Analis dari Bank Saudara, Rully Nova, menyatakan penarikan stimulus moneter (tapering off) Amerika Serikat menjadi sentimen negatif utama yang menekan nilai tukar rupiah dan mata uang global lainnya. Setelah tapering off dilakukan, nilai tukar rupiah kemungkinan terus anjlok menembus level 12.500 per dolar Amerika. "Tren pelemahan rupiah cenderung didorong oleh sentimen tapering,” kata Rully kepada Tempo.
Pada 18 Desember 2013 waktu setempat, The Federal Reserve akhirnya memutuskan untuk mengurangi stimulus moneter melalui pembelian obligasi mulai Januari 2014.Tapering off itu akan mereduksi pembelian obligasi bulanan, dari US$ 85 miliar menjadi US$ 75 miliar. Komite The Fed menyatakan pembelian obligasi sebesar US$ 85 miliar per bulan telah memberikan kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja. Namun, jika tidak dikurangi, mereka khawatir muncul ketergantungan.
Akibat isu ini, rupiah terus melemah. Pada perdagangan Rabu, rupiah anjlok 43 poin (0,35 persen) ke level 12.168. Menurut Rully, kecemasan terhadap likuiditas dolar di pasar global membuat sebagian investor menahannya. “Rencana taperingmembuat nilai mata uang global bergerak volatil,” ujar Rully, yang memperkirakan rupiah akan bergerak pada level 11.800-12.300 per dolar pada Kamis, 19 Desember 2013.
Sedangkan analis dari Trust Security, Reza Priyambada, mengatakan tapering off sebesar US$ 10 miliar akan terus mempengaruhi stabilitas rupiah. Aksi beli dolar yang dilakukan oleh pelaku pasar membuat laju rupiah semakin tertekan. Reza mengatakan faktor lain yang mempengaruhi pelemahan rupiah adalah depresiasi yen Jepang.
Sentimen negatif yang berkembang menjelang pertemuan Komite Ekonomi Federal (FOMC Meeting) membuat pelaku pasar memborong dolar. Di transaksi pasar uang hari ini, rupiah terdepresiasi 20 poin atau 0,17 persen ke level 12.125 per dolar Amerika. Rupiah kembali bergerak melawan arah mata uang regional yang cenderung menguat terhadap dolar Amerika.
Analis pasar uang dari PT Harvest International Futures, Tonny Mariano, mengatakan pelaku pasar memburu dolar menjelang pertemuan FOMC Meeting yang akan dimulai Rabu, 17 Desember, waktu Amerika Serikat. "Pertemuan itu diyakini bakal memutuskan untuk mengurangi pengucuran stimulus moneter (tapering) mulai akhir tahun."
Membaiknya data-data perekonomian di Amerika masih menjadi faktor utama yang melatarbelakangi pentingnya pemangkasan stimulus senilai US$ 85 miliar dolar per bulan. Namun, belum turunnya angka pengangguran ke level 6,5 persen membuat tapering masih teka-teki. Kondisi ini kemudian menimbulkan reaksi pasar untuk cenderung mencari aman dengan memburu dolar.
Menurut Tonny, pergerakan rupiah berbeda dengan mata uang Asia lainnya. Rupiah lebih volatil dan kerap berlawanan arah dengan pergerakan mata uang lainnya, karena karakteristik investor dolar di Indonesia juga berbeda. Mereka mudah panik ketika ada sentimen negatif, sehingga kerap mengambil posisi spekulatif. "Aksi tersebut kemudian menyebabkan likuiditas dolar kering dan ujung-ujungnya nilai tukar rupiah melemah."
Data-data ekonomi dalam negeri yang memburuk serta belum adanya efek kebijakan pemerintah untuk mengatasi defisit transaksi berjalan, menjadi alasan bagi mereka untuk terus memeluk dolar.
No comments:
Post a Comment