Batu bara akan menggantikan minyak sebagai bahan bakar utama perekonomian global pada 2020, meski pemerintah berupaya mengurangi emisi karbon. Hal tersebut disampaikan firma konsultasi Wood Mackenzie, seperti dilansir situs Reuters, Senin, 14 Oktober 2013.
Peningkatan permintaan di Cina dan India membuat kebutuhan akan batu bara melebihi minyak. Pembangkit tenaga di kedua negara Asia itu nantinya bergantung pada sumber bahan bakar yang lebih murah untuk perekonomian mereka. Adapun kebutuhan atas batu bara di Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara Asia lainnya akan tetap stabil.
Konsumsi batu bara global diprediksi naik 25 persen pada akhir dekade ini, menjadi setara dengan 4.500 juta ton minyak. Jumlah itu lebih tinggi 4.400 juta ton dari angka konsumsi minyak. Woodmac mempresentasikan kondisi tersebut dalam Kongres Energi Dunia atau World Energy Congress.
"Kebutuhan Cina terhadap batu bara memicu pertumbuhan batu bara menjadi bahan bakar global yang dominan," kata Presiden Pasar Global Woodmac, William Durbin. Cina - yang telah menjadi konsumen besar - diperkirakan berkontribusi terhadap dua per tiga penggunaan batu bara global dalam dekade ini. Menurut Woodmac, separuh pembangkit energi yang dibangun Cina pada 2012 hingga 2020 menggunakan batu bara sebagai bahan bakar.
Cina tidak memiliki alternatif lain untuk menggantikan batu bara. Hasil produksi gas negara itu masih terbatas. Selain itu, impor gas alam cair atau "liquefied natural gas" (LNG) lebih mahal daripada biaya yang harus disiapkan untuk batu bara.
"Bahan bakar terbarukan tidak bisa menyediakan energi untuk kebutuhan utama. Oleh karena itu, batu bara menjadi satu-satunya energi utama," ujar Durbin. PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memprediksi penyerapan batu bara oleh pembangkittak akan mencapai target. Hingga akhir tahun, konsumsi batu bara diperkirakan hanya mencapai 60 juta ton dari target 66 juta ton.
"Sampai akhir tahun konsumsi batu bara hanya sebesar 90 persen dari target," kata Kepala Divisi Batu Bara PLN, Helmi Najamuddin, saat ditemui usai coffee morning perayaan Hari Listrik Nasional di Kantor Pusat PLN, Senin, 28 Oktober 2013.
Tak optimalnya penyerapan batu bara untuk pembangkit ini disebabkan terlambatnya pengerjaan sejumlah proyek pembangkit dalam program percepatan 10 ribu megawatt (MW) tahap pertama (fast track programme/FTP). "Memang ada beberapa PLTU FTP maupun non-FTP yang telat," ujarnya.
Selain itu, rendahnya konsumsi batu bara pembangkit akibat produksi listrik dari pembangkit listrik tenaga air yang berlimpah. "Batu bara kan lebih mahal dari air sehingga konsumsi batu bara dikurangi. Namun, penyebab ini tidak signifikan," ujarnya.
Tidak optimalnya realisasi konsumsi batu bara tersebut juga terlihat dari realisasi penyerapan sepanjang Januari hingga September 2013 yang hanya sebesar 45,2 juta ton. Penyerapan tersebut hanya mencapai 89,8 persen dari target hingga kuartal tiga sebesar 50,3 juta ton.
Konsumsi batu bara tersebut mengalami peningkatan hampir sebesar 10 persen dari realisasi konsumsi pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 31,9 juta ton. Helmi menjelaskan, peningkatan tersebut akibat mulai beroperasinya sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). "PLTU Nagan Raya, PLTU Teluk Sirih, PLTU di Pelabuhan Ratu, dan PLTU Pacitan," ujarnya.
Kendati penyerapan batu bara tak optimal, PLN menargetkan konsumsi batu bara pada tahun depan bisa mencapai 76,6 juta ton. Dari target tersebut, konsumsi pembangkit swasta hanya sebesar 19 juta ton, sementara sisanya dikonsumsi oleh pembangkit-pembangkit PLN.
No comments:
Post a Comment