"Kalau kita melihat realisasi penyerapannya dan berapa targetnya, menurut saya FLPP ini gagal," kata Eddy, ketika ditemui akhir pekan lalu. Menurut Eddy, dengan penilaian gagal tersebut, program KPR FLPP seharusnya dialihkan ke program lainnya. Dalam pandangannya, KPR FLPP dengan bunga 7,25 persen ini diubah atau dikembalikan seperti skema FLPP lama.
"Dibuat saja seperti bantuan uang muka termasuk Prasarana Sarana Umum (PSUU) agar bantuan ini langsung ke masyarakat. Dana memang jadi tidak bergulir, tapi daripada seperti sekarang kondisinya," ujarnya. Sementara itu, ditemui terpisah, Ketua Lembaga Pengkajian, Pengembangan, Perumahan dan Perkotaan Indonesia, Zulfi Syarif Koto mengatakan, kebijakan Kementerian Perumahan Rakyat tidak pro pasar sehingga mengakibatkan realisasi jauh dari target.
“Pasar itu diartikan sebagai konsumennya, pelaku pembangunannya, serta bank penyalur. Dia harus memperhatikan karakteristik konsumen, pengembang, dan bagaimana perbankan bisa membantu,” katanya. "Menpera itu tidak membangun rumah karena yang membangun adalah pengembang. Menpera mendorong lewat regulasi agar program ini berhasil, sifatnya stimulan. Tetapi sekarang regulasi membuat para stakeholder tidak mau membangun," ujar Zulfi.
Pengembang mengeluhkan mandegnya industri perumahan lantaran pemerintah memberlakukan program rumah subsidi dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) baru. Mereka menilai skema FLPP lama lebih baik ketimbang yang baru.
"Program FLPP di seluruh Indonesia tidak ada yang berjalan. Ini ironis, di tengah Realestat Indonesia (REI) merayakan ulang tahun ke - 40, kami berduka karena musibah FLPP ini," kata J. Sudianto, Wakil Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI) kepada wartawan dalam kegiatan media gatheringmenyambut HUT ke-40 REI di Manado, Sulawesi Utara, Jumat (30/3/2012) malam.
Moerod, Ketua DPD REI Sumatera Selatan mengatakan di wilayahnya, program FLPP dengan skema baru tidak berjalan. Sejak mulai diberlakukan pada Maret 2012, dengan patokan tipe 36 meter persegi dan harga rumah Rp 70 juta menimbulkan masalah. Di antaranya, rumah tipe 36 harganya di atas Rp 80 juta. Atau, ada tipe 36 harga Rp 70 juta tapi dengan spesifikasi tidak standar.
"Kami sudah terlampau banyak membangun lantai keramik semen dengan plafon harga Rp 80 Juta. Kalau Rp 70 tidak bisa menutupi semua biaya," ujarnya. Ketua DPD REI Jawa Barat, Yana Mulyana, dalam kesempatan yang sama menyampaikan dengan skema FLPP baru tidak mungkin berjalan karena harga tanah sudah mahal. Bila pengembang hendak menyiasati menurunkan kualitas spesifikasi bangunan juga tidak mungkin dilakukan. Mengingat konsumen rumah mulai paham kelayakan rumah tipe 36.
"Jawa Barat mempunyai 4.000 unit rumah dibawah tipe 36 ready stock yang tidak bisa untuk KPR," ujarnya. . Haidir Munthe dari DPD REI Kalimantan Tengah mengatakan FLPP skema lama lebih bisa dijalankan ketimbang yang baru. Ia mengaku mengalami kesulitan menerjemahkan aturan tipe 36 dengan harga Rp 70 Juta. Apalagi, di Kalimantan Tengah terkendala sertifikat tanah serta fasilitas listrik. "Realisasinya baru 4 unit dengan FLPP baru ini," kata dia.
Data dari REI menyebutkan, sebanyak 21.000 unit rumah belum terealisasi akibat diberlakukannya skema baru FLPP. Skema baru ini mengalami revisi terhadap syarat kriteria sasaran penerima kredit, nilai maksimal kredit, serta harga maksimal rumah. Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz kembali merevisi target rumah subsidi dengan skema KPR FLPP. Revisi kali ini adalah untuk keempat kalinya, yakni menjadi 189.166 unit rumah.
Menurut catatan Kompas.com, revisi pertama dilakukan Djan Faridz pada awal Februari 2012, setelah sebelumnya program rumah subsidi mandeg selama satu bulan. Ia merevisi target penyaluran rumah subsidi dengan FLPP dari 177.800 unit rumah menjadi 219.500 unit rumah. Pada bulan April 2012, Djan Faridz kembali merevisi target penyaluran menjadi 600.000 unit rumah. Komposisinya adalah 200.000 unit rumah untuk PNS, 200.000 unit rumah untuk karyawan swasta, 200.000 unit rumah untuk non PNS dan non karyawan swasta.
Revisi ketiga dilakukan Menpera pada bulan Juni 2012, yakni dengan target 240.000 unit. Target baru ini terdiri dari 239.000 unit rumah sejahtera tapak dan 1.000 unit rumah sejahtera susun. Memasuki bulan Juli 2012, rupanya revisi target rumah subsidi terjadi lagi menjadi 189.166 unit rumah. Kepala Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Perumahan (BLU PPP) Kemenpera, Dyah Tjahjani Saraswati ketika ditemui di Jakarta, Kamis (5/7/2012) mengatakan target baru ini menyesuaikan besaran alokasi dana untuk rumah subsidi sebesar Rp 7,1 Triliun.
"Target 189.166 unit rumah ini menyesuaikan anggaran yang ada. Karena Menteri sebelumnya telah memberikan kebijakan harga rumah subsisi per region melalui permenpera nomer 7 dan 8. Itu sebenarnya kurang tapi berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK), jika sisanya 10 persen baru bisa disalurkan kembali," katanya. Ditemui terpisah, Ketua Lembaga Pengkajian, Pengembangan, Perumahan dan Perkotaan Indonesia, Zulfi Syarif Koto menilai berubah-ubahnya target rumah subsidi ini seolah menunjukkan Menpera kurang konsisten dan tidak memiliki komitmen kuat terhadap pengadaan rumah bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Ia berharap, ke depan Menpera semakin matang dalam mengeluarkan kebijakan perumahan yang pro rakyat. Menpera diminta lebih memperhatikan karakteristik masyarakat penerima subsidi, pengembangnya, serta perbankan sebagai pihak penyalur. Belum usai kontroversi pasal 22 ayat 3 Undang-undang nomor 1 tahun 2011 tentang pembatasan tipe rumah 36 meter persegi di meja Mahkamah Konstitusi (MK), Kementerian Perumahan Rakyat kembali melontarkan kabar kurang menggembirakan. Kemenpera menurunkan target penyaluran rumah bersubdisi dari 600.000 unit menjadi 240.000 unit.
"Target penyaluran rumah subsidi dengan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) pada 2012 ini sebanyak 240.000 unit, terdiri dari 239.000 unit rumah sejahtera tapak dan 1.000 unit rumah sejahtera susun," kata Menteri Perumahan Rakyat (Menpera), Djan Faridz, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR RI di Jakarta, Rabu (30/5/2012).
Djan Faridz mengatakan, untuk menyalurkan rumah subsidi dengan FLPP berdasarkan target Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) sebesar Rp 9,2 triliun. Alokasi dana untuk rumah subsidi ini sebesar Rp 7,1 triliun dan kekurangan anggaran sebesar Rp 2,1 triliun. Kemenpera kemudian mengajukan kekurangan anggaran ini ke Kementerian Keuangan.
Namun, permohonan tambahan kekurangan anggaran untuk pendanaan FLPP 2012 ini mendapat kritikan dari DPR RI. Riswan Tony, anggota komisi V DPR RI, mempermasalahkan alasan Kemenpera meminta tambahan anggaran, padahal realisasi rumah subsidi dari anggaran yang sebelumnya belum memenuhi target. Ini ada apa minta tambahan anggaran lagi Rp 2,1 triliun, padahal anggaran sebelumnya Rp 7,1 triliun belum direalisasikan. Saya tahu benar, realisasi rumah FLPP itu baru 6.000 unit dari target 240.000 unit," katanya.
Selain permintaan tambahan anggaran, dalam rapat dengar pendapat ini Kemenpera merevisi kembali target rumah FLPP. Beberapa waktu sebelumnya, Kemenpera masih menargetkan 600.000 unit rumah dengan komposisi 200.000 rumah untuk PNS, 200.000 rumah untuk pekerja, dan 200.000 rumah untuk non PNS nonpekerja.
Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perumahan Rakyat (Permenpera) No 7 dan No 8 tahun 2012 berisi tentang batas harga rumah sejahtera tapak dan rumah sejahtera susun bersubsisi yang dinaikkan.
Berdasarkan Permenpera tersebut, harga rumah sejahtera tapak naik dari Rp 70 juta menjadi Rp 88 juta sampai Rp 145 juta berdasarkan wilayah. Sementara itu, harga rumah sejahtera susun naik dari Rp 144 juta menjadi Rp 216 juta per unit. Ketua Umum Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Eddy Ganefo, menyambut baik keluarnya permenpera baru ini. Menurutnya, hal tersebut sesuai dengan kondisi sebenarnya.
"Jadi, ini bukan kenaikan harga rumah, tapi memang ada penyesuaian mengingat tipe rumah yang diminta adalah 36 meter persegi. Kalau pakai Permenpera No 4 dan 5, yaitu harga Rp 70 juta, itu tidak bisa," katanya ketika dihubungi akarapi.com di Jakarta, Jumat (1/6/2012).
Eddy mengaku gembira dengan keluarnya peraturan baru ini. Hal tersebut akan dapat membantu pengembang memasarkan kembali rumah-rumah tipe 36 dengan harga di atas Rp 70 juta. "Selama ini kami terganjal peraturan tersebut yang mengakibatkan akad rumah terhenti. Dengan demikian, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang memiliki kemampuan membeli rumah tipe 36 meter persegi bisa mendapatkan subsidi dari pemerintah," katanya.
Namun, peraturan baru ini membuat MBR yang hanya sanggup membeli rumah Rp 70 juta ke bawah tetap tidak dapat subsidi. Pasalnya, pembangunan rumah di bawah ukuran tipe 36 meter persegi dilarang. "Ibaratnya, MBR ini paling apes karena tidak dapat subsidi, padahal kemampuannya segitu," ujarnya.
Eddy mengatakan, meski mengaku menyambut baik keluarnya Permenpera baru ini, hal tersebut tidak serta merta bisa dilaksanakan langsung di lapangan. Hal ini disebabkan adanya Perjanjian Kerjasama Operasional (PKO) antara Badan Layanan Umum Pembiayaan Perumahan (BLU PP) dan bank penyalur yang belum menyesuaikan ketentuan dalam Permenpera No 7 dan No 8.
No comments:
Post a Comment