitkan dengan dua cara.

"Dinas Perdagangan dapat mengusulkan untuk memasukkan gula. Tetapi, setahun terakhir tidak ada usulan," ujarnya, Rabu (8/8/2012) di Batam. Gula juga dapat masuk bila ada izin dan kuota impor dari Kementerian Perdagangan.

Selanjutnya, BP Batam akan mengatur teknisnya. Namun, izin terakhir diterbitkan pada September 2011. Dari kuota 9.000 ton, dimasukkan 11.250 ton.

Dengan kebutuhan rata-rata 2.000 ton per bulan, seluruh gula itu habis pada Maret 2012. Anehnya, sampai saat ini gula terus beredar di Batam. Bahkan, sejumlah pedagang mengaku mereka hanya menyediakan gula impor. Gula lokal sudah lebih enam bulan tidak masuk Batam.

Masuknya gula selundupan dari Malaysia di sejumlah titik perbatasan merugikan petani tebu. Pasokan gula selundupan membuat harga lelang gula terus bergerak menurun. Petani meminta pemerintah bertindak tegas menangani kasus tersebut.

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) M Nur Khabsin di Jakarta, Selasa (29/5), mengatakan, gula selundupan memengaruhi harga lelang gula. Tanggal 17 Mei lalu, harga lelang gula masih bertengger di level Rp 10.700 per kilogram. Pada 24 Mei, harga lelang sudah turun ke level Rp 10.200 per kg. ”Terakhir, posisi kemarin tanggal 28 Mei, harga lelang di Jawa Timur turun menjadi Rp 10.150 per kg,” katanya.

Dia mengatakan, gula selundupan asal Malaysia masuk melalui empat titik, yakni Aceh, Dumai, Entikong, dan Nunukan. Praktik tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama. Namun, pemerintah tidak tegas menanganinya sehingga praktik tersebut tetap berlangsung hingga sekarang. Masuknya gula selundupan tersebut membuat gula dari petani sulit masuk ke kawasan Kalimantan dan Sumatera bagian utara.

”Gula kita sulit masuk karena pedagang sudah mendapatkan pasokan dengan harga lebih murah. Akibatnya, harga lelang jatuh. Jika terus dibiarkan, petani akan semakin terpuruk. Kami minta pemerintah bertindak tegas karena sejak awal Mei kami sedang giling,” paparnya.

Harga gula selundupan berkisar Rp 6.000-Rp 7.000 per kg, sementara harga dari pabrik gula (PG) Rp 12.000 per kg.

”Harga gula dari Malaysia lebih murah karena pemerintah di sana menerapkan politik dumping. Mereka bisa melakukannya karena ongkos produksi di sana jauh lebih murah,” ujarnya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) Kalimantan Barat Syarif Usman Jafar Almuthahar mengatakan, sekitar 5.000 ton dari 6.000 ton kebutuhan gula pasir di Kalimantan Barat dipenuhi gula ilegal asal Malaysia.

Di Malang, sejumlah perwakilan petani yang memasok tebu ke pabrik gula Krebet di Kabupaten Malang setuju menaikkan kualitas tebu mereka. Namun, mereka menuntut pihak pabrik gula transparan dalam menetapkan analisis rendemen individu.

”Tetapi, kami juga minta komitmen pihak PG untuk meningkatkan rendemen sehingga pendapatan petani bisa meningkat,” kata Sekretaris Koperasi Unit Desa Gondanglegi Ismail Yasin.

No comments:

Post a Comment