”Semua beduk sudah diantar ke Linggau kemarin sore. Jumlahnya 26 buah,” ujar Ngadiru (51), si pemilik usaha kerajinan beduk dari kayu kempas yang beralamat di Jalan Simpang Karmeo Kilometer 15 Kabupaten Batanghari, Jambi.
Pesanan beduk selalu membeludak ketika mendekati masa Lebaran. Para pemesan ini datang dari sejumlah daerah di Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, bahkan dari wilayah Jawa sejak tiga atau empat bulan sebelum Lebaran.
Mereka jauh-jauh datang untuk memesan ke sana karena bisa dibilang kerajinan Ngadiru merupakan satu-satunya usaha produksi beduk berbahan kayu utuh dengan ukuran diameter yang besar. Pembuatan beduk berbahan kayu utuh sangat jarang ditemui karena kayu berdiameter besar saat ini sudah semakin langka.
Beduk Ngadiru terbilang unik dibandingkan beduk pada umumnya yang berbahan drum atau potongan kayu bersambung. Proses pembuatan beduk dari kayu kempas ini pun lebih rumit dan lama. Setiap beduk membutuhkan proses produksi dua hingga empat pekan, bergantung pada besarnya ukuran pesanan.
Untuk pesanan beduk berdiameter 60 sentimeter dan panjang 160 cm, misalnya, dibutuhkan pengerjaan sekitar dua pekan. Namun, untuk pesanan beduk yang berdiameter hingga 80 cm, dibutuhkan hampir sebulan untuk menyelesaikannya.
Proses pembuatan beduk kayu cenderung lama, jelas Ngadiru, karena sebagian besar tersita untuk melubangi bagian dalam kayu dengan cara dipahat. ”Kayu sedikit demi sedikit dipahat supaya semua bagian dalamnya dapat membentuk lubang, dan bagian luarnya setebal 5 cm, tanpa menimbulkan kayu retak atau pecah di bagian luarnya,” ujar Ngadiru.
Setelah bagian dalam telah berlubang, lapisan luar ataupun dalam kayu dihaluskan dengan mesin, lalu didempul untuk lebih memperhalus permukaan kayu. Kemudian, salah satu bagian mulut lubang kayu ditutup dengan lapisan kulit sapi yang telah kering.
Beduk ini juga menjadi unik karena paku yang digunakan untuk merapatkan kulit sapi pada beduk tersebut menggunakan kayu kempas. Paku berdiameter sekitar 3 cm secara khusus dipesan. Paku dimasukkan ke dalam badan beduk yang telah dilubangi dengan bor. ”Kalau menggunakan paku besi, kulit sapi kurang tegang sehingga berpengaruh pada suara tabuhan beduk,” katanya.
Kerajinan beduk itu telah 25 tahun berjalan. Awalnya, kerajinan dirintis mertua Ngadiru, almarhum Hamdan Dahlan. Sebelum meninggal sekitar empat tahun lalu, almarhum menitipkan pesan agar dirinya melanjutkan usaha ini. ”Saya sebelumnya memang selalu ikut membuat beduk. Setelah almarhum meninggalkan pesan, saya semakin yakin lagi untuk terus menjalankan usaha ini,” ujar suami Rupina (50) dan ayah dari Junaidi (30), Nurlela (23), dan Rumanto (20).
Usaha kerajinan beduk sempat terhenti menjelang wafatnya sang mertua. Setelah itu, Ngadiru dihadapkan pada kondisi tanpa modal sedikit pun untuk melanjutkan usaha. Ia pun menjual sejumlah barang dan perhiasan di rumah, serta meminjam uang kepada keluarga dekatnya sebesar Rp 8 juta.
”Akhirnya terkumpul modal Rp 11 juta, langsung saya belikan 15 tuntung (gelondong kayu untuk tiap satu beduk), alat pahat, serta mesin penghalus dan bor,” ujarnya.
Ngadiru secara bertahap menyelesaikan pembuatan beduk. Barang yang sudah jadi langsung dipajang di halaman rumah sehingga ketika ada orang tertarik membeli, beduk dapat langsung diangkut. Atas keuletannya, semua utang terbayar dalam jangka dua bulan saja. Ia sudah dapat memperoleh untung pada bulan ketiga.
Ia sendiri memilih kayu kempas sebagai bahan baku beduk karena kayu ini sangat keras dan tidak mudah pecah. Suara tabuhan yang dihasilkannya pun terdengar lebih bulat dan lantang. Ia pernah coba menggunakan kayu meranti untuk membuat beduk, tetapi hasilnya pembeli menjadi kecewa. Setelah dibeli, badan beduk pecah dalam waktu singkat. Beduk akhirnya dikembalikan dan Ngadiru harus mengganti dengan yang baru dari kayu kempas.
Saat ini, Ngadiru memiliki 10 tenaga kerja lepas. Jumlah tenaga akan bertambah atau berkurang sesuai dengan tingkat pesanan. Setiap beduk dibuat setidaknya oleh tiga tenaga kerja yang bertugas memahat bagian dalam beduk, menghaluskan kayu, hingga mendempul kayu. Selebihnya, pemasangan kulit sapi dilakukan sendiri oleh Ngadiru.
”Sampai saat ini hanya saya yang bisa memasang kulit sapi dengan baik. Jadi, pengerjaannya belum bisa diambil alih orang lain,” tuturnya.
Lain dulu, lain sekarang. Usaha kerajinan beduk dari bahan kayu memang pernah mengalami masa jaya ketika kayu berdiameter besar masih mudah didapat dan harganya murah. Kini, kayu berdiameter 60 cm hingga 80 cm sangat sulit didapat, kecuali masuk lebih jauh ke dalam hutan. Harga kayu pun kian mahal. ”Setiap tahun harga kayu naik Rp 100.000 per tuntung. Sekarang ini, kayu saya beli Rp 500.000 per tuntung,” ujarnya.
Tidak hanya kayu yang semakin mahal, kulit sapi juga mengalami perkembangan serupa. Biaya produksi jadi membengkak, tetapi Ngadiru memilih menahan kenaikan harga penjualan beduk.
Harga beduk berukuran diameter 60 cm dan panjang 160 cm masih sekitar Rp 2 juta. Masih sama dengan harga tahun yang lalu. Harga beduk bisa mencapai Rp 5 juta untuk yang berdiameter 80 cm. ”Semakin besar diameter beduk, semakin sulit saya memperoleh kayunya,” kata Ngadiru.
Dalam kondisi sulitnya memperoleh bahan baku, Ngadiru mencoba terus bertahan membuat beduk dari kayu kempas. ”Saya akan coba jalani terus, selama masih bisa,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment