Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa, Selasa (31/8) di Jakarta, menjelaskan, radar untuk memperkuat sistem navigasi atau Jakarta Automation Air Traffic System (JAATS) yang ada saat ini adalah sistem yang dibangun tahun 1985-1986 dan diperbarui tahun 1996.
”Awalnya masih mampu melayani 400-500 pergerakan (pesawat), sekarang sudah kewalahan karena ada 2.000 pergerakan,” kata Hatta seusai memimpin rapat koordinasi tentang Radar PT Angkasa Pura II dan Ketahanan Pangan.
Rapat dilaksanakan terkait kegagalan atau hilangnya radar JAATS selama 30 menit, Senin.
Direksi Angkasa Pura II untuk jangka pendek, kata Hatta, harus mempercepat penyegaran sistem, yakni dari setiap satu bulan menjadi setiap dua minggu. Jangka menengah, mempercepat pengadaan radar, membangun menara baru, dan pengadaan perlengkapan lainnya.
”Dengan radar baru, sistemnya akan menjadi sangat andal. Mereka juga harus memastikan sistem di Jakarta dan Makassar (Makassar Automation Air Traffic System/MAATS) terintegrasi sehingga ketika terjadi kegagalan di Jakarta, Makassar bisa menggantikannya, demikian sebaliknya. Dengan cara ini, semua ruang udara Indonesia bisa dilayani,” tutur Hatta.
Dijelaskan, paling lambat Januari 2011, pengelola JAATS dan MAATS dikeluarkan dari pengelolaan Angkasa Pura I dan II. Selanjutnya dibentuk pengelola baru berbentuk perusahaan umum, khusus bertanggung jawab atas pelayanan lalu lintas udara Indonesia.
”Perum ini khusus, bersifat pelayanan. Fungsinya, memberikan pelayanan, bukan komersial, jadi nirlaba. Bentuk finalnya dibicarakan Menteri BUMN, Menteri Perhubungan, serta Menteri Hukum dan HAM,” ujar Menko Perekonomian.
Mulai Januari 2011, wilayah navigasi lalu lintas penerbangan nasional digabung. Saat ini, di Indonesia ada dua area informasi penerbangan (flight information region/FIR). Dua FIR tersebut adalah FIR Barat berbasis di Bandar Udara Soekarno-Hatta, Jakarta, dan FIR Timur yang dipantau dari Makassar, Sulawesi Selatan.
Penggabungan wilayah navigasi lalu lintas penerbangan ini akan berdampak pada penerimaan dua perusahaan pengelola bandara yang ada di Indonesia, yakni PT Angkasa Pura I dan Angkasa Pura II.
”Dengan penggabungan FIR, pendapatan kami dari unit FIR sekitar Rp 700 miliar akan hilang. Namun, itu akan disertai berkurangnya beban biaya perusahaan dengan besaran yang hampir sama, Rp 700 miliar,” kata Direktur Utama PT Angkasa Pura I Tommy Soetomo.
Dijelaskan, setelah penggabungan, bisnis Angkasa Pura akan fokus pada pengelolaan bandara. ”Kami belum tahu bentuk lembaga yang akan mendapat kewenangan menangani FIR, keputusannya ada di pemerintah. Ini amanat Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan,” ujar Tommy.
No comments:
Post a Comment