Tuesday, September 21, 2010

Paddy's Adalah Bukti Bahwa Pasar Tradisional Mampu Bertahan

Kekuatan sebuah pasar tradisional adalah pada proses interaksi penjual dan pembeli. Namun, keunggulan itu tak lagi cukup membendung pasar modern. Paddy’s Market di Sidney, Australia, menjadi bukti daya tahan pasar tradisional menghadapi arus pasar modern.

Paddy’s Market yang berlokasi di Hay Street, jantung kawasan China Town, merupakan pasar yang dikepung oleh pertokoan modern. Pasar tradisional itu berada di lantai dasar pusat perbelanjaan Market City.

Di kawasan Market City berjejer beberapa supermarket ternama, seperti Haymarket dan Thai Kee Iga, yang menjual beragam produk asal Asia dan Australia. Selain itu, ada pula pusat pertokoan dengan puluhan gerai butik, restoran, dan kafe.

Dengan slogan ”Where East Meet West”, Market City menonjolkan konsep budaya timur-barat yang tecermin dari ragam produk yang ditawarkan.

Kendati terkepung oleh kawasan pasar modern, Paddy’s Market tetap ramai pengunjung. Sejak pukul 09.00, kesibukan sudah berlangsung.

Beragam hasil bumi, seperti sayur-mayur dan buah-buahan, ditata teratur di meja-meja dagangan. Sementara itu, penjualan daging terletak di ruang tersendiri yang dipisahkan oleh sekat dinding kaca.

Di tempat penjualan daging itu beragam jenis daging ditata di meja yang bersih dan sebagian daging digantung.

Langit-langit ruangan yang tinggi, dengan lampu penerangan yang memadai, membuat pasar itu tidak terasa panas sekalipun berjejal pengunjung. Tidak ada kerumunan lalat ataupun kesan becek di pasar yang berlantai semen itu.

Layaknya pasar tradisional, pedagang dan pembeli yang tawar-menawar harga mewarnai keriuhan pasar. Sebagian buah-buahan di pasar itu dijual dengan harga butiran, bukan dihitung per kilogram.

Namun, jika mau sabar menanti, harga sayur dan buah-buahan tersebut bisa menjadi sangat miring menjelang sore.

Para pedagang di pasar itu, yang sebagian keturunan China, Melayu, dan India, seakan ”berlomba” bersuara paling keras untuk mengobral produk dagangan mereka menjelang pasar ditutup pada pukul 17.00.

”Harga mangga hanya 5 dollar Australia per boks. Ayo, siapa lagi yang mau,” teriak seorang pedagang sambil mengangkat sekotak mangga berisi 20 butir.

Ketika beberapa pembeli tetap ngotot menawar harga mangga itu, pedagang asal Indonesia itu lalu bergumam, ”Yo opo tho, rek (Bagaimana sih).”

Petunjuk harga sawi putih yang semula 2 dollar Australia per kilogram dicoret menjadi 1 dollar Australia per kg. Tomat dari 2 dollar Australia per kg menjadi 1,5 dollar Australia per kg. Harga 1 kg buah kiwi, yang produk asli Australia, juga turun dari 3 dollar Australia menjadi 2,2 dollar Australia.

”Barang-barang ini harus habis terjual hari ini. Sebab, besok kami menjual barang baru untuk menjaga kesegaran dan kualitasnya,” tutur seorang pedagang.

Keterjangkauan harga

Jika dibandingkan dengan supermarket sekitarnya, harga buah-buahan di pasar tradisional itu cenderung lebih terjangkau. Di supermarket, harga satu butir mangga bisa mencapai 2 dollar Australia dan alpukat 1 dollar Australia per butir. Keunggulan itu diakui para pengunjung.

”Kualitas barang dari pasar tradisional ini tidak jauh beda dengan supermarket, padahal harganya lebih murah,” tutur Endang, warga Indonesia yang bermukim di Australia.

Keterjangkauan harga mendorong minat warga dari luar Kota Sidney untuk mampir ke pasar tradisional itu. Sambil menggiring tas koper, beberapa pengunjung dari luar kota berbelanja sayur-mayur di situ.

Selain hasil bumi, pasar tradisional itu juga menawarkan produk nonpangan. Persis di sebelah areal sayur-mayur, terdapat sentra penjualan souvenir, pakaian, tas, sepatu, aksesori, peralatan rumah tangga, dan kebutuhan sandang lainnya dengan harga miring.

Keunikan dan keragaman komoditas yang diperdagangkan membuat Paddy’s Market menjadi salah satu incaran para turis mancanegara yang ingin mencari oleh-oleh.

Jika pintar menawar, harga kaus orang dewasa bisa dibeli dengan harga 8 dollar Australia per potong. Harga itu jauh lebih murah dibandingkan dengan di pusat perbelanjaan yang mencapai 13-15 dollar Australia per potong dengan mutu bahan serupa.

Paddy’s Market ditunjang oleh sarana transportasi publik, seperti jalur kereta api dan bus. Dari stasiun kereta api Central Train Station dan Town Hall Station, misalnya, pengunjung dapat berjalan kaki ke Market City dalam waktu 5-10 menit.

Pengunjung juga bisa memanfaatkan sarana monorel dan lightrail, yang melintasi kawasan Market City. Adapun penumpang bus bisa berhenti di pemberhentian bus George Street dan berjalan kaki ke kawasan Market City.

Meski demikian, pasar tradisional itu tetap memiliki keterbatasan. Pada hari-hari biasa, Paddy’s Market hanya buka dari pukul 09.00 sampai sekitar pukul 17.00, sementara supermarket buka sampai pukul 20.00.

Dipertahankan

Cikal bakal Paddy’s Market muncul pada era 1830-an. Ketika itu, kawasan Hay diarahkan menjadi kawasan perdagangan hasil pertanian, peternakan, barang bekas, kerajinan, dan kain.

Sebutan Paddy’s untuk kawasan itu diperkirakan muncul pada akhir tahun 1870-an, diduga mengadopsi nama pasar di Liverpool, Inggris.

Pada akhir era 1960-an, rencana relokasi Paddy’s Market dari kawasan Haymarket ke Flemington menuai perdebatan sengit di parlemen. Partai buruh oposisi ketika itu bersikukuh bahwa keberlangsungan Paddy’s, yang sudah menjadi ciri khas Sydney, harus dijamin.

Dalam perkembangannya, Paddy’s kini menempati dua lokasi, di Haymarket dan Flemington. Keseriusan pengembangan pasar tradisional, yang ditunjang dengan penguatan akses transportasi di Sidney, terbukti membuat Paddy’s Market mampu bertahan ratusan tahun, bahkan tumbuh menjadi ikon kota Sidney.

Tidak ada yang salah dengan tumbuhnya pasar modern sebagai bagian dari tuntutan zaman. Namun, hanya kesungguhan dan regulasi yang bisa membuat pasar tradisional tidak tergerus dan lapuk dimakan zaman.

Maka, keberadaan pasar modern tidak perlu menggilas pasar tradisional. Sebaliknya pasar tradisional bisa tumbuh dan menyaingi pasar modern. Pertanyaannya, siapkah Indonesia memulai itu?

No comments:

Post a Comment