Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetyantono, berpendapat Bank Mutiara sulit dijual seharga penyelamatannya, Rp 6,7 triliun. Meski sudah ada tambahan injeksi modal Rp 1,5 triliun. "Sesudah diinjeksi, bisa jadi harganya naik, tapi LPS sudah memodalinya hingga Rp 8,2 triliun," kata Tony kepada Tempo, Senin, 23 Desember 2013. "Sekarang jadi semakin sulit saja LPS menjualnya."
Lembaga Penjamin Simpanan akan kembali menawarkan Bank Mutiara kepada publik, 2014 nanti. Sesuai Undang-Undang LPS, bekas Bank Century itu bisa dilepas dengan harga tertinggi. Dengan syarat, jika selama lima tahun sejak diselamatkan, bank itu tak juga laku senilai harga penyelamatannya, Rp 6,7 triliun. Masa lima tahun itu telah berakhir pada 21 November 2013.
Meski begitu, banyak yang beranggapan pelepasan Bank Mutiara di bawah harga penyelamatannya akan memunculkan persoalan baru. Apalagi LPS bakal kembali menyuntikkan modal sebesar Rp 1,5 triliun ke bank itu, Senin ini.
Tony memperkirakan harga jual Bank Mutiara, sebelum mendapat injeksi modal tambahan, sebesar Rp 3 triliun. Sedangkan setelah diinjeksi menjadi Rp 4 triliun. "Ini berasal dari book value Rp 1 triliun dikalikan PBV (price to book value)," kata dia.
Ia menyarankan LPS mengupayakan penundaan atas penjualan Bank Mutiara hingga kinerja bank itu membaik. "Minimal tiga tahun," ucapnya.
Ditanya soal opsi pembelian oleh bank BUMN seharga Rp 8,2 triliun atau setidaknya Rp 6,7 triliun, Tony menganggap opsi itu tak masuk akal. "Itu tidak profesional. Sama saja laba bank BUMN yang beli rugi," kata dia. Tony yakin, direksi yang rasional dan profesional pasti menolak. Bahkan, menurut dia, nilai jual Rp 4 triliun sudah tergolong tinggi. "Laba BTN, sebagai ilustrasi, kurang dari Rp 2 triliun," katanya.
Ketua Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan, Robertus Bilitea, mengungkapkan hari ini pihaknya menyetujui penambahan modal Bank Mutiara. “Sehingga sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia dapat dipastikan CAR (rasio kecukupan modal) Bank Mutiara di atas 14 persen,” ujarnya, Jumat, 20 Desember 2013.
Dengan begitu, rasio kecukupan modal Bank Mutiara tersebut kini sesuai dengan ketentuan Internal Capital Adequacy Assesment Process (ICAAP) dalam kaitan Basel III. Prosesgovernance telah dilalui oleh LPS sebagai pemegang saham dengan baik.
Sebelumnya, berdasar informasi yang diterima Tempo, beredar kabar CAR Bank Mutiara anjlok ke bawah level minimal 8 persen. Mengacu pada laporan keuangan bulanan bank tersebut per Oktober yang dilansir dalam website Bank Indonesia, CAR masih berada pada posisi 11,96 persen. Bank tersebut juga tercatat membukukan laba untuk tahun berjalan sebesar Rp 41,613 miliar.
Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas, Destry Damayanti, menyatakan penurunan rasio kecukupan modal Bank Mutiara adalah kasus khusus. “Soalnya kondisi perbankan secara umum masih sangat baik,” ujarnya kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Destry mengutip data Bank Indonesia, per September, kredit seret (non-performing loan/NPL) perbankan terjaga pada level 1,86 persen, didukung oleh rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) sebesar 18 persen, jauh di atas ketentuan minimum, yakni 8 persen.
Bagaimanapun, Destry melanjutkan, kondisi tersebut tak bisa disamaratakan. Sebab, jumlah bank di Indonesia mencapai sekitar 120 unit. Dari jumlah tersebut, 10 bank terbesar menguasai 67 persen pangsa pasar perbankan. “Artinya, 110 bank lain, mungkin termasuk Bank Mutiara, berebut kue yang hanya 33 persen itu,” ucapnya.
No comments:
Post a Comment