Monday, July 30, 2012

Bisnis Konsultan Pilkada Tak Kenal Rugi dan Untung Besar Meskipun Hasilnya Seringkali Tidak Tepat

Lembaga survei menjamur sejak pemilihan umum mulai digelar secara langsung, belum lagi peluang dari pemilihan kepala daerah (pilkada). Di Indonesia, setiap tahun, 100 daerah menggelar pemilihan langsung. Bisnis ini tak kenal rugi. Itu yang dialami Denny Januar Aly, pendiri Lingkaran Survei Indonesia.

Tujuh tahun setelah mendirikan Lingkaran Survei Indonesia, Denny tak lagi pusing dengan urusan materi. Lingkaran kini punya lima anak perusahaan yang menangani semua hal dalam pemenangan pemilihan umum: pembuatan dan pemasangan iklan, konsultasi, riset, dan survei.

Denny menyebut Lingkaran sebagai "supermarket pemilihan umum". Maksudnya, ia menerima dan menangani semua pesanan jasa konsultasi politik: membaca peta dukungan, pencitraan, strategi pemenangan, mobilisasi opini, hingga hitung cepat setelah pemilihan.

Denny menolak menyebutkan omzet Lingkaran. Tapi, kantornya, yang dilengkapi kafe dan meja biliar, lumayan besar di Jalan Pemuda, Jakarta Timur. Ia mengatakan setiap tahun memberangkatkan 80 karyawannya, termasuk sopir dan pesuruh, pelesir ke luar negeri. "Tahun ini, mereka ke Hong Kong," ujarnya Selasa pekan lalu.

Urusan operasional Lingkaran kini ditangani para direktur dan karyawan, yang menurut Denny, memiliki 30 persen saham perusahaan. "Sisanya, saya menulis puisi dan jalan-jalan," kata laki-laki 49 tahun ini.

Lembaga survei dan konsultan politik menjadi sorotan tajam setelah hasil putaran pertama pemilihan Gubernur Jakarta berbeda dengan prediksi mereka. Semua lembaga survei memperkirakan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli bakal memperoleh suara terbanyak pada pemilihan 11 Juli lalu. Kenyataannya, pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama meraup suara tertinggi.

Menurut Denny, bisnis survei dan konsultan politik tak kenal kata rugi karena biaya diberikan di awal. "Ini bisnis sangat likuid," ujarnya. Sebagai gambaran, ia menanamkan Rp 550 juta ketika mendirikan Lingkaran Survei. Modal itu, menurut dia, kembali hanya dengan sekali survei ketika menangani Ismeth Abdullah, yang mencalonkan diri jadi Gubernur Kepulauan Riau pada 2005.

Setelah itu, Denny mengklaim, Lingkaran kebanjiran order menangani banyak calon kepala daerah. Pemilihan presiden, gubernur, wali kota, dan bupati secara langsung sejak 2004 membawa berkah bagi lembaganya. "Kini calon gubernur atau bupati mutlak memerlukan lembaga survei untuk mengetahui popularitas mereka," katanya.

Saat ini, ada 497 kabupaten dan kota plus 33 provinsi. Setiap tahun, 100 daerah menggelar pemilihan langsung. Jika setiap daerah rata-rata punya tiga calon, ada 300 klien yang membutuhkan konsultan politik. Dalam setahun, setiap calon menggelar dua-tiga kali survei. Ongkos setiap survei Rp 100-300 juta, bergantung geografinya. Makin ke pelosok atau banyak populasinya, makin mahal.

Menurut Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group Andrinof A. Chaniago, biaya operasional paling banyak tersedot untuk wawancara ke responden. Untuk 400 responden, misalnya, dibutuhkan 20 orang pewawancara yang mesti dilatih serta diberi biaya akomodasi plus honor sekitar Rp 50 ribu per kuesioner. Seluruh biaya survei umumnya masih menyisakan 20-30 persen keuntungan.

Survei sering dijadikan senjata ampuh bagi calon kepala daerah. Fauzi Bowo, kandidat Gubernur DKI Jakarta, misalnya, sampai menggunakan dua perusahaan survei. Padahal biayanya tak murah.  Boleh jadi, karena ongkos survei cukup tinggi, banyak kandidat memilih sekali melakukan survei. Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, misalnya, mengaku menyewa lembaga survei untuk memetakan dukungan. "Soal pemenangan, menjadi tanggung jawab tim sukses," katanya.

Ilham menyewa Lembaga Survei Indonesia, yang pada 2008 masih dipimpin Saiful Mujani. Selama setahun, tim LSI menggelar survei sebanyak 3-4 kali. "Nilai totalnya tak sampai Rp 1 miliar," katanya lagi.

Bagi Ilham, duit bukan masalah selama hasil survei bisa menjadi dasar kuat mengatur strategi pemenangan. Apalagi hasil survei bisa membantu membuat perencanaan strategis mendekati pemilih. Keuntungan lain, tim pemenangan pribadi yang dibentuk juga bekerja lebih terarah dan terukur. "Yang penting, lembaga surveinya punyatrack record," kata Ilham. Ia mengaku tak menyewa konsultan politik yang mahal.

Seseorang, yang pernah menjadi calon wakil gubernur di Jawa Barat mengatakan, membutuhkan dana minimal Rp 3 miliar untuk paket lembaga survei plus konsultan. Kontrak itu biasanya dilakukan selama dua tahun, dengan termin tiga kali per enam bulan dan dua kali per tiga bulan. "Selama itu, ada 3-5 survei. Survei terakhir biasanya yang termahal karena sampelnya bertambah," ujarnya.

Untuk tarif konsultan, sekali konsultasi bisa dikenai Rp 500-800 juta untuk jenis layanan semisal strategi komunikasi plus saran untuk membuat citra si kandidat meningkat. Ongkos ini akan menjadi satu paket dari pemilihan slogan, penentuan foto, hingga warna khas yang akan diusung. 

Boleh jadi, karena besaran ongkos, pasangan Faisal Basri-Biem Benjamin dan Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini tak memakai lembaga survei dan konsultan politik. Adapun Hendardji Soepandji-Ahmad Riza Patria menggunakan sesekali jasa konsultan. Pilihannya jatuh ke Point Indonesia, dua bulan menjelang hari pemungutan suara dengan paket termurah. "Jadi hanya konsultasi, tidak sampai masuk ke penyiapan materi kampanye dan langkah kehumasan," kata Hendardji.

Hendardji juga menyewa lembaga survei pada November 2011 saja untuk mengetahui popularitasnya. Hasilnya memang kecil. Tapi, Hendardji tetap ingin maju. Karena itu, ia mengatakan, sadar betul soal kekalahannya. "Bagaimana mau menang kalau semuanya memang pas-pasan?"

No comments:

Post a Comment