Kebijakan pemerintah yang ”gemar” menaikkan harga beras melalui harga pembelian pemerintah kini menjadi bumerang. Apalagi, bila kebijakan tersebut belum mampu mentransmisikan kesejahteraan kepada petani dan sebaliknya melampaui ”daya tahan” masyarakat.
Masalah naiknya harga beras saat ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) serta strategi kebijakan pembangunan pertanian dan ekonomi nasional.
Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memimpin, tercatat lima kali HPP untuk gabah dan beras dinaikkan (Januari 2006-Januari 2010). Bahkan, tahun 2008 kebijakan HPP dikeluarkan dua kali, yakni April dan Desember.
Naiknya HPP mendorong kenaikan harga beras di pasaran. Harga produk samping industri penggilingan padi, seperti katul, juga naik. Selain itu, juga memicu kompetisi pemanfaatan lahan yang makin ketat.
Akibatnya, harga jagung dan kedelai naik. Ini mendorong naiknya harga pakan. Saat ini saja, industri pakan bersiap-siap menaikkan lagi harga jual produknya. Karena pakan naik, harga produk peternakan, seperti daging dan telor, juga naik. Singkat kata, semua naik. Baik harga pangan maupun nonpangan. Belum lagi dampak kenaikan tarif dasar listrik dan BBM.
Di sisi lain, kenaikan harga tak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Pegawai negeri sipil dan TNI/Polri lebih baik karena menerima kenaikan gaji.
Bagaimana dengan pedagang informal dan sektor jasa yang banyak didominasi rakyat kecil? Seperti nasib sopir angkutan umum, ojek, taksi, tukang becak, kuli bangunan, buruh tani, nelayan, pedagang asongan, dan jenis pekerjaan sejenis lainnya yang milik orang kecil.
Karena semua harga naik, hal itu memicu masyarakat semakin berhemat. Mereka inilah yang paling banyak terpukul karena pendapatan mereka turun terkena imbasnya.
Apalagi, delta harga beras HPP dengan di pasar tahun ini mencapai rekor tertinggi, lebih dari Rp 1.200 per kg. Akibatnya, kenaikan harga saat ini pun dirasa begitu menyengsarakan.
Dibandingkan Thailand dan Vietnam, harga beras di Indonesia lebih tinggi untuk kualitas yang sama. Tingginya harga menimbulkan kerentanan, apalagi bila sudah melampaui ambang batas daya tahan masyarakat.
Terlena
Mengendalikan harga beras menjadi harga mati. Hal itu dilakukan dengan cara menjaga produksi beras agar tetap bagus dan mengendalikan harga di pasar. Yang pertama urusan Kementerian Pertanian (Kemtan) dan kedua tugas Perum Bulog.
Sejak tahun 2006 produksi beras nasional terus meningkat. Hal ini karena tiga faktor, yakni program bagi-bagi benih unggul dan pupuk gratis, dorongan daya tarik harga beras yang membaik, serta introduksi benih padi hibrida.
Tentu ada faktor lain, seperti kerja penyuluh pertanian dan aparat birokrasi pertanian di pusat dan daerah. Namun, untuk kedua hal ini, getarannya tidak begitu terasa di lapangan.
Pencapaian swasembada beras dalam dua tahun belakangan ini tampaknya membuat pemerintah terlena. Fokus pemerintah kemudian tidak bagaimana menjaga momentum produksi meski dalam iklim sulit sekalipun, tetapi bagaimana menekan subsidi bagi pertanian.
Gerakan efisiensi pun merebak di mana-mana. Subsidi pupuk 2010 dan 2011 dipangkas. Bulog juga jangan sampai merugi. Padahal, bila mau jujur dan bertanya kepada petani, mereka lebih senang harga gabah dan beras tidak naik, tetapi harga kebutuhan hidup lain tetap.
Di tengah euforia swasembada dan pengurangan subsidi pupuk, perubahan iklim ekstrem datang. Panen padi musim hujan 2010 tidak menggembirakan bagi petani. Kualitas padi hancur, petani mengeluh produktivitas melorot. Di beberapa daerah, mereka teriak gagal panen.
Meski demikian, sudah bisa ditebak, produksi beras nasional pasti naik. Badan Pusat Statistik menghitung produksi padi pada angka ramalan I BPS yang dirilis Juni 2010 naik menjadi 65,15 juta ton gabah kering giling. Produksi padi nasional adalah hasil perkalian antara produktivitas tanaman padi per hektar dan luas panen.
Produktivitas yang menghitung BPS melalui model sampling ubinan. Adapun data luas panen disetor Kemtan. Meski alih fungsi lahan pangan 110.000 hektar per tahun dan cetak sawah baru 15.000 hektar per tahun, luas tanam dan panen padi tetap meningkat setiap tahun.
Naiknya produksi padi (beras) berdasarkan perkiraan BPS ini tentu kian menumbuhkan optimisme pemerintah bahwa ketersediaan beras nasional aman. Karena itu, tidak perlu panik atas beberapa gejala alam.
Bahkan, ketika Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kemtan Sutarto Alimoeso ditarik menjadi Dirut Bulog, hingga saat ini belum ada figur tetap yang menggantikannya.
Padahal, dirjen tanaman pangan merupakan pejabat tertinggi yang secara strategis bertanggung jawab pada keberhasilan dan kegagalan produksi beras. Tidak hanya itu, jabatan direktur perlindungan tanaman pangan yang merupakan pejabat paling bertanggung jawab dalam urusan hama penyakit padi, termasuk wereng, juga dibiarkan kosong. Entah apa yang melatarbelakanginya?
Padahal, kondisi di lapangan sangat memprihatinkan. Para pengusaha beras saat panen raya 2010 lalu kesulitan mendapatkan gabah. Gangguan panen akibat cuaca dan serangan hama penyakit, terutama wereng dan kresek, mengakibatkan pasokan berkurang. Karena pasokan kurang, harga pun melambung.
Pada saat yang sama, trauma Bulog merugi Rp 720 miliar tahun 2009 era kepemimpinan Mustafa Abubakar juga menjadi momok bagi pemerintah pusat. Saat Mustafa menjadi Dirut Bulog, prioritas Bulog ada pada pengadaan beras sebanyak-banyaknya. Kualitas nomor dua.
Karena itu, banyak kasus raskin kualitas buruk. Namun, stok beras Bulog fantastis sehingga pedagang takut berspekulasi.
Sutarto mencoba mengubah model pendekatan, kerugian Bulog harus diminimalkan. Kalau perlu nol. Kualitas raskin harus ditingkatkan. Namun, konsekuensinya, penyerapan beras Bulog rendah dan stabilitas harga beras di pasaran dipertaruhkan.
Tombak bermata dua
Kebijakan menaikkan HPP gabah dan beras sebagai satu-satunya solusi utama dalam mendorong kesejahteraan petani bagai tombak bermata dua.
Bukan berarti kenaikan HPP tidak penting. Namun, jauh lebih penting dari itu adalah meningkatkan produktivitas hasil panen dengan pilihan kebijakan tetap dalam kerangka kedaulatan pangan. Selain itu, juga mendorong peningkatan pendapatan petani melalui sektor-sektor lain di luar pertanian.
Tidak bijaksana tentunya berharap menyejahterakan petani dengan lahan garapan 0,5 hektar. Sama tidak bijaksananya dengan kebijakan pemerintah membagi lahan di Merauke, Papua, di tengah petani yang lapar sumber daya lahan.
Satu-satunya cara menarik tenaga kerja pertanian keluar dari sektor budidaya pertanian adalah membangun industri pertanian dan non-pertanian berbahan baku lokal. Memperluas akses kerja di sektor perdagangan, jasa, dan industri bagi warga sendiri agar kue ekonomi terbagi rata.
Bukan dengan membangun mal-mal dan pusat perbelanjaan yang isi dan kepemilikannya asing, warung waralaba asing, menghadirkan pusat perbelanjaan di kampung-kampung, dan mengimpor produk pangan olahan dari negara tetangga.
Kalau serba ”asing” model pembangunan ekonomi nasional, masyarakat mau kerja dan mau makan apa? Di luar semua itu, adaptasi dan mitigasi iklim jangan lagi dijalankan sambil lalu. Varietas unggul yang tahan iklim ekstrem harus terus dihasilkan dengan lompatan-lompatan teknologi.
Kenaikan harga beras sudah pasti akan terus terjadi. Pada Maret 2011 harga beras kualitas medium atau yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia diramalkan pengamat perberasan Husein Sawit bakal naik menjadi Rp 7.600 per kg.
Kalau beras medium setinggi itu, beras premium menembus Rp 10.000. Masyarakat tentu tidak akan mampu bertahan. Bagaimana dengan pemerintah?