Wednesday, August 4, 2010

Redenominasi Rupiah dan Wacananya

Dalam rapat dengar pendapat dengan DPR pada akhir Juli lalu, Dewan Gubernur Bank Indonesia mengemukakan gagasan melakukan redenominasi rupiah dengan meniadakan tiga angka nol terakhir sehingga menjadi seperseribu dari nilai semula.

Alasannya adalah demi menyederhanakan perhitungan. Pecahan rupiah sudah sangat besar, hingga Rp 100.000. Menurut penjelasan BI, tindakan seperti itu mengikuti kebijakan Turki pada Januari 2005 yang menggantikan 1.000.000 lira dengan 1 lira baru (YTL). Juli berikutnya Romania menggantikan 10.000 leu lama dengan 1 leu baru.

Sama dengan di kedua negara itu, redenominasi rupiah itu dimaksudkan sebagai simbol telah berakhirnya periode perekonomian yang salah urus, hiperinflasi, dan krisis perekonomian pada masa lalu. Redenominasi itu sekaligus diharapkan memengaruhi harapan masyarakat akan tingkat laju inflasi.

Redenominasi mata uang sekaligus menunjukkan pulihnya kedaulatan moneter sebab dalam era krisis di masa lalu masyarakat lebih suka menggunakan valuta asing sebagai alat tukar dalam transaksi di dalam negeri maupun untuk menyimpan kekayaan. Pada tahun 2003, 1 dollar AS sama dengan 1.500.890 lira dan sama dengan 33.200 leu.

Redenominasi yang akan dilakukan sekarang ini memang berbeda dengan pemotongan uang yang dilakukan pada tahun 1950-an maupun sanering tahun 1965. Pada masa itu ekonomi Indonesia dilanda inflasi yang sangat tinggi (1962: 131 persen dan 1965: 650 persen). Pemotongan uang dan sanering pada masa itu merupakan bagian dari kebijakan stabilisasi dan pemulihan ekonomi.

Sanering sekaligus merupakan pajak regresif dengan mempersulit penukaran uang lama dengan yang baru, yang pada umumnya ditanggung oleh rakyat miskin di pedesaan yang jauh dari tempat penukaran. Selain sanering, sumber penerimaan negara lainnya pada masa itu berupa pajak inflasi, yakni penurunan daya beli riil uang karena terjadinya inflasi.

Program IMF (1997-2003) sudah berakhir. Hingga sekarang ekonomi Indonesia relatif baik dan kepercayaan masyarakat pada rupiah sudah berangsur pulih. Walaupun belum dapat menyerap tenaga kerja baru, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 4,5 persen pada tahun 2009, dengan tingkat laju inflasi sebesar 4,8 persen, defisit APBN mencapai minus 1,6 persen dari PDB, rasio utang pemerintah terhadap PDB sekitar 31 persen.

Sementara itu, cadangan luar negeri Indonesia terus meningkat karena gabungan kenaikan harga bahan mentah dan pemasukan modal asing. Walaupun belum dapat menggerakkan perekonomian, industri perbankan kita semakin sehat.

Sumber utama penyakit

Sanering tahun 1950-an dan 1965 gagal menstabilkan perekonomian karena sumber utama penyakitnya tak disentuh: defisit anggaran negara, industri perbankan yang lemah, produksi serta daya saing ekspor yang rendah di pasar dunia karena regulasi yang terlalu ketat, dan infrastruktur yang rusak parah. Lembaga pemerintahan juga jauh dari bersih serta efisien dan tak mampu melindungi warga negaranya.

Krisis ekonomi di Indonesia sejak kemerdekaan disebabkan negara ini terus-menerus dilanda perang saudara, konfrontasi dengan negara tetangga, salah urus, dan korupsi. Produksi menurun secara drastis di perusahaan Belanda yang dinasionalisasi karena kita tak mampu menggantikan tenaga ahli serta manajer asing yang meninggalkan Indonesia.

Karena penerimaan negara tak mampu membelanjai pengeluaran negara yang semakin meningkat, defisit APBN selama Orde Lama dibelanjai dengan pencetakan uang serta obligasi. Inflasi yang tinggi menurunkan nilai obligasi pemerintah secara drastis. Pada masa Orde Baru seluruh defisit APBN itu dibiayai oleh pinjaman lunak dari IGGI/CGI. Dalam era reformasi, defisit APBN dibiayai dengan penjualan surat utang negara di pasar komersial dalam dan luar negeri.

Empat kunci pokok

Berbeda dengan dulu, dewasa ini pemerintah tetap berpegang pada program stabilisasi perekonomian yang diwariskan dari program IMF (1997-2003). Ada empat kunci pokok yang saling terkait dalam program stabilisasi perekonomian itu.

Pertama aturan moneter: (i) mengganti sistem kurs devisa tetap dengan kurs mengambang dan (ii) membuat target inflasi sebagai sasaran kebijakan moneter. Untuk mencapai target moneter itu, BI diberi kemandirian penuh.

Kunci kedua adalah adanya aturan fiskal: (i) melarang BI membeli surat utang negara di pasar primer untuk membelanjai defisit APBN, (ii) membatasi defisit APBN maksimum 2 persen dari PDB, dan (iii) mengurangi rasio utang pemerintah terhadap PDB yang sekarang ini sekitar 31 persen.

Kunci ketiga adalah meningkatkan efisiensi perekonomian melalui rangkaian deregulasi serta peningkatan efisiensi. Kunci keempat adalah menguatkan kelembagaan pemerintah guna melindungi hak milik individu, menerapkan kontrak perjanjian, dan mengoreksi kegagalan pasar.

Redenominasi atau sanering atau pemotongan ataupun manipulasi nilai uang dapat menjadi pajak yang regresif yang terutama merugikan golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan berpendapatan tetap.

Caranya adalah seperti mempersulit penukaran uang lama dengan uang baru yang disebut di atas. Untuk mencegah ini, periode penukaran harus diberi tenggang waktu agar masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari bank sempat melakukan penukaran.

Redenominasi merugikan kelompok miskin jika tingkat harga-harga tidak menurun secara proporsional dengan persentase pemotongan nilai uang. Merugikan kelompok orang miskin karena golongan masyarakat miskin itu menyimpan sebagian besar kekayaannya dalam bentuk uang tunai.

Karena memiliki kekayaan yang sangat kecil, golongan masyarakat miskin tak mampu melindungi kekayaannya dengan membeli emas perhiasan, tanah dan rumah, serta mata uang asing. Setelah sanering, nilai kekayaannya berupa uang berkurang menjadi sebesar seperseribu. Di pihak lain, tingkat harga-harga tidak dapat menurun secara proporsional.

Agar redenominasi rupiah sekarang ini berhasil, BI dan pemerintah terus mengatasi masalah pokok ekonomi Indonesia dewasa ini. Jika tidak, akan terus-menerus terjadi sanering, gunting uang, ataupun redenominasi.

Masalah pokok itu adalah, pertama, menyehatkan industri perbankan sehingga dapat menggerakkan roda perekonomian. Kesenjangan yang tinggi antara bunga deposito dan bunga kredit mencerminkan bahwa bank nasional kita masih sakit parah. Sumber pendapatannya pun bukan dari kegiatan operasional.

Kedua, meningkatkan pengawasan bank agar mampu memenuhi ketentuan internasional (Basel 3).

Ketiga, mengendalikan kurs riil devisa agar dapat merangsang daya saing perekonomian nasional untuk dapat menciptakan lapangan kerja, terutama pada industri manufaktur yang berada di Pulau Jawa. Selain dengan kebijakan kurs, daya saing industri juga memerlukan peningkatan produktivitas yang, pada gilirannya, memerlukan pelatihan kerja dan pendidikan serta perbaikan infrastruktur.

Keempat, menerapkan prinsip Bagehot dalam pemberian kredit darurat: lend freely at a high rate against good collateral.

Kelima, meningkatkan rasio pajak agar dapat menggaji pegawai negeri lebih baik, membantu golongan masyarakat miskin, membangun infrastruktur, dan membeli peralatan bagi TNI dan Polri. Keenam, membangun lembaga negara yang bersih, efektif, dan efisien.

Anwar Nasution Pengamat Ekonomi

No comments:

Post a Comment