Wednesday, September 1, 2010

Draf Bank Dunia Untuk Indsutri Kelapa Sawit Dinilai Tidak Adil

Draf dokumen Kerangka Kerja Bank Dunia untuk Keterlibatan dalam Sektor Minyak Kelapa Sawit, yang disusun Bank Dunia, dinilai tidak adil. Draf itu mengabaikan kenyataan bahwa banyak perusahaan kelapa sawit di Indonesia yang dikelola secara berkelanjutan.

Penilaian terhadap dokumen kerangka kerja itu disampaikan Pemerintah Indonesia di Frankfurt, Jerman, dalam World Bank Group Palm Oil Strategy Consultation, yang berlangsung 31 Agustus-1 September.

Indonesia diwakili

Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar, tokoh perkebunan Sujai Kartasasmita, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Fadhil Hasan, Ketua Komisi Minyak Sawit Indonesia Rosediana Suharto, dan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan Yetty Rusli.

Bayu menjelaskan, ada beberapa kelemahan mendasar dalam draf dokumen kerangka kerja Bank Dunia, yang perlu di perbaiki. Dokumen kerangka kerja itu strategis. Dokumen itu akan menjadi acuan dari beberapa lembaga internasional, perbankan, perusahaan, bahkan pemerintah negara-negara lain dalam memandang minyak sawit.

”Bila disusun kurang tepat, bisa menimbulkan masalah yang tidak perlu,” kata Bayu.

Atas desakan dan tudingan lembaga swadaya masyarakat, Bank Dunia melakukan konsultasi publik untuk menyusun dokumen Kerangka Kerja Bank Dunia untuk Keterlibatan dalam Sektor Minyak Kelapa Sawit.

Atas desakan LSM pula, Bank Dunia dan International Finance Corporation melakukan moratorium terhadap pemberian kredit di sektor sawit terkait isu pembangunan berkelanjutan.

Poin dalam draf itu, antara lain,

Bank Dunia melalui lembaga keuangan internasional (IFC) hanya menyalurkan kredit kepada perusahaan kelapa sawit untuk perkebunan yang telah disertifikasi dengan standar yang diakui internasional.

Hanya contoh buruk

Bayu menyatakan, dalam draf dokumen itu, hampir semua kasus buruk dijadikan contoh untuk melihat pengembangan industri sawit di Indonesia. ”Kami menganggap hal itu tidak adil dan tidak seimbang,” kata Bayu.

Ditegaskan, banyak perusahaan sawit Indonesia pendiri dan anggota RSPO. Mereka sudah memproduksi minyak sawit lestari. Indonesia Sustainable System Palm Oil (ISPO) juga sudah diluncurkan.

ISPO menempatkan mandat kepada setiap industri kelapa sawit untuk memproduksi minyak sawit dengan cara berkelanjutan. Beberapa perusahaan di Indonesia sudah meletakkan peta jalan untuk memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan.

Data, informasi, dan tuduhan dalam dokumen juga tanpa bukti, pengecekan ulang, atau studi konfirmasi. Beberapa di antaranya menggunakan kasus yang sangat terbatas dan tidak bisa disamaratakan.

Hal itu terutama terkait dampak negatif minyak sawit terhadap sektor lingkungan dan sosial, termasuk deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, emisi gas rumah kaca, dan konflik pemanfaatan lahan. ”Grup Bank Dunia seharusnya membantu memverifikasi dugaan itu, bukan menggeneralisasi itu,” katanya.

Kerangka kerja, ujar Bayu, seharusnya melihat lebih jauh peran petani di perkebunan. Saat ini di Indonesia ada 800.000 petani kecil yang mengelola 3 juta hektar atau 43 persen dari total produksi kelapa sawit Indonesia.

Bank Dunia harus menempatkan isu sawit dalam perspektif lebih luas dibandingkan kedelai. Karena luas tanaman sawit dunia hanya sepersepuluh dari kedelai.

Kelapa sawit adalah tanaman yang paling efisien memproduksi minyak. Tiap hektar tanaman kelapa sawit menghasilkan 3,7 kiloliter biodiesel. Padahal, untuk volume yang sama, dibutuhkan 9,4 hektar lahan kedelai dan 7,5 hektar bunga matahari.

Dampak efek rumah kaca juga rendah. Sawit menghasilkan karbon food print 835 kilogram C, sementara kacang kedelai 1.387 kg C

No comments:

Post a Comment