Badan Standardisasi Nasional memperkirakan 90 persen mainan anak-anak yang beredar di masyarakat belum teruji keamananannya. Banyaknya pintu masuk impor dan belum adanya regulasi yang mengatur standardisasi mainan anak menjadi faktor lemahnya pengawasan.
"Pelabuhan di Indonesia ini banyak sekali," kata Deputi Bidang Informasi dan Pemasyarakat Standardisasi BSN Dewi Odjar Ratna Komala di sela sosialiasi standarisasi mainan anak di Yogyakarta, Selasa, 17 Desember 2013.
Menurut dia, ada lima aspek standar bagi keamanan dan keselamatan mainan anak. Antara lain, aspek keamanan yang berhubungan dengan sifat fisik dan mekanis, mudah terbakar, migrasi unsur tertentu, dan ayunan. Keempatnya sesuai dengan SNI ISO 8124 1-4: 2010 tentang keamanan mainan. Adapun satu aspek lagi sesuai dengan SNI IEC 62115: 2011 tentang keamanan mainan elektrik.
Penerapan standar itu untuk mengurangi risiko dan mencegah bahaya akibat mainan anak. Misalnya, tersedak, tersetrum, tergores, terjatuh, terbakar, hingga terpapar zat kimia. "Mulai Mei 2014 nanti standar ini wajib dipenuhi produsen mainan," kata dia.
Indonesia bisa dibilang terlambat menerapkan aturan tentang standardisasi mainan anak. Ia mengatakan standardisasi nasional telah ada sejak 1997. Sejak keran perdagangan pasar bebas dibuka tahun 2010, Indonesia pun menjadi sasaran empuk produk mainan impor, khususnya asal Cina. Produk mainan asal negeri itu, kata dia, disebut menguasai hampir 90 persen pasar Indonesia. "Tapi isu (standardisasi mainan anak) baru mengemuka akhir-akhir ini," katanya.
Ia mengatakan penerapan standar itu berlaku untuk produsen dalam dan luar negeri, baik produk impor maupun lokal. Penerapan standardisasi itu, kata dia, diharapkan mampu melindungi keamanan dan keselamatan anak-anak saat bermain. Misalnya, tingkat ketajaman mainan bisa diatur sehingga tak membahayakan tubuh anak. "Mainan anak tidak boleh tajam," katanya.
Agus Wijaya, 48 tahun, seorang pedagang mainan anak di kawasan Jalan Panembahan Mangkurat Yogyakarta, mengatakan 90 persen lebih mainan yang dijualnya memang berasal dari Cina. Barang-barang itu didatangkan dari sebuah distributor mainan di Solo dan Semarang. Di tokonya, Pelangi Toys, mainan anak asal Cina cenderung lebih laku dibanding produk dalam negeri.
Harganya yang rata-rata lebih murah 25 persen serta kualitasnya yang lebih baik membuat konsumen lebih memilih produk Cina dibanding dalam negeri. "Kalau buatan Cina warna lebih terang," katanya.
Ia mengatakan sudah delapan tahun ini berjualan mainan anak. Selain membuka toko di Jalan Panembahan Mangkurat, ia juga memiliki toko di Sonosewu, Bantul. Selama berdagang mainan anak, kata dia, belum sekalipun dia menerima komplain dari konsumen tentang keamanan dan keselamatan barang yang dijualnya.
No comments:
Post a Comment