Dengan adanya keberatan dari beberapa pihak, menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, Kamis (2/9) dari Frankfurt, Jerman, akhirnya Bank Dunia baru akan mengeluarkan draf final kerangka kerja keterlibatan Bank Dunia di sektor kelapa sawit paling cepat Oktober.
”Tampaknya kerangka kerja itu akan membutuhkan waktu lebih lama untuk menyelesaikannya,” kata Bayu.
Pada konsultasi terbuka terhadap draf dokumen kerangka kerja, yang dihadiri 16 negara, 8 organisasi, dan 15 lembaga swadaya masyarakat (LSM), Bank Dunia mengelak tudingan bahwa langkah Bank Dunia itu karena desakan LSM. Konsultasi tersebut diselenggarakan pada 31 Agustus-1 September 2010.
Namun, tuntutan yang bersemangat dari LSM yang hadir, terutama Greenpeace, Sawit Watch, dan Watch Indonesia, menunjukkan, tindakan Bank Dunia menyusun dokumen kerangka kerja baru karena tekanan LSM tersebut. ”Beberapa negara tak simpati dengan langkah Bank Dunia,” kata Bayu. Dukungan datang dari beberapa negara di Afrika dan Amerika Latin.
Pada forum itu, Indonesia menyatakan, tindakan Bank Dunia dapat dipandang sebagai diskriminatif terhadap sawit dan Indonesia. Tindakan itu juga bisa dianggap mendukung proteksionisme baru berdalih isu lingkungan. Indonesia diwakili Wakil Menteri Pertanian, Wakil Menteri Perdagangan Mahendra Siregar, tokoh perkebunan Soedjai Kartasasmita, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Fadhil Hasan, Ketua Komisi Minyak Sawit Indonesia Rosediana Suharto, dan Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Lingkungan Yetti Rusli.
Tahun 1980 Bank Dunia menghentikan bantuan ke sektor kelapa sawit karena desakan petani kedelai negara maju. Saat itu, isu yang dikembangkan adalah isu kesehatan atau kolesterol.
Fadhil menjelaskan, dilihat dari jumlah kredit yang disalurkan International Finance Corporation (IFC) ke sawit, hal itu tak signifikan bagi industri sawit di Indonesia. Industri sawit Indonesia tak perlu pendanaan dari IFC. Masih banyak sumber pendanaan lain.
”Namun, kita berkepentingan agar dokumen itu sejalan dan sesuai kepentingan industri sawit nasional serta menampilkan data dan strategi yang benar, adil, serta proporsional. Dokumen Bank Dunia dijadikan acuan dan standar lembaga lain,” katanya.
Menurut Bayu, bila Bank Dunia tetap memaksakan draf tersebut, lembaga ini akan kehilangan kredibilitasnya.
”Ini akan membuat banyak negara khawatir. Pengalaman sawit di Indonesia bisa terjadi dengan komoditas apa pun. Bank Dunia bertindak bukan atas analisis obyektif untuk mengurangi angka kemiskinan, tetapi lobi LSM, yang di belakangnya bisa saja didukung kepentingan persaingan dagang.
No comments:
Post a Comment