Tekanan inflasi akhir-akhir ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya inflasi yang tidak terkendali. Namun, tampaknya tekanan inflasi pangan akan bertahap berkurang pada bulan-bulan mendatang. Walaupun demikian, masih ada yang harus kita cermati dari inflasi yang terjadi.
Musim kemarau basah telah membuat panen beberapa komoditas pertanian (diawali oleh tanaman palawija) menjadi terganggu. Keadaan ini memicu kenaikan harga beberapa komoditas tersebut, yang segera diikuti oleh komoditas pangan lainnya secara keseluruhan.
Para pedagang tampaknya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan untuk menaikkan harga ini.
Akibatnya, inflasi bahan makanan pun mengalami kenaikan yang amat signifikan. Pada bulan Juni inflasi bulanan bahan makan mencapai 3,20 persen dan pada bulan Juli naik lebih tinggi lagi menjadi 4,69 persen.
Keadaan ini membuat inflasi umum (keseluruhan) bulanan naik sebesar 0.97 persen pada bulan Juni dan sebesar 1,57 persen pada bulan Juli. Inflasi tahunan pun mengalami kenaikan yang tajam, dari 4,16 persen pada bulan Mei menjadi 5,05 persen pada bulan Juni dan 6,22 persen pada bulan Juli (gambar 1).
Angka inflasi yang meningkat tersebut jelas sudah berada di atas target Bank Indonesia ataupun pemerintah untuk tahun ini yang sebesar 5,3 persen. Perkembangan ini telah menimbulkan kekhawatiran harga akan semakin tidak terkendali pada bulan-bulan berikutnya.
Apalagi, pada bulan Agustus dan September akan ada faktor musiman Ramadhan dan Idul Fitri yang biasanya memicu kenaikan harga (terutama pangan) yang amat signifikan.
Untungnya, pihak pemerintah cukup tanggap terhadap perkembangan yang terjadi. Kalau pada awal tahun kita tidak melihat langkah pemerintah yang terlalu berarti dalam mengendalikan harga pangan, pada pertengahan tahun ini respons kebijakan pemerintah sudah terlihat mengalami kemajuan.
Operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog ataupun instansi pemerintah lainnya terlihat lebih intensif jika dibandingan dengan pada awal tahun. Aktivitas untuk mengendalikan ekspektasi inflasi pun (misalnya berupa kunjungan ke pusat produksi pertanian ataupun penegasan bahwa stok pangan cukup) tampak lebih banyak dilakukan.
Dan, dampak positifnya mulai terlihat pada angka inflasi bulan Agustus lalu, di mana inflasi bulanan ”hanya” mencapai 0,76 persen. Walaupun terlihat agak tinggi, angka ini jauh berada di bawah perkiraan sebagian besar ekonom dan pengamat, yang memperkirakan inflasi di bulan tersebut akan berada di atas 1 persen.
Pada bulan Agustus, inflasi bulanan bahan makanan hanya mencapai 0,47 persen, jauh lebih rendah daripada yang terjadi di bulan-bulan sebelumnya. Relatif rendahnya tekanan inflasi pangan ini merupakan indikasi awal bahwa kenaikan harga bahan makanan sudah mencapai puncaknya pada bulan Juli.
Ke depan harga bahan makanan berpeluang besar untuk menjadi semakin terkendali seiring dengan mulai normalnya pasokan beberapa komoditas bahan makanan dan berkurangnya dampak musiman bulan puasa dan Lebaran secara berangsur-angsur. Apalagi, bila pemerintah dapat menjalankan operasi pengendalian harganya dengan lebih efektif.
Selain harga bahan makanan, sebenarnya ada komponen inflasi lain yang patut mendapatkan perhatian kita, yaitu komponen inflasi pendidikan. Dalam beberapa tahun terakhir ini komponen pendidikan selalu memberikan sumbangan yang amat signifikan terhadap inflasi.
Keadaan ini sering kali luput dari perhatian, padahal kenaikan biaya di sektor pendidikan dapat memengaruhi daya saing jangka panjang kita. Menciptakan daya saing jangka panjang amatlah penting karena saat ini kita menghadapi persaingan dunia yang semakin terbuka.
Kenaikan biaya sektor pendidikan yang tinggi dapat menyebabkan pendidikan menjadi barang yang mahal untuk sebagian kalangan (yang berpenghasilan rendah).
Keadaan ini dapat membuat banyak dari mereka tidak dapat menikmati tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik. Padahal, banyak bakat-bakat unggul yang terlahir dari kalangan tersebut.
Terhalangnya akses bibit-bibit yang berbakat ini ke pendidikan yang lebih baik akan merugikan kita karena kita tidak dapat mengembangkan sumber daya unggulan yang kita miliki secara optimal.
Hal yang harus kita sadari juga adalah untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi diperlukan dukungan tenaga kerja dengan tingkat pendidikan yang memadai dalam jumlah yang besar.
Negara-negara tetangga kita tampaknya lebih menyadari akan pentingnya mengendalikan harga di sektor pendidikan untuk mendukung daya saing jangka panjang mereka. Hal ini terlihat dari inflasi sektor pendidikan mereka yang jauh lebih terkendali dibandingkan dengan yang terjadi di sini.
Dalam hal biaya pendidikan, misalnya, kenaikan yang terjadi di Malaysia dan Thailand jauh lebih rendah daripada yang terjadi di Indonesia.
Dalam periode Januari 2002 sampai Juli 2010, secara kumulatif biaya pendidikan di Indonesia sudah mengalami kenaikan sebesar 154,5 persen (gambar 2). Sementara itu, dalam periode yang sama kenaikan kumulatif biaya pendidikan di Malaysia hanya mencapai 17,9 persen. Biaya pendidikan di Thailand bahkan mengalami penurunan sebesar 13,8 persen.
Secara kasar hal ini dapat di artikan bahwa uang sekolah di Thailand pada tahun 2010 ini lebih murah dibandingkan dengan pada tahun 2002. Keadaan ini mungkin sulit kita dibayangkan dapat terjadi mengingat uang sekolah untuk putra-putri kita yang harus kita bayar selalu naik (dengan signifikan) dari tahun ke tahun.
Malaysia, misalnya, telah melakukan investasi yang amat besar di sektor pendidikan. Belanja yang dialokasikan untuk sektor pendidikan senantiasa mengalami kenaikan sejak krisis 1997/1998 lalu.
Alokasi belanja negara tersebut untuk sektor pendidikan secara konsisten berada di atas 20 persen dari total belanjanya (sempat mencapai 27 persen pada tahun 2000). Dalam 10 tahun terakhir ini Malaysia mengalokasikan rata-rata sekitar 25 persen dari anggarannya untuk sektor pendidikan.
Thailand juga telah melakukan investasi besar-besaran di sektor pendidikan dengan terus meningkatkan anggaran sektor pendidikannya.
Pada tahun 2009 Thailand melakukan reformasi sektor pendidikan lebih lanjut, di mana negara tersebut mengalokasikan sekitar 27 persen dari anggarannya untuk sektor pendidikan.
Program pendidikan di Thailand terlihat amat agresif. Pada triwulan pertama tahun 2009 Pemerintah Thailand mencanangkan program pendidikan gratis 15 tahun (dari tingkat TK sampai SMA). Sekitar 11,8 juta pelajar akan mendapat akses ke pendidikan gratis tersebut.
Program tersebut mencakup biaya sekolah gratis, buku gratis, peralatan pendidikan gratis, baju seragam gratis, dan pembiayaan untuk aktivitas rekreasi. Selain itu, sekitar 70 persen dari iuran sekolah pendidikan tingkat tinggi dibayar juga oleh negara (gambar 3).
Dampak kebijakan tersebut terlihat dengan jelas pada angka inflasi di sektor pendidikan di sana. Pada bulan Mei 2009
Dan yang lebih penting lagi, penurunan harga yang amat signifikan terjadi pada buku dan peralatan sekolah, di mana indeksnya turun dari 100 pada awal tahun 2009 menjadi 3,71 pada bulan Mei 2009. Artinya, terjadi penurunan harga sebesar sekitar 96 persen.
Pada tahun 2010 pun negara tersebut dapat mempertahankan biaya pendidikan di sana pada level yang rendah. Jadi, tidaklah mengherankan bila secara kumulatif terjadi deflasi di sektor pendidikan di Thailand.
Indonesia juga sudah mengalokasikan 20 persen dari anggarannya untuk sektor pendidikan. Namun, sampai saat ini dampak terhadap harga di sektor pendidikan masih relatif terbatas. Ke depan efisiensi alokasi dana ke sektor ini harus lebih ditingkatkan agar pendidikan kita menjadi lebih terjangkau oleh seluruh masyarakat kita.
Diskusi di atas menunjukkan bahwa kenaikan harga di sektor makanan tampaknya sudah mencapai puncaknya. Untuk tahun 2010 ini, dengan didukung oleh intervensi pasar yang semakin baik, rasanya inflasi masih dapat ditekan pada kisaran 6 persen.
Namun, perjuangan mengendalikan inflasi masih jauh dari selesai karena (selain pangan) Indonesia masih harus berbuat lebih banyak untuk mengendalikan inflasi di sektor pendidikan.
Purbaya Yudhi Sadewa Chief Economist Danareksa Research Institute
No comments:
Post a Comment