Paket Bali, produk negosiasi panjang dan alot Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-9 WTO), pada 3-6 Desember 2013 di Nusa Dua, Bali, akhirnya disepakati setelah rangkaian sidang diperpanjang sehari.
Paket Bali yang disambut gembira sebagian besar delegasi itu berisikan tiga poin utama yaitu tentang fasilitas perdagangan, pertanian, dan peningkatan kapasitas negara miskin alias least developed countries (LDC), berhasil disepakati.
"Kami berhasil," kata Ketua KTM ke-9 WTO, Gita Wirjawan, yang juga menteri perdagangan Indonesia, saat menyampaikan pidato penutupan kegiatan itu, Sabtu (7/12). Konferensi itu dihadiri delegasi dari 159 negara.
Pembahasan membuahkan Paket Bali dalam konferensi yang dibuka Presiden Susilo Yudhoyono itu sempat terkendala sikap India yang tidak setuju dan bersikeras stok keamanan pangan harus sebesar 15 persen dari produk keluaran nasional dengan durasi waktu subsidi tidak terbatas.
Negara maju, di antaranya Amerika Serikat sebelumnya menyetujui angka 15 persen itu, tapi subsidi hanya berlaku selama empat tahun.
Akhirnya terkait stok publik untuk ketahanan pangan anggota WTO menyepakati bahwa dalam empat tahun lagi atau di KTM ke-11 harus sudah disepakati solusi permanen terkait stok pangan. Kesepakatan ini merupakan sejarah baru dalam pembahasan membentuk sistem perdagangan global melalui WTO.
Solusi permanen akan ditetapkan untuk negara berkembang saja. Selama belum tercapai solusi permanen, negara berkembang boleh menumpuk stok pangan untuk ketahanan pangan negaranya lebih dari 10 persen.
Negara berkembang itu harus menotifikasi besaran subsidi mereka kepada komite pertanian dan melaporkan sejumlah data antara lain terkait harga penjualan dan stok akhir. Selama masa interim tersebut, setiap anggota yang tergabung dalam WTO harus menahan diri tidak membawa aduan dalam penyelesaian sengketa WTO.
Namun setelah India melunak, empat negara sempat menolak naskah rancangan Paket Bali yang berisi 10 proposal itu. Keempat negara itu adalah Kuba, Bolivia, Venezuela, dan Nikaragua. Menurut juru bicara WTO, Keith Rockwell, salah satu yang menjadi masalah penolakan keempat negara atas rancangan naskah Paket Bali, embargo yang tidak kunjung ditindaklanjuti WTO sejak pertemuan Hong Kong pada 2005.
Paket Bali
Pertemuan di Bali tahun ini kelanjutan dari pertemuan sebelumnya, yang antara lain untuk menyelesaikan pembicaraan liberalisasi perdagangan multilateral yang tercakup dalam Putaran Doha. Putaran ini sendiri mengadopsi metode perundingan yang disebut single undertaking alias tak ada yang disetujui jika tidak semuanya menyetujui.
Artinya, jika ada satu negara saja yang tidak setuju atas suatu pembahasan, maka itu berarti tidak ada persetujuan dalam pembicaraan itu. Putaran Doha atau Putaran Pembangunan Doha merupakan deklarasi yang dihasilkan dalam KTM ke-4 di Doha, Qatar, pada 9-13 November 2011. Putaran Doha itu sebenarnya putaran baru dalam nama lain, ebagai jalan tengah atas perbedaan yang muncul di sejumlah anggota WTO.
Putaran Doha merupakan putaran kesembilan negosiasi perdagangan yang diluncurkan sejak sistem perdagangan multilateral terbentuk pada 1947. Delapan putaran sebelumnya diluncurkan di bawah payung General Agreement on Tariffs and Trades(GATT) atau Kesepakatan Umum tentang Tarif dan Perdagangan, yang kemudian berganti nama menjadi WTO sejak 1995.
Berbeda dengan Putaran Doha yang berambisi menyelesaikan 19 poin isu runding, maka Paket Bali hanya memiliki tiga isu runding. Dalam Fasilitas Perdagangan dibagi dalam dua bagian besar, yakni memuat langkah-langkah atau komitmen mengikat memperlancar arus ekspor, impor, dan barang dalam proses transit; serta memuat ketentuan bagi negara berkembang dan LDC.
Hal ini di antaranya melingkupi kategori komitmen, mekanisme peringatan dini, perpindahan komitmen antar-kategori, waktu tenggang untuk hal-hal yang dipermasalahkan alias dispute settlement, dan pemberian bantuan teknis.
Sementara dalam Paket Pertanian dibagi dalam dua bagian yaitu Proposal G20 yang minta agar administrasi kuota besaran taris (tariff rate quota) agar lebih transparan, dan disiplin atas kompetisi ekspor. Selain itu, yang menjadi kunci bagi Paket Bali juga tercantum dalam Paket Pertanian adalah proposal negara-negara kelompok G33 yang dipimpin Indonesia, terkait stok pangan publik untuk keamanan pangan agar dibebaskan dari disiplin subsidi di WTO.
Terkait LDC, dibagi dalam dua kelompok, yaitu S&D treatment yang pada intinya akan mengefektifan penerapannya dalam sistem perdagangan dan Paket LDC Bali yang meliputi duty free quota free,streamlined rules of origin, service waiver, dan kapas.
Dengan posisi setiap kubu yang tetap tak beranjak dari tempatnya seperti itu, Paket Bali yang berisi 10 proposal pokok perundingan terancam tak bisa disepakati. Padahal, sudah ada enam proposal yang sudah mencapai titik temu di Jenewa, khususnya terkait kepentingan negara-negara miskin (LDC) dan tinggal menunggu pengesahan di Bali.
Sikap Indonesia
Indonesia sebagai tuan rumah berusaha sekuat tenaga menghasilkan sekaligus mengegolkan Paket Bali itu dan memecahkan kebuntuan Putaran Doha yang mandek kurang lebih selama 12 tahun tersebut. Wirjawan bahkan menyatakan, Indonesia akan mengambil sikap lebih fleksibel terkait negosiasi Paket Bali,khususnya dalam Paket Pertanian yang dalam pembahasannya terasa berat diselesaikan.
"Posisi Indonesia untuk Paket Bali ini memerlukan fleksibilitas dalam batas kewajaran," katanya. Sikap Indonesia dalam WTO adalah tetap berkomitmen dalam WTO dan mengikuti liberalisasi perdagangan secara konsisten dan unilateral.
Sementara kritik dari dalam negeri juga masih terus bermunculan atas keterlibatan Indonesia dalam organisasi perdagangan global itu di tengah kenyataan bahwa daya saing dalam negeri Indonesia masih kurang atas sejumlah masalah yang disepakati.
Para negara anggota World Trade Organization (WTO) akhirnya mencapai kesepakatan di Bali dengan mengeluarkan Paket Bali di Konferensi Tingkat Menteri (KTM-WTO) ke-9, di Nusa Dua, Bali, Sabtu (7/12).
Siaran pers Kementerian Perdagangan yang diterima ANTARA News, Minggu, menyebutkan setelah melalui proses dan konsultasi selama empat hari, para delegasi berhasil menyatukan suara untuk menghasilkan kesepakatan pertama dalam sejarah WTO. Ini juga merupakan pertama kalinya dalam Putaran Doha tercapai sebuah kesepakatan.
“Ini merupakan peristiwa bersejarah dan tentunya akan membangkitkan kembali kepercayaan dunia terhadap sistem perdagangan multilateral,” ujar Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan, yang juga berperan sebagai chair dalam pertemuan KTM-WTO ke-9 ini.
Paket Bali ini merupakan upaya untuk menyukseskan Agenda Pembangunan Doha yang telah dimulai pada tahun 2001, dan hingga kini belum selesai. Dengan kesepakatan Paket Bali ini, para negara anggota WTO akan lebih yakin untuk dapat menyelesaikan Putaran Doha ke depannya.
“Selamat kepada Anda semua yang telah menjaga Agenda Pembangunan Doha tetap hidup, dan memberi kami semua energi dan keyakinan baru untuk menyelesaikan Putaran Doha,” ujar Mendag Gita Wirjawan di hadapan para delegasi pada saat sesi penutupan KTM-WTO ke-9.
Walaupun kesepakatan tercapai, tugas para negara anggota ke depannya masih panjang untuk bisa menyelesaikan ketentuan-ketentuan yang tercantum di Putaran Doha.
“Ini adalah pencapaian bersejarah. Kita telah melewati garis akhir di Bali, tetapi perjuangan belum berakhir, kita harus menyelesaikan Putaran Doha,” ungkap Mendag.
Paket Bali yang disepakati fokus mencakup sepuluh poin pembahasan yang meliputi isu fasilitasi perdagangan, general services untuk pertanian, public stockholding untuk ketahanan pangan, Tariff Rate Quota untuk produk pertanian, persaingan ekspor, perdagangan kapas, ketentuan asal barang, perlakuan khusus terhadap penyedia jasa dari negara kurang berkembang, Duty-Free and Quota-Free (DFQF) untuk negara kurang berkembang, dan mekanisme pengawasan Special and Differential Treatment terhadap negara kurang berkembang.
“Masyarakat dunia akan mendapatkan manfaat dari paket ini, dari komunitas bisnis, mereka yang mencari pekerjaan, masyarakat miskin, mereka yang bergantung pada skema ketahanan pangan, petani negara berkembang, petani kapas negara berkembang, dan perekonomian negara kurang berkembang secara keseleruhan,” ujar Direktur Jendral WTO, Roberto Azevedo.
Kesepakatan di Bali ini merupakan langkah besar yang positif bagi sistem perdagangan multilateral, yang belakangan ini mulai terkikis oleh inisiatif kerjasama bilateral dan regional yang dilakukan negara-negara.
Meskipun menganut prinsip single undertaking dimana suatu keputusan harus disepakati oleh seluruh anggota, tanpa terkecuali, WTO dengan 159 negara anggotanya terbukti dapat mencapai konsensus.
No comments:
Post a Comment