Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri mengatakan Indonesia belum tergolong sebagainegara yang masuk ke dalam jebakan kelas menengah.“Peluang terhindar dari middle income trap masih cukup besar," katanya dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 12 Desember 2013.
Indonesia pada saat ini berada dalam status sebagai negara kelas menengah dengan pendapatan per kapita sekitar US$ 5.170. Masuknya Indonesia di kategori negara berpendapatan menengah sebetulnya sudah terjadi awal tahun 1990-an.
Nah, jika merujuk pada standar internasional, maka durasi waktu suatu negara bisa dikatakan terperangkap dalam jebakan kelas menengah sekitar 42 tahun. Chatib menjelaskan jebakan kelas menengah adalah kondisi perkembangan ekonomi negara yang sudah berhasil masuk ke kelompok negara berpendapatan menengah, tetapi kemudian mengalami stagnasi dalam jangka waktu cukup lama. “Dan tidak berhasil naik ke dalam kelompok negara berpendapatan tinggi,” tuturnya.
Lebih jauh, Chatib menjelaskan bahwa negara-negara berkembang berisiko terperangkap dalam jebakan kelas menengah di tengah ketidakpastian dan perlambatan ekonomi global saat ini. Salah satu implikasi yang dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah terjadinya peningkatan potensi risiko untuk masuk ke dalam perangkap negara kelas menengah. Fenomena ini banyak dijumpai di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan suatu negara tidak bisa keluar dari jebakan middle income trap jika tidak mampu bersaing dengan negara lain dari segi inovasi dan teknologi. “Middle income trap menjadi ancaman, apakah kita bisa keluar dari jebakan itu? Saat ini ekpor kita saja terus mengandalkan bahan mentah,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Menurut Bambang, ide hilirisasi yang dicanangkan pemerintah yang akan berlaku pada 2014 merupakan salah satu upaya untuk lolos dari jebakan middle income trap. “Meskipun itu kontroversial, itu ide untuk masa depan,” kata Bambang.
Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri, mengungkapkan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk naik kelas ke kelompok negara berpendapatan tinggi. Alasannya, Indonesia mempunyai potensi ekonomi sangat besar baik berupa kekayaan alam maupun jumlah penduduk yang besar mencapai 250 juta orang.
Bahkan, secara demografii struktur penduduk di Indonesia didominasi oleh kelompok produktif yang sangat menguntungkan bagi perekonomian nasional. “Fenomena ini dikenal sebagai bonus demografi. Selain itu, kinerja ekonomi makro kita cukup baik," kata Chatib saat ditemui seusai acara Seminar Internasional bertajuk 'Middle Income Trap' di Hotel Grand Hyatt Nusa Dua, Bali, Kamis, 12 Desember 2013.
Namun demikian, dia mengatakan, tidak mudah untuk melakukan lompatan dari kelompok kelas menengah kepada kelompok berpenghasilan tinggi. Studi Bank Dunia menunjukkan negara yang terperangkap ke dalam jebakan kelas menengah jauh lebih banyak dibandingkan negara yang mampu naik kelas menjadi negara berpenghasilan tinggi.
Chatib menjelaskan, ada sejumlah strategi yang perlu dilakukan agar Indonesia bisa naik kelas ke kelompok negara berpendapatan tinggi. Salah satunya, adalah pertumbuhan ekonomi harus bersifat berkelanjutan sekaligus inklusif.
Pertumbuhan yang berkelanjutan, menurut dia, harus didukung dengan meningkatnya produktifitas yang ditunjang oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam yang baik untuk penciptaan nilai tambah tinggi di dalam negeri. “Selain itu pengembangan teknologi dan inovasi serta tentunya dengan tetap menjaga stabilitas ekonomi," kata Chatib.
Untuk menaikkan kelas ekonomi Indonesia ke kelompok negara berpendapatan tinggi, menurut dia, harus ada proses transformasi industrialisasi secara gradual ke arah industri berbasis nilai tambah tinggi. Sementara itu, pertumbuhan yang inklusif diarahkan agar kemajuan ekonomi haruslah juga dinikmati oleh kelompok masyarakat berpendapatan rendah sehingga mampu mengatasi persoalan ketimpangan pendapatan.
Chatib mengatakan, beberapa tantangan juga harus dihadapi Indonesia untuk bisa melompat menjadi negara berpenghasilan tinggi. Secara eksternal, tantangan tersebut adalah ketidakpastian global dan tingginya volatilitas harga minyak.
Sedangkan, dari sisi domestik tantangan yang dihadapi adalah perlambatan produktivitas ekonomi, tren penurunan produksi minyak, masih tingginya angka kemiskinan, dan pengangguran serta adanya peningkatan inequality.
No comments:
Post a Comment