Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan mengungkapkan hal ini di Jakarta, Senin (2/8).
”Memang ada ruang sebesar 1,3 persen untuk mencapai target 5,3 persen akhir tahun ini. Itu artinya selama lima bulan ke depan rata-rata (inflasi) harus 0,2 persen. Rasanya bulan Agustus tidak akan bisa 0,2 persen,” kata Rusman.
Inflasi bulan Juli 2010 mencapai 1,57 persen dan Agustus diprediksi masih tinggi karena bulan puasa. Dampak langsung kenaikan tarif dasar listrik (TDL) industri 10-15 persen dan TDL rumah tangga rata-rata 10 persen per 1 Juli 2010 juga akan dirasakan Agustus ini.
Kenaikan konsumsi membuat inflasi terus meningkat. Pemerintah harus mampu mengendalikan suplai dan distribusi kebutuhan pokok untuk mengendalikan harga, terutama bulan puasa dan Lebaran.
Pada September 2009, inflasi menembus 1,02 persen karena bulan puasa dan Lebaran. Namun, kata Rusman, bulan selanjutnya terjadi deflasi karena konsumsi menurun.
Menurut Rusman, inflasi yang tinggi tidak perlu dikhawatirkan karena mencerminkan pertumbuhan ekonomi. Apalagi, inflasi yang terjadi lebih banyak karena persoalan dalam negeri, bukan inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga barang impor.
Ekonom Drajad H Wibowo mengingatkan, nilai tukar rupiah yang terlalu kuat melemahkan kinerja ekspor dalam jangka panjang. Drajad mengatakan, pertumbuhan ekspor turun dari 36 persen menjadi 31,7 persen year on year dan impor naik dari 32 persen menjadi 47,3 persen, terutama barang konsumsi.
”Kondisi di atas sudah tidak sehat bagi neraca pembayaran dan stabilitas makro Indonesia. Overvaluation (rupiah) terjadi karena derasnya investasi portofolio yang masuk melalui saham, surat berharga negara, dan Sertifikat Bank Indonesia. Kondisi ini harus dikoreksi mengingat eksportir tulang punggung pembentukan PDB dan penyerapan tenaga kerja,” kata Drajad.
No comments:
Post a Comment